Wina Armada Sukardi (1959–2025): Jejak Panjang Sang Penjaga Etika dan Nurani Pers Indonesia

oleh -646 Dilihat
WINA ARMADA
SEMASA HIDUP: Wina Armada Sukardi (tengah) saat menerima penghargaan dari MURI. (Foto MURI).

KabarBaik.co- Innalillahi waa Innailaihi Rajiun! Dunia pers Indonesia kembali kehilangan salah satu tokohnya. Wina Armada Sukardi, wartawan senior, pakar hukum pers, dan pejuang kebebasan berekspresi, meninggal dunia pada Kamis (3/7), pukul 15.59 WIB di Heartology Cardiovascular Hospital, Jakarta. Ia berpulang dalam usia 66 tahun, meninggalkan istri, Amalia Trisnawati Sukardi, dan tujuh orang anak.

Wina dikenal sebagai sosok yang tidak hanya mengabdi pada profesi jurnalistik. Namun, juga pada prinsip-prinsip hukum, etika, dan kebebasan pers yang sehat dan bertanggung jawab. Lahir di Jakarta pada 17 Oktober 1959, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga wartawan. Ayahnya, Gandi Sukardi, adalah jurnalis Kantor Berita Antara, dan kakeknya, Didi Sukardi, merupakan wartawan sekaligus pejuang kemerdekaan.

Tak heran jika semangat jurnalistik mengalir deras dalam adik mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi itu sejak muda. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMP, dan sejak itu, pena tak pernah lepas dari tangannya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini menjalani dua dunia yang begitu dicintai: Kewartawanan dan hukum. “Saya 26 tahun berkarier sebagai wartawan, tetapi juga 20 tahun sebagai pengacara,” ujarnya suatu ketika dalam sebuah wawancara dengan awak media.

Keahliannya dalam bidang hukum pers membuatnya sering diminta menjadi saksi ahli di pengadilan. Semasa hidupnya, Wina banyak menangani kasus-kasus penting, termasuk yang menyangkut sensor, kebebasan berekspresi, dan pornografi.

Dalam jagat pers nasional, nama Wina dikenal luas karena kiprahnya di berbagai media. Pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, Wakil Pemimpin Redaksi Forum Keadilan, serta redaktur di berbagai media seperti majalah Vista, Fokus, Prioritas, dan media kampus Salemba.

Sebagian media tempatnya berkarya sempat dibredel, tapi semangatnya tak pernah padam. Ia juga pernah menjadi penyiar radio, presenter televisi, hingga pengasuh acara edukatif. Selain itu, ia menulis di berbagai media nasional seperti Kompas, Sinar Harapan, dan Horizon.

Wina juga menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2003–2008, serta anggota Dewan Pers selama dua periode dari 2004–2010. Dalam posisi ini, ia dipercaya memimpin Komisi Hukum dan Perundang-Undangan.

Dedikasinya terhadap penguatan institusi pers dibarengi dengan karya-karya penting di bidang hukum. Ia menulis sejumlah buku seperti Wajah Hukum Pidana Pers dan Menggugat Kebebasan Pers, serta menyunting dan mengedit berbagai buku lainnya yang berfokus pada kebebasan media dan etika profesi.

Menariknya, di tengah ketatnya dunia hukum dan jurnalistik, Wina juga menyisihkan ruang untuk puisi. Dalam sepuluh tahun terakhir hidupnya, ia menulis setiap hari tanpa henti, dan mulai menggagas karya puisi anak-anak bertema benda, yang ia sebut puisi “serba benda”. Salah satu karyanya, Pacul Berdarah, mendapat apresiasi dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Ia percaya bahwa anak-anak pun pantas mendapat puisi yang layak, bukan sekadar puisi tentang mereka.

Dalam sebuah pandangannya, Wina percaya bahwa pers Indonesia telah memiliki undang-undang yang modern dan progresif dibanding negara-negara Asia lainnya. Baginya, yang penting bukanlah meniru luar, melainkan menyempurnakan yang sudah baik agar tetap relevan dengan zaman. Ia menolak pandangan bahwa pers Indonesia selalu tertinggal, dan justru meyakini banyak hal dari dalam negeri yang lebih maju, termasuk dalam hal perlindungan hukum terhadap pers.

Banyak kalangan juga mengenal Wina sebagai sosok yang penuh prinsip, dengan integritas tinggi,. Selain itu, dikenal rendah hati dan terbuka terhadap diskusi. Dia menjunjung tinggi profesionalisme dan berpikir jauh ke depan.

Wina Armada Sukardi adalah satu di antara cerminan langka dari wartawan yang bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga ikut menjaga marwah profesinya dengan penuh kesadaran hukum, etika, dan visi kebangsaan.

Ia kini memang telah berpulang. Tapi, semangatnya akan terus hidup dalam setiap lembar berita yang jujur, dalam ruang-ruang redaksi yang menjunjung etika, dan dalam setiap wartawan yang memilih menulis dengan nurani.

Selamat jalan, Bang Wina. Jejakmu dalam dunia pers tak akan pernah terhapus oleh waktu. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: F. Noval
Editor: Supardy Hardi


No More Posts Available.

No more pages to load.