Dari Lirboyo Menggema Suara Luka: Muhasabah untuk Negeri Menjelang Hari Santri

oleh -187 Dilihat
PWNU JATIM
KH Anwar Manshur dan KH Abdul Hakim Mahfudz (kanan), Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah PWNU Jatim.

KabarBaik.co-  Menjelang peringatan Hari Santri Nasional, suasana damai di tanah air mendadak bergemuruh. Sebuah tayangan di stasiun televisi Trans7, dalam program bertajuk Xpose Uncensored, sontak memantik kegaduhan luar biasa di kalangan umat Islam. Tayangan yang diklaim sebagai sajian investigasi itu justru menampilkan ilustrasi dan narasi yang dinilai melecehkan para kiai, santri, wali santri, serta dunia pesantren—pilar moral dan spiritual bangsa ini.

Di antara sosok yang jadi ilustrasi dalam tayangan gambar itu adalah KH Anwar Manshur, ulama sepuh kharismatik, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, salah satu pesantren terbesar dan berpengaruh di dunia Islam. Nama besar Sang Kiai tak hanya harum di kalangan santri dan ulama, melainkan juga di tengah sejarah panjang perjuangan bangsa.

KH Anwar Manshur juga Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, keturunan ulama khos yang sejak masa penjajahan telah menanamkan nilai-nilai cinta tanah air dan jihad kemerdekaan di dada umat.

Maka, ketika sosok itu dinarasikan secara tidak layak dengan intonasi menghina di layar kaca, gelombang kekecewaan pun membuncah. Dari pesantren ke pesantren, dari majelis ke majelis, suara penolakan, pengecaman, dan keprihatinan bergema. Para santri dan alumni santri menunduk, tapi hatinya bergetar. Para kiai bersuara, tapi nadanya getir. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal nama atau sebuah tayangan di televisi nasional, namun tentang kehormatan ulama, tentang adab, dan tentang marwah pesantren yang telah menjadi benteng akhlak bangsa.

Media sosial pun memanas. Seruan boikot, desakan klarifikasi, tuntutan pencabutan izin Trans7 hingga kecaman keras terhadap pihak penyiaran menggema, baik di jagat maya maupun gelombang aksi. Banyak yang menilai, tayangan itu telah melampaui batas kepantasan dan etika jurnalistik.

Pihak Trans7 memang sudah meminta maaf, termasuk permintaan maaf langsung dengan mendatangi Pesantren Lirboyo. Namun, maaf itu dianggap tidak cukup. Sakit tidak hanya dirasakan keluarga besar Lirboyo, namun juga para santri dan pesantren lainnya. Maklum, tayangan Xpose Uncensored itu bernada menggeneralisasi.

Dalam suasana menjelang Hari Santri—hari penghormatan bagi para pejuang agama yang turut menegakkan kemerdekaan Indonesia—peristiwa ini menjadi ironi. Namun di balik kegaduhan itu, satu hal menjadi nyata: kecintaan umat kepada ulama tidak bisa digoyahkan. Justru dari badai kontroversi ini, semangat untuk menjaga kehormatan pesantren dan para kiai semakin menyala.

Karena bagi santri, adab kepada guru lebih utama dari sekadar ilmu. Dan bagi bangsa Indonesia, ulama adalah pelita yang tak boleh dinistakan.

Sosok dan Silsilah KH Anwar Manshur

Diketahui, KH Anwar Manshur sudah menjabat Rais Syuriah PWNU Jatim sejak periode 2015. Beliau adalah cucu seorang ulama besar yang luar biasa perjuangannya, yakni KH Anwar Alwi, pendiri Ponpes Paculgowang, Jombang. Semasa hidup, KH Anwar Alwi adalah satu angkatan dan seperjuangan sekaligus sahabat karib dengan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Karim (Mbah Manab), pendiri Ponpes Lirboyo.

Nah, KH Anwar Manshur adalah salah seorang putra dari KH Manshur Anwar. Kemudian, Ketua PWNU Jatim KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) merupakan anak dari KH Mahfudz Anwar, pendiri Ponpes Seblak, Jombang. Dan, KH Manshur dan KH Mahfudz adalah kakak-adik, putra dari KH Anwar Alwi tersebut.

Dalam perkembangannya, tiga ulama besar di zamannya, yakni Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH Anwar Alwi Paculgowang, dan KH Abdul Karim Lirboyo, yang sama-sama santri Syaikhona KH Kholil (Mbah Kholil) Bangkalan itu saling memperjodohkan anak dan keturunannya menjadi keluarga besar.

KH Anwar Alwi lahir pada 23 Ramadan 1291 H, putra kedua dari empat bersaudara pasangan KH Alwi dan Nyai Hj. Sholihah. Sejak kecil, Anwar mengikuti jejak ayahnya, KH Alwi, dalam mendalami ilmu agama. KH Alwi membimbing langsung Anwar kecil.

Dengan sikap dan kepribadian KH Alwi yang luhur serta telaten dalam mendidik para santri dan putra-puterinya, membuat Anwar kecil semakin tekun dalam belajar. Saking semangatnya, muncullah keinginan dari Anwar kecil untuk menggali ilmu-ilmu agama lebih dalam lagi, sehingga mendorong Anwar untuk pergi belajar di pondok pesantren lain.

Namun, karena dirasa belum cukup usia, maka keinginannya itu tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Selang beberapa tahun dan dirasa Anwar sudah cukup dewasa, akhirnya kedua orang tuanya memberikan restu kepadanya untuk memperdalam ilmu agama di pesantren lain. Pengembaraannya mencari ilmu ini tidak sebatas pada pesantren di Pulau Jawa saja, namun juga sampai di luar Jawa, tepatnya di Pulau Madura.

