OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
PIALA Sudirman, oh Piala Sudirman! (intonasi baca seperti jamaah, oh jamaah). Anda sudah tahu, Piala Sudirman atau Sudirman Cup pasti lahir dari rahim Indonesia. Namanya saja Sudirman. Ya, kejuaraan ini diinisiasi oleh nama besar Dick Sudirman yang kharismatik itu.
Idealnya, karena lahir dari Ibu Pertiwi, piala ini seharusnya menjadi “hak milik” turun temurun untuk Indonesia. Layaknya resep rahasia rendang keluarga. Namun, kenyataannya? Debu juara di lemari trofi kita hanya menebal sejak tahun 1989. Pialanya terbang bersama angin lalu.
Pun demikian di Sudirman Cup 2025 yang berlangsung di Xianmen Fenghuang Gymnasium, China. Pada laga final Minggu (4/5), Tim bulu tangkis China kembali menegaskan dominasinya. Tim Tirai Bambu sukses setelah mengalahkan Korea Selatan 3-1. Kemenangan ini sekaligus menjadi gelar ke-14 bagi China sejak turnamen kali pertama digelar pada 1989. Capaian ini menjadikan China sebagai negara paling sukses dalam sejarah Piala Sudirman.
Barangkali ini sebuah ironi yang menggelitik sekaligus membuat dahi berkerut. Apalagi, di negeri ini, bulutangkis merupakan hiburan populer dan legendaris. Bahkan, sebagian orang menyebut ‘’agama’’ kedua setelah sepakbola. Betapa senang dan mendebarkannya saat melihat shuttlecock meluncur dengan kecepatan cahaya. Setiap jump smash Taufik Hidayat bagai gol salto yang bikin jantung copot, setiap drop shot Susi Susanti lebih memukau dari diving pemain lawan. Tapi, itu dulu.
Sebuah Inisiatif Pemersatu Bukan Sekadar Main Tepok Bulu
Kisah Piala Sudirman bermula dari gagasan mulia untuk menciptakan kejuaraan dunia bulu tangkis beregu campuran. Ide ini digulirkan oleh Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di bawah kepemimpinan Dick Sudirman. Ia melihat kebutuhan akan turnamen yang menguji kekuatan tim nasional secara komprehensif. Melibatkan semua sektor. Ada tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran. Ini bukan sekadar main tepok bulu di lapangan RT, tapi pertarungan gengsi!
Gayung bersambut, inisiatif tersebut direspons baik oleh International Badminton Federation (IBF). Kemudian mengesahkan turnamen ini. Edisi perdana Piala Sudirman digelar pada tahun 1989 di Jakarta, Indonesia, sebuah momen yang idealnya menjadi penanda dominasi si pemilik rumah. Kita pun sudah membayangkan piala itu akan dipajang di ruang tamu Istana Negara setiap dua tahun sekali, menjadi ikon kebanggaan selain Garuda Pancasila. Namun, takdir berkata lain. Mungkin, pialanya minder duluan lihat macetnya Jakarta?
Atau, boleh jadi Piala Sudirman ini punya semacam “sindrom anak rantau”. Lahir di sini, besar di negeri orang. Merasa lebih nyaman diasuh oleh tangan-tangan dingin kalkulasi taktis ala China, atau mentalitas sekeras baja milik Korea Selatan.
Kita, sebagai ibu yang melahirkannya, justru seperti orang tua yang bangga melepas anaknya merantau. Tapi diam-diam merindukan kehadirannya di meja makan setiap malam, sambil mikir, “Kapan ya, dia bawa oleh-oleh gelar juara?”
Kenapa China begitu digdaya? Mereka seperti membangun tembok besar di setiap sektor. Tunggal putra dan putri mereka bagaikan jenderal tanpa cela, ganda putra dan putri adalah barisan prajurit yang solid, dan ganda campuran mereka? Jangan tanya, itu seperti perpaduan antara otak Einstein dan kelincahan ninja. Mereka tidak hanya bermain bulu tangkis, tapi juga memainkan “Sun Tzu Art of War” di atas lapangan. Setiap pukulan terukur, setiap taktik tersusun rapi.
