Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (4)

Editor: Muhammad S
oleh -769 Dilihat
Repro Supersemar versi ketiga yang diserahkan Yayasan Akademi Kebangsaan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia pada 2012. Foto: Nugroho Sejati/Historia)

KabarBaik.co- Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga kini masih menjadi perdebatan. Keberadaannya pun masih menjadi misteri. Beberapa kali dilakukan pencarian, belum juga membuahkan hasil. Padahal, dokumen itu teramat penting dan bersejarah.

Selembar surat itu sudah tampak lusuh dan kusam, menguning dimakan usia. Sobek di sisi kanannya. Hingga sebagian isi surat tak bisa terbaca. Pada kop surat tertera: Presiden Republik Indonesia dan kata “Surat Perintah” mengikuti di bawahnya.

’’Tadinya kami sudah yakin bahwa ini adalah Supersemar yang asli. Karena londisinya sudah rusak parah,” ujar Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mustari Irawan kepada Historia dikutip pada 12 Maret 2021.

Surat itu menjadi versi ketiga Supersemar yang berhasil didapatkan oleh ANRI. Menurut Mustari, surat itu diserahkan ke pihak ANRI pada 2012 oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, ketua Akademi Kebangsaan.

Nurinwa yang ditemui Historia di kediamannya di kawasan Depok Lama pada Maret 2016 lalu, berkisah seputar naskah Supersemar yang ada padanya. Berdasarkan penuturannya, surat itu didapatkan di petilasan makam Majapahit di Jalan Cempaka, Kecamatan Tegalsari, Surabaya.

Melalui perantaraan temannya, Nurinwa tak sengaja menemukan naskah Supersemar itu ketika sedang melakukan penelitian. ‘’Saya berinisiatif menyerahkannya ke Arsip Nasional, karena teman saya itu tidak terlalu paham birokrasi,” ujar Nurinwa.

Untuk menguji keaslian arsip, ANRI meneruskan lembar Supersemar itu ke laboratorium forensik Polri. Namun harapan publik selama ini untuk memperoleh naskah otentik Supersemar pupus. Setelah diuji, surat tersebut dinyatakan bukan yang asli. “Jadi dianalisis melalui tandatangan (Soekarno), ternyata tidak satu tarikan tandatangan,” ungkap Mustari.

Baca juga:  Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (2)

Dalam uji lab, tandatangan Soekarno diperbandingkan dengan delapan tandatangannya yang lain di tahun yang sama (1966). Dan hasilnya, tandatangan Soekarno dalam surat yang diuji tak menyerupai aslinya. Surat dikembalikan lagi oleh pihak ANRI kepada pemiliknya. Kendati tidak asli, ANRI tetap merepro dan menyimpannya sebagai bahan pembanding dikemudian hari.

Hingga saat ini, ANRI telah mengoleksi tiga macam Supersemar. Pertama, diperoleh dari Pusat Penerangan TNI tahun 1995. Tak berapa lama kemudian, versi kedua diperoleh dari Sekretariat Negara yang berasal dari repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3: 1965—1973 (diterbitkan Sekretariat Negara pada 1980). Terakhir, Akademi Kebangsaan menyerahkan versi ketiga Supersemar pada 2012. Dari ketiganya tiada satu pun yang dinyatakan sebagai naskah otentik.

Menurut Mustari Irawan, sejak 2000, ANRI telah membentuk tim pencari Supersemar. Pencarian tersebut digagas kepala ANRI saat itu, M. Asichin. Penelusuran dilakukan dengan mewawancarai tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui keberadaan Supersemar. Wacana ini tak terlepas seiring bergulirnya era reformasi dan tumbangnya rezim Soeharto.

Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution menjadi sosok pertama yang ditemui dan diwawancarai oleh ANRI. Dari Nasution, penelusuran berlanjut ke berbagai nama dan bermacam kalangan. Mulai dari ketua DPR Akbar Tanjung, kemudian orang-orang terdekat dengan Soekarno seperti para ajudannya: Sukardjo Wilardjito, Suharyanto di Yogyakarta (tentara yang bertugas di Istana Bogor), Maulwi Saelan dan Sidharto Danusubroto, dua pengawal Presiden serta Sukmawati Sukarnoputri.

