MALAM 2 Juli 2025, di perairan Selat Bali, seharusnya KMP Tunu Pratama Jaya melewati rute singkat. Dari Pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk. Di dek kapal itu, terdapat sopir truk yang hendak pulang, ibu-ibu beristirahat setelah lelah berjualan, hingga penjaga kantin baru bernama Elok Rumantini. Semuanya berharap tiba dengan selamat. Namun, dalam hitungan menit, mimpi itu berubah menjadi tragedi laut.
Tak berselang lama setelah mesin tiba-tiba mati di tengah gelombang tinggi, kapal oleng, kemudian terbalik. Blesss! Tenggelam dalam hitungan hanya sekitar 3 menit. Kepanikan, kegelapan, dan jeritan menyayat hati, menyatu menjadi satu. Tanpa alarm atau prosedur penyelamatan, penumpang hanya mengandalkan insting dan improvisasi.
Beberapa berhasil selamat berkat jaket pelampung. Imron mendapatkan pelampung yang mengapung dekat tubuh kapal, sementara Saiful merasa “tiba‑tiba muncul” pelampung di sampingnya, sebagaimana diceritakan para survivor. Sementara Bejo Santoso nekat meloncat dan menggenggam tubuh orang lain agar tidak menghilang, sebuah tindakan heroik sekaligus pedih.
Namun, tidak semua berakhir selamat. Salah seorang di antaranya adalah Elok Rumantini, penjaga kantin kapal dan istri sekaligus ibu dari dua anak—Zulfa Eliza, 13, dan Tirsya Ayudia, 4. Elok baru bekerja sebulan di kapal. Tapi, perannya begitu vital sebagai tulang punggung keluarga pasca kematian suaminya setahun lalu.
Esoknya, jenazah Elok ditemukan sekitar pukul 08.00 WITA di perairan Jembrana dan kemudian dimakamkan di Banyuwangi pada malam harinya. Kini, kedua anaknya tinggal bersama kakek-nenek mereka, menjalani kehidupan baru sebagai yatim piatu.
Data terbaru mencatat, 30 penumpang selamat, 6 tewas, dan 29 masih hilang hingga H+3 pascatenggelam. Upaya pencarian juga melibatkan TNI-AL yang mendatangkan tim penyelam, polisi wanita yang mendampingi keluarga korban, dan posko terpadu sebagai pusat harapan dan duka. Tabur bunga di Dermaga Ponton mengiringi doa haru keluarga korban yang masih menanti keajaiban.
Di tengah suasana duka dan kekosongan, muncul pula pesan cinta seorang sopir truk yang sempat menyampaikan “Istriku sayang, maafkan aku!” sebelum kapal tenggelam. Itu bukan hanya sekadar ucapan. Itu adalah fragmen kesedihan dari seorang manusia yang dihadapkan pada takdir tanpa peringatan.
Layaknya kisah Titanic, kapal ini pun karam tanpa alarm dan tanpa kesempatan bagi semua orang untuk selamat. Namun, jauh berbeda dari film, mereka adalah masyarakat biasa:. Ada sopir, pedagang, pekerja kantin, kembali dari relasi kehidupan yang kompleks, bukan dari gelar kelas atau kesenjangan sosial.
Gelombang Selat Bali malam itu menyisakan derai haru. Tangisan anak dan orang tua yang masih berharap. Namun di balik tragedi, muncul secercah kebersamaan: jaket pelampung yang menjadi simbol harapan, tangan nelayan yang menarik tubuh penumpang ke permukaan, dan kehadiran tim SAR yang tak kenal lelah mencari.
Pengelola kapal telah menyampaikan permintaan maaf. Sebuah pengakuan publik pertama mengenai insiden ini. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) kini tengah menghimpun data untuk mendalami penyebab tenggelamnya kapal.
Yang bertahan, mereka pun membawa beban trauma dan pembelajaran. Mereka membawa kisah tentang 3 menit yang mengubah segalanya. Tentang betapa pentingnya keselamatan dasar seperti jaket pelampung dan prosedur darurat. Keselamatan laut bukan lagi soal regulasi di atas kertas, tapi nyawa yang tak boleh dipertaruhkan.
Di antara gelombang malam dan kabut duka, ada tangisan anak tanpa ibu, suami tanpa istri, sopir truk dengan pesan terakhir. Mereka bukan aktor drama epik, tetapi representasi manusia yang terjebak dalam krisis dengan keberanian instingtif mereka sendiri.
Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya adalah catatan kelam sejarah transportasi laut Indonesia, juga momentum refleksi. Ketika laut bertanya, kita harus menjawab dengan reformasi nyata. Pelampung mencukupi untuk semua, alarm didengar semua, naluri penyelamatan menjadi sistem hingga konsistensi pengawasan kelaikan armada. Sebab, di ujung sana, ada wajah-wajah seperti Zulfa dan Tirsya, yang kini menjalani kehidupan baru dengan duka yang akan terus memanggil. (*)