Sepenggal Sejarah dan Alasan Negara Barat Mengakui Palestina​​​​​​​

oleh -127 Dilihat
Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara dalam KTT Penyelesaian Damai Soal Palestina dan Pelaksanaan Solusi Dua Negara di markas besar PBB di New York (ANTARA/Xinhua/Li Rui/aa)

KabarBaik.co – Selain sudah luas diakui negara-negara Barat dan komunitas global, Negara Palestina kini diakui oleh empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB setelah Inggris dan Prancis juga mengakui negara itu dalam kurun empat bulan terakhir.

Kedua negara ini menyusul pengakuan serupa yang sudah disampaikan China dan Rusia tujuh belas tahun silam pada 1988, tak lama setelah mendiang Yasser Arafat memproklamasikan kemerdekaan Palestina pada 15 November 1988.

Amerika Serikat menjadi satu-satunya anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang belum mengakui kemerdekaan Palestina, walau negara ini mengakui Otoritas Palestina sejak 1990-an.

Amerika Serikat kian menulikan diri selama negara ini dipimpin oleh Donald Trump, untuk menjadi satu-satunya negara besar yang masih berdiri fanatik di belakang Israel.

Apa yang dilakukan Prancis dan Inggris sungguh tak terbayangkan sebelumnya, apalagi mereka adalah dua bidan yang merawat mudigah untuk cikal bakal negara yang dua dekade kemudian disebut Israel.

Kedua negara itulah yang merancang pengeratan wilayah-wilayah Turki di Arab, termasuk Palestina, lewat perjanjian rahasia Sykes-Picot Agreement pada 1916, yang diambil dari nama diplomat Inggris Sir Mark Sykes dan diplomat Prancis François Georges-Picot.

Partisi wilayah Turki di Arab itu benar-benar diwujudkan setelah Perang Dunia I berakhir ketika Turki, Jerman, dan Austria-Hungaria menjadi pihak-pihak yang kalah dalam perang itu.

Setahun sebelum Perang Dunia Pertama berakhir, pada 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menyampaikan apa yang disebut Deklarasi Balfour, yang berisi tentang dukungan Inggris untuk berdirinya sebuah negara bagi warga Yahudi di tanah Palestina.

108 tahun kemudian Deklarasi Balfour ​​​​​​​disebut-sebut lagi oleh menteri luar negeri Inggris saat ini, David Lamy, saat berpidato di PBB pada Juli 2025.

Lamy mengatakan Inggris memikul tanggung jawab besar dalam mendukung Solusi Dua Negara, sambil menyitir Deklarasi Balfour.

Lamy mengatakan deklarasi itu seharusnya tidak saja menjadi pintu untuk berdirinya negara Israel di Palestina, tapi juga negara yang seharusnya merangkul hak-hak warga bukan Yahudi di sana.

Generasi pemimpin Inggris dan Prancis saat ini mungkin merasa bersalah atas apa yang dilakukan pendahulu-pendahulu mereka di Palestina seabad lalu.

Khawatir lenyapnya solusi

Tapi ada juga yang mengatakan Inggris dan Prancis, serta kebanyakan negara Barat, berusaha menyelamatkan muka atas akibat dari mendukung Israel secara membabi buta yang membuat negara ini tak mau mendengar siapa pun, bahkan ketika pemimpinnya, Benjamin Netanyahu, menjadi subjek surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) akibat genosida di Gaza.

Padahal, Inggris adalah salah satu dari dua negara besar yang mendorong berdirinya lagi pengadilan internasional untuk kejahatan perang pada 1942 di tengah Perang Dunia Kedua. Ide itu menjadi prolog untuk berdirinya ICJ.

Sebagian kalangan, termasuk Presiden Donald Trump, menilai langkah Inggris, Prancis dan negara-negara Barat lainnya dalam mengakui kemerdekaan Palestina adalah akibat pemimpin-pemimpin mereka mendapatkan tekanan publik yang hebat di dalam negeri.

Faktanya, gelombang protes pro-Palestina dan proporsi penduduk Muslim di negara-negara Barat, memang turut mendorong perubahan sikap negara-negara Barat, termasuk Australia, nun jauh di selatan Indonesia.

Para pemimpin Barat berusaha menyelamatkan muka setelah tekanan dunia semakin hebat agar Israel dimintai pertanggungjawaban atas aksinya di Gaza, yang meluas ke Tepi Barat.

