HARI INI, 3 Desember 2025, data dashboard BPNB mencatat sudah sebanyak 753 jenazah dampak bencana di Pulau Sumatera. Lalu, 650 orang hilang dan ribuan warga terluka. Ribuan lagi mesti tinggal di kamp-kamp pengungsian. Jutaan warga terdampak. Sebagian terisolasi tanpa listrik, air bersih, dan makanan. Akses darat tersendat akibat kerusakan infrastruktur. Armada udara TNI hanya bisa beroperasi terbatas karena kendala cuaca dan logistik.
Di Jakarta, sejauh ini pemerintah sepertinya tetap bergeming menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anggaran awalnya Rp 71 triliun, kemudian karena perluasan cakupan, ada kabar dana MBG itu ditambah menjadi Rp 171 triliun untuk tahun 2025. Lalu, pada tahun depan, diproyeksikan menjadi Rp 223,6 triliun. Dana yang cukup untuk membeli ratusan unit helikopter Super Puma atau membangun puluhan bahkan ratusan ribu unit jembatan darurat serta rumah-rumah penduduk.
Kita tidak sedang memilih antara perut anak sekolah dan nyawa warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kita sedang memilih antara prioritas yang benar-benar mendesak dan prioritas yang bisa ditunda tanpa mengorbankan nyawa manusia saat ini juga.
Program MBG memang mulia. Anak bangsa butuh gizi agar tidak stunting. Tapi, stunting adalah ancaman jangka panjang yang bisa diatasi bertahap. Longsor, banjir bandang, dan kelaparan di kamp-kamp pengungsian adalah ancaman jangka nol hari. Orang mati besok pagi tidak akan peduli apakah anaknya dapat susu gratis tahun depan.
Mungkin, duit Rp 71 triliun itu cukup untuk mengangkut 1 juta ton bantuan logistik ke wilayah terisolasi dalam 30 hari, membiayai 500 heli sipil dan militer beroperasi nonstop selama 3 bulan, membangun ulang 2.000 rumah permanen tahan gempa plus relokasi warga, memberi santunan Rp 50 juta per keluarga korban jiwa (total Rp 30 triliun), masih tersisa Rp 41 triliun untuk pemulihan ekonomi daerah terdampak.
Anggaran negara bukan kitab suci yang tak boleh diutak-atik. Ketika Gunung Merapi meletus 2010, Presiden saat itu langsung realokasi Rp 4 triliun dari berbagai pos untuk tangani krisis, tanpa menunggu APBN Perubahan. Pun demikian ketika tsunami Aceh 2004, praktis semua program pembangunan non-esensial langsung dibekukan. Itu namanya negara hadir.
Hari ini masih terdengar nada pembelaan. ’’MBG sudah jadi janji politik Presiden, tidak bisa dibatalkan.” Maka, pertanyaannya: Lebih penting mana menepati janji politik atau menepati janji konstitusi? Pasal 28H UUD 1945 terang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Ini bukan soal membenci MBG. Tapi, masalah urutan nyawa. Rasanya, tidak ada yang menolak MBG selamanya. Tunda pelaksanaan massal sampai 2026, misalnya. Mungkin hanya pilot project di beberapa provinsi saja. Lalu, alihkan untuk menangani bencana Sumatera sekarang juga. Kalau MBG harus tetap berjalan. hanya bagi mereka yang betul-betul membutuhkan seperti warga yang tinggal di wilayah 3T. Toh, diakui atau tidak, hampir setiap hari MBG tidak lepas dari sorotan.
Negara yang baik adalah negara yang tahu mana yang harus didahulukan ketika sumber daya terbatas. Nyawa manusia di depan mata, bukan foto anak tersenyum di bungkus susu setahun lagi. Panggilan kepada Presiden. ’’Pak Presiden, Anda pernah bilang “Saya prajurit, saya tahu arti tanggap darurat.” Nah, sekarang saatnya membuktikan. Keluarkan Perpres Darurat Bencana Nasional. Realokasi dana MBG untuk penanganan Sumatera.
Dengan begitu, biar rakyat tahu: ketika anak-anak Gayo menangis kelaparan di tenda pengungsian, negara tidak sibuk menghitung berapa porsi nasi uduk yang harus dibagikan besok pagi di sekolah Jakarta. Stop MBG sementara. Selamatkan Sumatera dulu.
Besok atau lusa, ketika lumpur sudah surut dan jembatan-jembatan sudah berdiri kembali, bisa lanjutkan lagi mimpi besar memberi makan anak bangsa. Karena negara yang kuat bukan yang mampu memberi susu gratis kepada semua anak, tapi yang mampu memilih mana anak yang harus diselamatkan dulu ketika langit runtuh. (*)








