KabarBaik.co– Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Timur, Ahmad Nawardi, angkat bicara keras menanggapi tayangan televisi nasional yang jelas melecehkan kiai dan pesantren. Apalagi ada narasi sesat bahwa tradisi santri atau wali santri memberi amplop sebagai modus kiai memperkaya diri, dengan intonasi suara yang terdengar merendahkan.
Menurut Senator Nawardi, tuduhan tersebut menunjukkan kebutaan total terhadap realitas pengorbanan kiai dan mekanisme gotong royong yang menjadi tulang punggung pesantren di Indonesia Termasuk di Jawa Timur, yang begitu banyak bertumbuh pesantren sejak ratusan tahun silam, dan berjasa besar pada perjuangan bangsa. Sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang.
Nawardi secara tajam membalik narasi sesat tersebut dengan sebuah analogi sederhana namun menohok. Ia meminta tudingan-tudingan konyol yang sama sekali tidak berdasar itu dihentikan.
Nawardi menegaskan bahwa amplop kecil yang diberikan santri atau wali murid kepada kiai sama sekali bukan untuk memperkaya diri kiai. Sebaliknya, itu adalah investasi moral yang disalurkan kembali untuk keberlangsungan pendidikan. “Kiai itu adalah Petani Jiwa. Tugasnya bukan hanya mengajar, tapi menanam, merawat, dan memanen akhlak mulia. Beliau bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa menghitung jam kerja. Beliau korbankan hidupnya untuk menjaga moral anak bangsa,” tegas Nawardi.
Ketika seorang santri atau wali santri memberikan amplop tabarukan, lanjut dia, itu bukan uang tunai yang langsung masuk ke rekening pribadi kiai. “Itu adalah benih yang mereka titipkan. Benih ini tidak dimakan sendiri oleh ‘Petani Jiwa’ (Kiai). Benih itu akan segera ditabur kembali ke tanah pesantren untuk membeli kitab baru, memperbaiki asrama yang bocor, memastikan makanan santri miskin tetap ada, atau membiayai operasional sekolah dan pondok.”
Nawardi menekankan bahwa hasil dari penanaman benih itu, yaitu panen buah ilmu dan santri berakhlak, akan dinikmati oleh seluruh masyarakat, desa, dan negara. Karena itu, dia menilai bahwa menuduh kiai yang hidupnya rata-rata sederhana memperkaya diri dengan menerima ‘benih’ dari santri itu adalah sebuah absurditas yang tidak memiliki dasar.
“Tuduhan itu sama bodohnya dengan menuduh perpustakaan nasional korup karena menerima sumbangan buku! Uang itu bukan untuk memperkaya kiai, tapi untuk memastikan roda pendidikan pesantren tetap berputar dan cahaya ilmu tidak padam,” kecamnya.
Dia pun mengajak masyarakat untuk berhenti menyebarkan fitnah yang merusak moral bangsa. Nawardi pun menantang para penuduh untuk datang langsung ke pesantren, melihat bagaimana luar biasanya pendidikan di pesantren dalam membangun kelangsungan umat.
”Jika narasi sesat ini terus disebarkan, benteng akhlak bangsa bisa runtuh. Menurut saya, penuduh itulah yang tidak pernah berbagi dan buta terhadap keindahan tawadhu dan keikhlasan berkorban,” pungkas Nawardi. (*)