KabarBaik.co- Masyarakat mesti mempunyai pemahaman yang tepat soal literasi kegamaan. Misalnya, sebutan atau panggilan bagi seseorang. Sebutan kurang tepat, bisa berakibat negatif pada orang lain. Bahkan, bisa berdampak pula pada institusi keagamaan.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim KH Moh. Hasan Mutawakkil Allallah. “Ya, terutama kepada teman-teman jurnalis, untuk literasi keagamaan ini agar menggunakan media untuk turut mengedukasi masyarakat,” katanya, dalam keterangan pers yang diterima wartawan, Senin (4/3).
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, ini memberikan contoh soal literasi keagamaan tersebut. Misalnya, penggunaan istilah atau sebutan “gus” atau “kiai”. Dia berharap, agar nomenklatur itu benar-benar dipakai dalam konteks yang pas. Seperti penyebutan Syamsudin dengan “gus”, atau penggunakan kiai dan sejenisnya.
“Nah, kami berharap, teman-teman wartawan memahami konsep-konsep kunci keagamaan agar tidak salah dalam memberitakan,” tutur kiai yang juga yang menjabat sebagai Mustasyar PWNU Jatim itu.
Sebelumnya, publik dikejutkan video viral di media sosial. Dalam video tersebut itu tampak orang duduk di kursi memakai baju panjang yang sedang memberikan arahan kepada sejumlah warga pengikutnya. Nah, arahan yang disampaikan itu memicu kontroversial luas. Betapa tidak, isinya ternyata memberikan izin untuk ganti pasangan dengan syarat suka sama suka.
Syamsudin, terduga pelaku dan pemilik konten tersebut, kini berurusan dengan pihak kepolisian. Syamsudin tidak lain dikenal sejumlah orang sebagai sosok yang bisa menyembuhkan penyakit asal Kabupaten Blitar.
Pihak MUI Jatim pun turut mengapresiasi langkah tegas kepolisian untuk menangani perkara tersebut. Sekretaris MUI Jatim Prof Akh, Muzakki mengatakan, jika benar si pelaku bersangkutan menyebut bahwa hal itu sebagai edukasi, maka jelas tidak bisa dibenarkan. Yang disebut edukasi, orientasinya positif. Dia menegaskan, Islam sama sekali tidak mengajarkan sebagaimana yang ada dalam konten tersebut.
’’Kami mendukung penuh langkah Polri supaya tidak ada lagi yang membuat konten agama untuk kepentingan pribadi, misalnya agar ratingnya tinggi,” ungkap Prof Muzakki di akun Instagramnya.
Dia menyebut, tidak benar si pelaku memiliki Ponpes. Sebab, sepengetahuannya tempat itu awalnya disebut padepokan penyembuhan. Baru kemudian, yang bersangkutan merekrut seseorang dari pesantren. Lalu, mengubah padepokan penyembuhan itu menjadi Ponpes. Padahal, sebuah Ponpes harus mendapatkan izin resmi dari Kementerian Agama. Kalau yayasan bisa dari Kemenkumham.
“Nah, soal tukar pasangan suami-istri, ini betul-betul penyimpangan dari ajaran Islam dan yang diyakini umat Islam. Masuk kategori ajaran sesat,” tutur guru besar yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya itu.
Prof Muzakki menambahkan, sanad keilmuan sangat penting untuk membantu memastikan keterjaminan mutu gagasan yang diproduksi. Apalagi terkait dengan keilmuan agama. Karena itu, pada bagian awal di banyak kitab kuning serting ditemui ada pembahasan yang menyertakan rekam jejak akademisi penulis. Tujuannya antara lain mempertegas sanad keilmuan dimaksud.
“Maka, jangan terkecoh dengan produksi konten. Apalagi yang sembarangan. Lebih-lebih sanad keilmuannya tak jelas,” tuturnya. Dia bergarap masyarakat tetap tenang. Tdak terpengaruh isi konten yang menyesatkan tersebut. (kb01)