Tim juga melakukan wawancara kepada beberapa tokoh angkatan ‘66 seperti Sekretaris Negara era Orde Baru yang pada 1966 sudah bertugas di Sekneg. “Dari semua yang kami wawancarai pada dasarnya mereka hanya mengatakan tahu, tapi di mana keberadaannya mereka tak tahu,” ujar Mustari.

Baca juga:  Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (3)

Mustari mengakui, pihaknya tidak sempat mewawancarai orang penting seperti Jenderal M. Jusuf (wafat pada 2004) yang dianggap sebagai tokoh kunci terkait keberadaan Supersemar. “Kami baru mewawancarai keponakannya M. Jusuf yang menjadi wakil walikota Makasar pada 2005, dan yang bersangkutan juga tidak tahu,” katanya.

Terakhir, ANRI mendapat informasi, Supersemar ada pada Moerdiono. Tim ANRI mewawancarai Moerdiono pada 2005 dan 2008. Dia mengatakan naskah asli Supersemar itu ada, dan isinya dua lembar. Saat Moerdiono menjadi pejabat di Sekretariat Negara pada dekade 80-an, kementerian itu berada di bawah Sudharmono.

Dalam otobiografinya Pengalaman Dalam Masa Pengabdian, Sudharmono menyebutkan bahwa teks asli Supersemar ada pada Brigadir Jenderal Budiono, Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat (MBAD).

Ketika Supersemar dikeluarkan, Budiono ditugaskan pimpinan Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto untuk menggandakannya. Penggandaan itu bertujuan untuk melegitimasi penerbitan surat pembubaran PKI yang menjadi wewenang Grup V (bidang hukum dan intelijen) KOTI (Komando Operasi Tertinggi), tempat Sudharmono berdinas.

Sampai saat ini, ANRI belum memiliki surat asli yang dipegang oleh Brigjen Budiono. ANRI juga telah menelusuri kembali keberadaan Supersemar ke pihak TNI AD, namun hasilnya nihil. Belum ada perkembangan terbaru tentang Supersemar.

Terkait sulitnya menemukan Supersemar, Mustari mengakui keberadaan surat tersebut sudah samar-samar saat baru dikeluarkan. Akibat kondisi politik yang mengarah chaos, tidak terpikir bahwa dokumen yang berisi Surat Perintah 11 Maret 1966 itu harus diselamatkan dan disimpan. Sehingga ketika digandakan, tidak jelas surat yang asli dibawa oleh siapa.

Baca juga:  Supersemar; Cerita Mencekam, Mistis, dan Tafsir Soeharto (1)

Sejauh ini, Supersemar menjadi salah satu surat monumental nan kontroversial dalam sejarah bangsa Indonesia. Sialnya, surat yang dipakai Soeharto untuk jalan masuk menuju kekuasaannya selama 32 tahun itu hingga kiini masih terus dicari alias tidak diketahui pasti keberadaannya.

Dalam Dialog Sejarah “Supersemar, Supersamar: Kontroversi Arsip Surat Peralihan Kekuasaan Soekarno ke Soeharto,” Jumat, 12 Maret 2021, di Saluran Youtube dan Facebook Historia, Arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mira Puspita Rini juga menyebut bahwa saat ini ANRI menyimpan tiga versi Supersemar.

Supersemar dari Pusat Penerangan TNI AD yang berjumlah satu lembar. Versi kedua, Supersemar yang diserahkan oleh Jenderal M. Yusuf, salah satu jenderal yang mengikuti proses pembuatan surat tersebut. Versi kedua ini berjumlah dua lembar dan hanya merupakan salinan. Sedangkan versi ketiga, Supersemar yang diberikan oleh Akademi Kebangsaan, berjumlah satu lembar.

Mira mengingatkan, Supersemar dan arsip terkait Supersemar kini merupakan arsip yang masuk dalam daftar pencarian arsip. Saat ini sebagian besar arsip masa transisi itu masih berada di Pusat Sejarah TNI AD.

“Yang diserahkan itu hanya yang tentang teritorial dan pengerahan tenaga. Sedangkan yang operasional, intelijen, telekomunikasi, anggaran dan pembiayaan itu masih di sana. Dan Arsip Nasional berusaha terus untuk mengambil arsip-arsip periode 65, 66 yang masih ada di pusat sejarah TNI AD,” ujarnya.

Mira juga mengimbau kepada masyarakat maupun keluarga tokoh-tokoh nasional yang memiliki arsip terkait Supersemar itu agar menyerahkannya kepada pihak ANRI untuk dikelola. (kb01/habis)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.