Sukarni Kartodiwirjo: Wartawan Berapi, Penculik Bung Karno hingga Berkobar Proklamasi Kemerdekaan

oleh -138 Dilihat
SUKARAN
Pahlawan Nasional Sukarni Kartodiwirjo (Foto IST)

KabarBaik.co-  Sukarni Kartodiwirjo, mungkin masih terasa asing bagi telinga sebagian dari kita. Ia adalah salah seorang penerima gelar Pahlawan Nasional. Melalui Keputusan Presiden No. 115/TK/2014, negara akhirnya mengakui jasa seorang pemuda keras kepala yang pernah dianggap “penculik Bung Karno”.

Nama Sukarni memang tidak selalu muncul di buku pelajaran. Namun tanpa keberaniannya, sejarah Indonesia bisa saja berbeda.

Sejak muda, Sukarni dikenal keras. Lahir di Blitar tahun 1916, ia aktif di organisasi Indonesia Muda dan belajar dari tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno dan Tan Malaka. Pena jadi senjatanya. Ia bekerja di kantor berita Domei, cikal bakal Antara, tempat mengasah ketajaman tulisannya.

Namun, tulisan Sukarni bukan sekadar laporan. Kalimat-kalimatnya berapi-api, retoris, membakar semangat. Dia menulis bukan untuk sekadar memberitahu, melainkan untuk menggugah bahwa bangsa ini tak pantas tunduk pada Jepang maupun Belanda. Seorang jurnalis dengan jiwa agitator.

Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Bom nuklir mengguncang Nagasaki dan Hiroshima. Kabar ini menyebar cepat. Golongan muda, termasuk Sukarni yang saat itu masih berusia 29 tahun, melihat kesempatan emas. Proklamasi harus segera dilakukan. Terlebih Inggris juga langsung mendeklarasikan merdeka setelah peritiswa bom atom itu.

Malam 15 Agustus, di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur, perdebatan panas meletus. Wikana mendesak Bung Karno agar malam itu juga menyatakan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno masih belum mau. “Saya tidak mau memproklamasikan kemerdekaan yang ditiupkan oleh Jepang,” katanya (Tempo, 2013).

Sukarni, yang duduk gelisah di sudut ruangan, tak tahan. Pemuda itu turut menyahut lantang: “Kalau kita menunggu, bangsa ini bisa kehilangan momentum!” Suasana makin menegangkan. Silang pendapat generasi tua dan muda. Golongan muda akhirnya sepakat: Soekarno dan Hatta harus diamankan.

Penculikan Menuju Rengasdengklok

Dini hari 16 Agustus 1945, jalanan Jakarta masih sunyi. Sebuah mobil berhenti di depan rumah Bung Karno. Di dalam rumah, Fatmawati—istri Bung Karno—terkejut melihat sekumpulan pemuda datang bersama tentara PETA. Mereka meminta Bung Karno segera ikut, dengan alasan keselamatan.

Bung Karno menolak sebenta. Namun, akhirnya berangkat. Bayi kecil Guntur masih dalam pelukan Fatmawati saat mobil meninggalkan rumah.

Hatta pun dijemput. Mobil-mobil itu lalu melaju kencang ke arah timur, menembus gelap malam menuju Karawang. Tujuan: Rengasdengklok.

Di sana, di sebuah rumah sederhana milik komandan PETA, berlangsung drama yang menentukan. Bung Karno dan Hatta duduk berhadapan dengan para pemuda. Nada suara terkadang meninggi. Bung Karno menekankan bahwa kemerdekaan harus memiliki legitimasi, agar tak dianggap “kudeta pemuda”. Para pemuda menimpali bahwa menunggu sama saja bunuh diri politik. Sukarni berdiri, suaranya meledak: “Kemerdekaan bukan hadiah Jepang! Kita yang harus merebutnya sekarang juga!”

Ketegangan itu menggambarkan dua generasi: yang tua penuh kalkulasi, yang muda meledak-ledak. Perdebatan di Rengasdengklok adalah pertaruhan arah bangsa.

Menjelang sore, Ahmad Subardjo datang membawa jaminan. Proklamasi pasti dilakukan besok di Jakarta. Bung Karno dan Hatta pun dibawa pulang. Malam harinya, mereka berkumpul di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol.

Di meja kayu panjang, teks proklamasi disusun. Kalimat demi kalimat ditimbang. Perdebatan terakhir muncul soal siapa yang menandatangani. Ada usul agar semua tokoh menandatangani. Sukarni bangkit lagi. Tegas dia berkata: “Cukup Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Biar jelas, biar tidak diperdebatkan.”

Usul itu diterima. Keputusan yang sederhana tapi menentukan: Proklamasi menjadi simbol milik seluruh bangsa:

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05

Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno – Hatta

Dari Murba ke Makam Pahlawan

Selepas kemerdekaan, Sukarni tetap lantang. Dia menjadi anggota KNIP, mendirikan Partai Murba bersama Tan Malaka dan Chaerul Saleh, bahkan sempat menjadi Duta Besar RI untuk Tiongkok. Namun politik keras sering membuatnya berbenturan.

Sukarni wafat pada 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Butuh waktu 43 tahun hingga negara resmi memberinya gelar Pahlawan Nasional.

Kini, nama Sukarni dikenang bukan hanya sebagai “penculik Bung Karno”, tetapi sebagai wartawan yang menulis dengan api, pemuda yang menyalakan bara di Rengasdengklok, dan tokoh yang memastikan Proklamasi lahir tepat waktu.

Sejarah membuktikan, kadang revolusi butuh mereka yang berani melanggar tata krama. Sukarni adalah salah satunya: pena, suara, dan tindakannya berpadu, mengantarkan bangsa menuju 17 Agustus 1945. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.