KabarBaik.co – Pagi itu, ruang kelas di SDN Banjarasri, Tanggulangin, Sidorejo tampak lengang. Hanya beberapa pasang kaki kecil yang terdengar melangkah pelan di atas lantai yang masih menyisakan lembap bekas rendaman air.
Di pojok ruang guru, Sang kepala sekolah, Sulis Indawati duduk sambil mengecek daftar siswa baru. Tangannya berhenti di angka delapan.
Delapan? Iya, hanya delapan siswa baru yang mendaftar tahun pelajaran 2025 ini.
“Ya bagaimana lagi, mungkin karena kondisi sekolah kita kerap kebanjiran tiap musim hujan,” ucapnya lirih, sembari menatap halaman sekolah yang tanahnya mulai mongering, Selasa (15/7).
Tahun lalu, setidaknya ia masih bisa tersenyum menyambut 10 siswa baru. Tapi tahun ini? Jumlah itu makin menyusut. Padahal idealnya, sekolah bisa menerima 24 siswa baru.
Namun SDN Banjarasri bukan satu-satunya yang bernasib seperti ini. Tetangganya, SDN Banjarpanji, bahkan hanya mendapatkan enam murid baru. Di saat sekolah-sekolah lain berebut kursi karena jumlah pendaftar yang membludak, dua sekolah ini justru ditinggalkan.
Penyebabnya tak lain adalah banjir. Musim hujan selalu jadi momok. Ruang kelas tergenang, halaman sekolah berubah seperti kolam. Hari belajar berganti menjadi hari libur. Jika banjir terlalu tinggi, para siswa terpaksa belajar dari rumah lewat daring. Dan bagi sebagian orang tua, itu sudah cukup jadi alasan untuk mencari alternatif lain.

“Wali murid lebih memilih sekolah swasta lain yang memang tidak terkena banjir,” tutur Sulis. Tak heran, sekolah-sekolah swasta di sekitar jadi pilihan utama. Meski tanpa gedung mewah atau fasilitas lengkap, yang penting kering dan aman.
Padahal, berbagai cara sudah dilakukan untuk menarik minat. Pendekatan ke warga sekitar digencarkan. Bahkan sekolah menawarkan hadiah atau reward bagi siapa pun yang mau mendaftarkan anaknya. Tapi semua usaha itu seakan kalah oleh satu situasi, banjir.
“Kita bersyukur masih ada siswa yang sekolah di sini,” imbuh Sulis, mencoba tersenyum.
Harapan belum sepenuhnya pupus. Pemerintah kabarnya akan meninggikan akses jalan dan area sekolah agar tak lagi tergenang saat hujan deras. Tapi kepastian itu masih mengambang.
“Informasinya mau ditinggikan oleh pemerintah, namun kapan pelaksanaannya saya tidak tahu,” kata Sulis menutup percakapan.
Sementara itu, ruang kelas kembali sepi. Hanya delapan kursi yang terisi. Tapi bagi Sulis dan para guru di sana, delapan itu bukan angka kecil, melainkan amanah besar untuk tetap bertahan di tengah genangan harapan. (*)