KabarBaik.co – Sosok Tariske Valentine (23), warga Dusun Sanggar, Desa Galengdowo, Wonosalam, Jombang, menjadi salah satu pejuang budaya yang konsisten melestarikan kesenian tradisional Jawa.Ia melestarikannya lewat pembuatan Barongan Jepaplok, topeng khas pertunjukan rakyat.
Tariske bukan hanya menciptakan karya seni, namun juga membawa misi menjaga warisan leluhur agar tak hilang ditelan zaman. Menggunakan bahan kayu waru krisik yang diukir dengan presisi dan dicat warna-warni, ia menciptakan topeng barong dengan sentuhan filosofi mendalam.
“Saya bukan hanya sekadar membuat, tapi juga ingin melestarikan budaya Jawa lewat barongan atau jepaplokan. Sekarang mulai banyak anak muda yang tertarik dengan kesenian ini,” ujar Tariske kepada KabarBaik.o, Kamis (24/7).
Barong atau Jepaplok karyanya tak hanya diminati warga Jombang, tetapi juga dikirim hingga luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, daerah-daerah di Jawa Timur seperti Kediri, Mojokerto, dan Surabaya juga menjadi pasar bagi karyanya.
Tariske menjelaskan bahwa setiap elemen dalam barong memiliki makna filosofis. Kepala barong diibaratkan sebagai naga dengan mahkota bernama jamang. Mahkota ini mengandung gambar naga liman, simbol hasil akulturasi tiga unsur mitologi: burung paksi, naga, dan gajah liman.
“Barong itu digambarkan sebagai raja berwatak jahat. Tapi dari situ muncul pelajaran tentang budi pekerti dan keseimbangan,” jelasnya.
Selama 9 tahun menekuni profesi ini, Tariske mengaku proses paling rumit adalah saat mengukir kepala barong karena membutuhkan presisi tinggi antara sisi kanan dan kiri.
“Tingkat kesulitannya di kepala barong, karena harus seimbang. Bisa sampai satu bulan pengerjaannya tergantung kerumitan desain,” ungkapnya.
Harga satu unit barongan buatannya dibanderol mulai dari Rp 4 juta hingga Rp 7,5 juta, tergantung tingkat kesulitan. Harga tersebut belum termasuk kostum pendukung.
Menjelang bulan Agustus, pemesanan meningkat drastis. Menurut Tariske, periode Juni hingga Agustus merupakan musim sibuk karena banyaknya pertunjukan budaya dalam rangka menyambut HUT RI.
“Biasanya ramai di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Banyak yang butuh untuk pagelaran Agustusan,” tandasnya. (*)