Mereka itu datang bukan untuk bermain-main. Askring alias asal keringetan. Tapi, untuk menaklukkan. Mungkin, rahasia mereka ada di sesi latihan yang lebih panjang dari jam kerja kantoran di Jakarta, atau mungkin juga di filosofi “seribu kali jatuh, seribu satu kali bangkit” yang sudah mendarah daging. Mereka seperti lagi ujian skripsi, persiapannya pasti matang. Eh, tapi bukan skripsi-skripsian dan mendapatkan ijazah-ijazahan.
Lalu, Korea Selatan. Negeri ginseng ini punya mentalitas “pantang menyerah sebelum peluit akhir berbunyi”. Mereka seperti pejuang Silla yang gigih. Tak gentar menghadapi lawan sebesar apapun. Kekuatan mereka mungkin tidak selalu terletak pada skill individu yang flamboyan, melainkan pada semangat juang yang membara. Kekompakan tim yang luar biasa. Mereka adalah representasi dari filosofi “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” yang benar-benar dipraktikkan di lapangan.
Mungkin, kimchi yang mereka konsumsi punya efek samping meningkatkan stamina dan willpower? Siapa tahu! Jangan-jangan, mereka latihannya sambil dengerin K-Pop yang bikin semangat membara?
Lantas, kita? Sejatinya, pemain-pemain kita punya skill individu yang memukau, smash yang menggelegar, dan drop shot yang menipu. Kita punya sejarah emas yang membanggakan. Tapi, kenapa gelar Sudirman Cup seolah menjauhi kita? Mungkin, kita terlalu nyaman dengan kejayaan masa lalu. Terlena dengan pujian sesaat. Atau, mungkin juga mental kita masih seperti “naga kandang’’. Perkasa di kandang sendiri, tapi sedikit ciut di negeri orang. Padahal, bulu tangkis itu sudah mendarah daging, dari anak SD pegang raket butut dengan net tali rafia sampai bapak-bapak komplek main di lapangan dadakan. Ini bukan hanya soal medali, tapi juga soal harga diri bangsa di panggung dunia. Kalau timnas bulutangkis kalah, rasanya kayak nonton sinetron kesayangan tamat sebelum waktunya!
Merajut Kembali Kejayaan Sudirman
Lalu, bagaimana caranya agar “anak rantau” bernama Piala Sudirman ini kembali ke pelukan ibu pertiwi? Bukan bermaksud menggurui, tapi mungkin berikut beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan, tanpa harus terburu-buru mencari “jalan pintas” naturalisasi (walaupun kadang mikir juga, pinjam pemain top sebentar seperti sepak bola?).
Pertama, pembinaan usia dini yang holistik. Jangan cuma fokus pukulan kencang. Kita perlu memperkuat fondasi pembinaan sejak usia dini. Bukan hanya fokus pada skill semata, tapi juga pada pembentukan mental juara, disiplin (jangan telat latihan terus!), dan semangat pantang menyerah (walaupun lawannya setangguh tembok China). Program latihan yang terstruktur dan berkelanjutan, didukung oleh pelatih-pelatih berkualitas di seluruh pelosok negeri (jangan cuma di Jawa saja!), adalah kunci.
Kedua, pengembangan mental tim. Sudirman Cup adalah turnamen beregu. Kekuatan individu sehebat apapun tidak akan cukup tanpa kekompakan dan mentalitas tim yang solid. Perlu ada penanaman rasa memiliki, saling mendukung (jangan saling nyalahin kalau kalah!), dan berjuang demi Merah Putih di setiap pertandingan (bayangkan kalau menang, traktiran sate se-Indonesia!). Psikolog olahraga perlu dilibatkan secara intensif (biar nggak ada yang baperan!).
