DI SUATU musim yang tidak biasa. Saat debu-debu padang pasir masih bersetia dengan sunyinya, aku menjejakkan kaki ke tanah suci bukan sebagai jemaah biasa. Namun, bagian dari media center haji (MCH) tahun 2013. Sebuah perjalanan yang tak hanya mengubah arah langkah, tetapi juga menata ulang cara pandangku tentang makna ibadah, kerinduan, dan cinta.
Aku tahu, ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah undangan langit yang dititipkan melalui amanah duniawi. Sebuah jalan sunyi yang tak banyak diketahui, tapi berlimpah makna bagi yang menjalaninya.
Baca juga: Panggilan Langit
Menjadi bagian dari petugas haji, membuka pintu kesempatan bagiku untuk berhaji. Tanpa harus menanti puluhan tahun seperti kebanyakan orang. Dalam doa yang paling dalam, aku hanya bisa mengucap syukur yang tiada tara. “Ya Allah, Engkau panggil aku ke rumah-Mu, dengan cara yang bahkan tak kusangka.”
Namun, di tengah gemuruh syukur itu, ada ruang kosong dalam hati yang tak bisa disembunyikan. Di setiap tawaf, aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan mencari seseorang yang tak hadir. Di antara jutaan manusia yang bersimpuh, aku merindukan satu wajah: Istriku.
Andai ia di sini. Andai kami bisa menatap Kakbah bersama. Andai tangannya yang kugenggam saat mencium Hajar Aswad. Tapi, semua itu hanya angan, sementara realitas berbicara lain. Aku sendiri, ditemani tugas, menapaki jalan haji yang begitu agung, tapi tak sepenuhnya utuh.
Dalam sujud-sujud panjang di Masjidil Haram, aku menyadari bahwa haji bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah pemurnian jiwa, tempat setiap cinta duniawi diuji, disucikan, dan dipertemukan kembali dalam bentuk yang lebih ilahi.
Aku pulang membawa satu tekad kuat. Kelak, aku ingin kembali. Tapi, tidak sendiri. Aku ingin istriku ada di sampingku. Menapaki Mina, bersimpuh di Padang luas Arafah, menatap langit Muzdalifah bersama. Karena cinta sejati adalah ketika dua ruh menapaki satu jalan menuju-Nya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21).
Dari ayat itu, aku belajar bahwa pernikahan bukan sekadar berbagi kehidupan duniawi. Namun, juga ikhtiar untuk saling menuntun dalam perjalanan ukhrawi. Maka, selepas itu kami pun mulai menabung. Seberapa pun kecilnya. Setiap rupiah yang tersisa, kami simpan dalam satu wadah harapan. Tabungan haji bersama.
Menabung bagi kami bukan hanya urusan keuangan. Itu adalah proses memupuk harapan. Kami tak menyimpan uang, kami menyimpan rindu. Kami tak mengumpulkan nominal, kami mengumpulkan impian.
Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu
Tahun berganti. Satu demi satu nominal bertambah. Sampai akhirnya kami berdua mendapatkan nomor porsi. Namun, harapan itu seolah direntang panjang oleh waktu. Estimasi keberangkatan ketika itu masih tahun 2030. Tapi aku selalu berkata kepada istriku. “Jangan resah. Jika Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil.’’
Ingat firman-Nya: ‘Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu.’ (QS. Yasin: 82).”
Kami tak takut menunggu. Karena kami tahu, waktu yang panjang ini adalah waktu untuk menumbuhkan doa, memupuk salawat, dan memperdalam cinta kepada Sang Rasul. Kami mengirimkan salawat dalam setiap tahajud, seakan membisikkan kepada langit: “Ya Rasul, kami rindu. Kami ingin segera berziarah ke makammu.”
Tahun 2023, sebuah kabar datang seperti petir di siang bolong. Istriku mendapat kesempatan berhaji lebih awal. Bukan melalui porsi yang kami tabung, tapi karena menjadi pendamping ibunya yang sudah lansia dan telah mendapat porsi karena mendaftar lebih dulu. Sejak 2011. Maka, sang ibu pun tak harus menempuh perjalanan agung itu sendirian. Ada putri kandungnya di sampingnya, merawat, menemani, dan menjadi tongkat kasih yang menopangnya.
Baca juga’ Menyusuri Jejak Sunyi di Langit Hira
Aku tersenyum, walau hati ini kembali tergores. Bukan luka, tapi semacam jeda dari keinginan. Karena bagaimana pun, aku ingin kami berhaji bersama. Namun, aku sadar, cinta sejati tak selalu harus bersama dalam setiap langkah. Kadang, ia harus rela menjadi angin yang mendorong layar dari jauh.
“Barang siapa yang memudahkan urusan saudaranya, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Saat aku melepas kepergiannya, aku tak sekadar melepas seorang istri. Aku melepas sebagian jiwaku, untuk menunaikan janji kami yang tertunda. Ia pergi, bukan hanya sebagai anak dari seorang ibunya, tapi juga sebagai duta dari cinta kami yang dulu sama-sama tumbuh di setiap rupiah tabungan.
Ia tawaf, sementara aku berdoa. Ia melontar jumrah, sementara aku membaca surah. Ia berlari-lari kecil Sa’i, sementara aku membayangkan tangannya membawa serta rinduku dalam genggamannya.
Perjalanan haji bukan sekadar soal Makkah dan Madinah. Ia adalah simbol dari perjalanan hidup manusia yang sejatinya adalah perantau. Setiap kita adalah musafir, yang akan kembali ke kampung akhirat.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7).
Maka, tabungan haji kami bukan hanya tabungan finansial. Itu adalah bukti ikhtiar untuk menjadi yang terbaik. Ingin ziarah bersama. Ingin mencium Hajar Aswad bukan untuk sekadar ritual, tapi untuk menegaskan bahwa cinta kami bermuara pada Tuhan yang sama.
Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci
Menabung bukan hanya uang, tapi juga rindu yang dijaga dalam doa. Aku tahu, jalan itu akan kami tempuh lagi. Entah kapan, tapi pasti. Haji adalah janji temu. Antara ruh dan Tuhannya. Antara cinta dan keabadiannya. Antara suami dan istri yang saling menyemai cinta di jalan-Nya.
Sebagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang terpisah demi ketaatan, namun disatukan kembali dalam sejarah suci. Ia mungkin tertunda di dunia, tapi akan selalu ditumbuhkan dalam ladang keikhlasan. Dan setiap kali aku menatap langit, aku selalu berdoa: Ya Allah, izinkanlah kami kembali. Tapi kali ini, bersama dia dan anak-anakku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. (*/bersambung)






