Oleh: Muhammad Wildan Zaky
Angin Gresik menyelusup pelan di antara sela-sela gudang kecil di Kelurahan Kroman, Gresik. Tak ada papan nama mencolok atau kendaraan mewah terparkir di depannya. Tapi dari tempat sederhana itu, langkah-langkah besar sedang diukir oleh seorang anak muda bernama Shubkhi Basyar, yang akrab disapa Kaji Uki.
Usianya baru menginjak 33 tahun. Namun langkah Kaji Uki tak pernah ragu. Pandangannya jauh menembus batas kampung dan negara.
Lahir dari keluarga pengrajin songkok, jalan hidup Kaji Uki sebetulnya bisa nyaman jika ia memilih untuk meneruskan usaha keluarga. Tapi kenyamanan bukan ruang tumbuh bagi semua orang.
Kaji Uki justru memilih jalur berbeda. Jalur berlumpur yang tak dilirik banyak orang dengan mengolah limbah menjadi barang berkualitas ekspor.
Di tengah gelombang industri yang melupakan potensi desa, Kaji Uki menemukan makna dalam sesuatu yang kerap dianggap sisa yakni sekam padi, tongkol jagung, kulit coklat, hingga dedak.
Bagi sebagian besar orang, itu hanya limbah yang memenuhi pekarangan dan halaman rumah produksi. Tapi di mata Kaji Uki, limbah adalah teka-teki yang menanti untuk dipecahkan, bukan untuk dibuang, tapi untuk dijadikan barang yang mempunyai nilai tambah.
Ia memulai dengan produk arang sekam, material ringan dan berdebu yang tak banyak dianggap punya masa depan. Lewat proses yang tak sebentar, penuh percobaan, kegagalan, hingga skeptisisme orang-orang sekitar, ia berhasil mengolahnya menjadi komoditas ekspor yang kini rutin dikirim ke pasar Jepang, Korea, dan Jerman.
Tak berhenti di sana, ia mulai bereksperimen dengan limbah lain untuk dijadikan pakan ternak berkualitas tinggi. Pakan yang tak hanya murah dan alami, tapi juga terbukti meningkatkan bobot ternak secara signifikan.
“Untuk usaha parkir saja di negeri ini butuh kenalan,” katanya, separuh bergurau, separuh menggambarkan kenyataan pahit dunia usaha kecil, Minggu (29/6).
Tapi ia tak berhenti. Ketika banyak pengusaha mencari peluang lewat koneksi, ia menciptakan peluang dari tumpukan yang disisihkan. Dan dari situ, ia menemukan jalur yang benar-benar baru.
Perjalanan itu mencapai salah satu puncaknya pada Selasa (24/6) lalu. Di halaman Kantor Pemkab Gresik, dengan disaksikan Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani dan jajaran Bea Cukai, sebanyak 9 ton pakan ternak berbahan limbah kulit biji coklat hasil olahannya resmi diekspor ke Malaysia.
Ini adalah pengiriman pertama dari kontrak besar yang akan berjalan bertahap, dengan total permintaan mencapai 350 ton. Sebuah pencapaian yang tak hanya milik Kaji Uki, tapi juga menjadi harapan baru bagi ekosistem usaha mikro dan pengelolaan limbah di Gresik.
Di balik keberhasilan itu, berdiri sosok-sosok yang berjuang bersama. Istrinya, yang dulu bekerja di BUMN, kini turut membangun usaha ini dari dalam. Ia tinggalkan gaji tetap dan rutinitas kantor demi menjemput mimpi yang lebih luas.
Kini, PT Ajibakuh Anugerah (ABA) milik Kaji Uki telah mempekerjakan lebih dari selusin orang, memberdayakan warga sekitar, dan perlahan membangun sistem produksi yang berkelanjutan.
Kaji Uki adalah cermin dari generasi muda yang memilih bekerja dalam senyap, menjahit perubahan dari ujung-ujung kecil. Ia tidak bicara tentang revolusi industri dengan jargon besar, tapi mewujudkannya dalam bentuk nyata. Limbah yang ditolak pasar lokal kini menjadi komoditas ekspor internasional.
Ketika ditanya apa yang membuatnya bertahan, ia menjawab sederhana, “Kalau nyerah, nggak akan sampai sini. Usaha ini memang dari limbah. Tapi bagi saya, limbah bukan barang sisa. Limbah itu peluang.”
Dari lorong-lorong Gresik yang kering, dari debu dan abu yang nyaris dilupakan, Kaji Uki menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari menara gading atau korporasi raksasa. Kadang, ia datang dari tangan seseorang yang percaya bahwa yang kecil bisa tumbuh besar, asal ditekuni dengan hati, dan dikerjakan dengan niat.(*)