Namun, kekhawatiran terbesar yang mendorong negara-negara Barat lantang bersuara menentang Israel adalah potensi lenyapnya solusi untuk konflik Israel-Palestina dan perdamaian menyeluruh di Timur Tengah, yang justru habis-habisan didukung Barat.

Solusi itu kini berpotensi lenyap akibat sikap Israel yang terang-terangan menolak Solusi Dua Negara dan Negara Palestina.

Oleh karena itu, paduan suara diplomatik Barat untuk Palestina bisa disebut sebagai upaya melestarikan dan merawat gagasan agung walau terlalu sulit untuk dipraktikkan; yakni Solusi Dua Negara di mana Negara Palestina hidup berdampingan dengan Israel.

Negara-negara Barat, dan bagian terbesar komunitas global, melihat dengan penuh khawatir bahwa Israel berusaha melenyapkan solusi langgeng untuk konflik Palestina-Israel.

Indikasi ke arah itu terlihat dari upaya Israel dalam mencaplok Tepi Barat atau membuat Jalur Gaza menjadi sangat tidak layak huni sehingga warga Palestina terpaksa meninggalkan kedua daerah yang justru menjadi fondasi untuk berdirinya Negara Palestina.

Dalam kata lain, Israel berusaha membuat warga Arab-Palestina tidak betah di Gaza dan Tepi Barat, sehingga menyeberang ke Mesir dan Yordania.

Didukung terutama oleh Amerika Serikat, Israel aktif menciptakan skenario buruk di Gaza guna memaksa Mesir membuka perbatasan mereka dengan Gaza, sehingga warga Palestina di Gaza, berbondong-bondong meninggalkan tanah air mereka.

Menambah bobot tekanan

Skenario sama dirancang di Tepi Barat, dengan tujuan membuat warga Palestina di sana juga merasa tidak aman, untuk kemudian menyeberangi Sungai Jordan guna bermukim di Yordania.

Jika ini terus dibiarkan, maka hancurlah kemungkinan adanya tanah air Palestina.

Padahal keberadaan suatu negara didasarkan kepada empat kriteria seperti ditetapkan dalam Konvensi Montevideo pada 1933. Keempatnya adalah adanya penduduk, wilayah, kemampuan menjalin hubungan diplomatik, dan adanya pemerintahan.

Apa jadinya Palestina jika penduduknya malah terusir dari tanah airnya sendiri? Dan apa yang terjadi di Gaza serta Tepi Barat adalah indikasi-indikasi jelas untuk meniadakan gagasan berdirinya Negara Palestina.

Inilah yang ditakutkan negara-negara Barat, kecuali Amerika Serikat.

Oleh karena itu, pengakuan Negara Palestina oleh Inggris, Prancis, dan negara-negara Barat lainnya, bisa dimaknai sebagai teguran dari mereka untuk Israel dan AS atas aksi-aksi genosida Israel di Gaza dan aneksasi mereka di Tepi Barat.

Dengan mengakui Negara Palestina, negara-negara Barat berusaha menunjukkan sikap bahwa Israel tidak bisa begitu saja mencaplok tanah yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Internasional sebagai wilayah Arab yang diduduki secara ilegal oleh Israel.

Kenapa ilegal? Karena PBB, melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 242 pada 1967, sudah lama memerintahkan Israel agar menarik mundur dari wilayah-wilayah Arab yang didudukinya menyusul Perang Enam Hari pada 1967.

Wilayah-wilayah itu adalah Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur di Palestina, serta Dataran Tinggi Golan di Suriah.

Pengakuan Barat untuk Palestina juga untuk menambah bobot tekanan dari prakarsa damai mereka mengenai Solusi Dua Negara, yang oleh beberapa kalangan disebut upaya mengalihkan ketidakmampuan dunia dalam mencari solusi nyata untuk Palestina.

Meskipun begitu, manuver Barat ini tetap lebih maju dibanding masa-masa sebelumnya.

Paling tidak langkah itu mengasingkan struktur kepemimpinan politik di Israel untuk kemudian merasa tertekan dan sebaliknya memberi ruang kekuasaan yang lapang kepada pihak-pihak di Israel yang masih mau mengakomodasi solusi adil nan langgeng untuk konflik Israel-Palestina. (ANTARA)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Imam Wahyudiyanta


No More Posts Available.

No more pages to load.