Ketiga, adaptasi strategi dan taktik modern (jangan itu-itu melulu, bosan!): Dunia bulutangkis terus berkembang. Kita perlu terus memperbarui strategi dan taktik, mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan. Kata anak Gen Z, stalking video lawan sebelum tanding itu penting, serta berani mengambil risiko. Inovasi di lapangan. Siapa tahu smash sambil salto jadi tren?. Jangan sampai kita terjebak dengan pola permainan yang mudah dibaca, kayak tayangan sinetron yang biasa mengambil jam tayang prime time.
Keempat, peningkatan daya saing di semua sektor. Jangan cuma andalkan ganda putra. Kita tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua sektor yang kuat, walaupun ganda putra kita memang world class. Kita perlu memastikan bahwa kita memiliki pemain-pemain berkualitas dan berdaya saing di semua nomor, termasuk ganda campuran. Ini jadi PR besar. Tunggal putra dan putri yang stabil, jangan naik turun kayak rupiah atau IHSG belakangan ini.
Kelima, dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat. Jangan cuma ketika menang. Pembinaan atlet membutuhkan investasi jangka panjang. Seperti jargon MBG (makan bergizi gratis). Dukungan penuh dari pemerintah dalam hal fasilitas, anggaran (jangan sampai atlet nombok!), dan program pembinaan sangat krusial. Selain itu, dukungan moral dari seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jangan cuma pas menang doang baru heboh!. Support itu akan menjadi energi tambahan bagi para atlet. Kalau kalah, tetap kasih semangat, jangan malah di-bully di sosmed.
Naturalisasi: Jalan Pintas Perlu Dipertimbangkan Hati-hati
Mungkin bisa jadi opsi. Namun, naturalisasi adalah isu yang sensitif. Di satu sisi, naturalisasi pemain berkualitas bisa menjadi solusi instan untuk memperkuat tim dalam jangka pendek. Ibaratnya, ’’pinjam’’ superstar buat menghadapi turnamen-turnamen seperti di sepak bola. Namun, di sisi lain, hal ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang pembinaan atlet lokal dan isu nasionalisme.
Jika opsi naturalisasi dipertimbangkan, harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan selektif. Mungkin seperti memilih pacar, jangan cuma lihat tampang, tapi juga bibit, bebet, bobotnya. Prioritas utama tetaplah pada pengembangan atlet-atlet muda Indonesia. Masa depan bulutangkis tetap ada di tangan mereka. Naturalisasi hanya boleh menjadi opsi pelengkap, bukan solusi utama, dan harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi perkembangan bulutangkis nasional. Jangan cuma mikir menang sekarang, tapi juga masa depan.
Piala Sudirman mengajarkan kita tentang pentingnya proses yang berkelanjutan dan kemandirian. Tidak instan kayak hendak menyantap mi instan. Bahwa, juara sejati dibangun dari fondasi yang kuat dan semangat juang yang tumbuh dari dalam seperti pohon, akarnya harus kuat dulu baru bisa berbuah lebat. “Kutukan rumah sendiri” hanya bisa dipatahkan dengan kerja keras, strategi yang cerdas, dan mentalitas yang tak mudah goyah.
Kita membayangkan, suatu saat nanti, lemari trofi PBSI akan kembali berseri dengan kilauan emas Piala Sudirman. Bukan karena kita tuan rumah lagi atau karena ada pemain impor. Tapi, karena kita benar-benar telah “dewasa” dalam pembinaan dan memiliki mentalitas juara sejati di semua lini. Sampai kelak waktunya tiba, kita akan terus mendukung dengan penuh harapan. Juga, barangkali perlu sedikit ’’nyinyiran’’ yang membangun sambil terus merenung. ’’Kapan ya, piala yang namanya Indonesia ini akan benar-benar pulang dan menetap di rumahnya sendiri? Kita terus berjuang, berharap, dan sesekali bercanda biar nggak terlalu tegang! Eh, tapi apa kabar Pak Menteri Olahraga kita? Mungkin ada yang sampai lupa namanya. (*)
—
*) M. SHOLAHUDDIN, penikmat olahraga tinggal di Kabupaten Gresik