Beberapa pesantren yang pernah disinggahi untuk mendalami ilmu agama antara lain Pondok Pesantren Wonokoyo Jogoroto Jombang, Pondok Pesantren Trenggilis Wonokromo Surabaya, Pondok Pesantren Panji Sidoarjo, Pondok Pesantren Bangkalan Madura, dan menimba ilmu di Makkah.

Mengutip dari beberapa literatur, saat awal nyantri di Bangkalan di bawah asuhan Mbah Kholil, kedatangan Anwar muda di Bangkalan menyisakan kisah unik. Konon, ketika baru melangkahkan kaki untuk memasuki Pondok Pesantren Bangkalan, Anwar tidak disambut dengan hangat oleh Sang Kiai sebagaimana layaknya seorang santri baru. Malah sebaliknya, Anwar muda malah dikejar-kejar dan dilempari batu layaknya seorang pencuri oleh Almaghfurlah Mbah Kholil.

Selang beberapa hari setelah berada di Bangkalan, cerita menjadi lain. Anwar yang dikejar-kejar dan dilempari batu itu justru menjadi pertanda sebagai santri yang akan sukses dan dekat atau disayang oleh Sang Kiai. Betul, bahkan kala itu Anwar sering diberi tugas untuk melakukan pekerjaan oleh Sang Kiai, di antaranya mencucikan pakaian Sang Kiai.

Setelah kurang lebih empat tahun menimba ilmu dengan gemblengan Mbah Kholil, datanglah sepucuk surat dari ayahnya, KH Alwi. Isinya memberi kabar bahwa ayah dan ibunya akan pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Sepucuk surat itu menimbulkan keinginan Anwar untuk ikut pergi haji bersama orang tuanya.

Hal itu juga menggugah tekadnya untuk lebih menyempurnakan ilmu agamanya di Tanah Suci. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan. Anwar lantas meminta izin ke Mbah Kholil. Dengan berat hati, Anwar belia lantas meninggalkan Bangkalan dan berpisah dengan Sang Kiai.

Nah, sewaktu Anwar menimba ilmu di Bangkalan, salah satu teman akrabnya adalah KH Hasyim Asy’ari. Pertemanan selama nyantri di Bangkalan itu juga berlanjut menjadi ikatan kekeluargaan. Sebab, putra KH Anwar menikah dengan cucu KH Hasyim Asy’ari. Besan KH Anwar lainnya adalah KH Abdul Karim Lirboyo dan KH Ma’ruf Kedunglo, Kediri.

Sekitar tahun 1890, Anwar beserta kedua orang tuanya berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Sebagaimana tekadnya, setelah selesai melakukan ibadah haji, Anwar mohon doa restu kepada orang tuanya untuk bermukim di Tanah Suci, sementara ayah bundanya kembali ke Tanah Air Indonesia.

Di luar dugaan, ternyata beberapa hari bermukim di Makkah, Anwar bertemu kembali dengan KH Hasyim Asy’ari, salah satu sahabat karibnya ketika sama-sama menjadi santri di Bangkalan.

Empat tahun kemudian, ayahnya, KH Alwi, berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji kali kedua, sekaligus menengok Anwar. Karena melihat ayahnya sudah sepuh, Anwar minta izin untuk pulang bersama ayahnya. Karena menganggap sudah cukup menimba ilmu di Tanah Suci, KH Alwi pun menyetujui keinginan pulang tersebut.

Selang beberapa waktu setelah Anwar berada di rumah, KH Alwi meninggal dunia. Sejak itulah, KH Anwar menggantikan ayahnya di Pesantren Paculgowang. Sebab, KH Anwar merupakan anak laki-laki tertua dari empat bersaudara.

Kepribadian dan Karamah

Dalam mendidik, melatih, serta membimbing para santri, KH Anwar terkenal sangat telaten. Kelemahlembutan dalam mendidik santri inilah yang kemudian membentuk kepribadian seorang kiai yang disegani para santri dan masyarakat sekitar.

Karakteristik demikian bukan hanya dicurahkan kepada para santri dan masyarakat sekitar saja, melainkan juga kepada putra-puterinya. Lebih-lebih dalam ikatan pendidikan. Hampir seluruh anaknya mendapat pendidikan langsung darinya. Karena itu, wajar jika kelak anak-anaknya mewarisi sikap kepribadiannya.

Cara dan prinsip dakwah KH Anwar lebih cenderung memakai sistem door to door atau dari rumah ke rumah. Selalu bertindak bijaksana dalam mengajak orang-orang yang belum mau melaksanakan syariat Islam. KH Anwar kurang setuju bila dakwah di tengah-tengah masyarakat hanya dengan ceramah dan pengajian umum saja.

Prinsip dakwah yang dipakai KH Anwar rupanya ada sedikit perbedaan dengan cara dakwah KH Hasyim Asy’ari, yang cenderung dakwah melalui pengajian umum atau di panggung. Hingga pada suatu hari, KH Anwar menolak dilaksanakannya lomba pidato di Pesantren Tebuireng, yang waktu itu ketua pondoknya adalah KH Wahab Hasbullah, yang kelak kemudian menjadi pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.

Perbedaan pandangan antara KH Anwar dengan KH Hasyim Asy’ari tidak terbatas hanya pada soal dakwah, namun juga beberapa persoalan lain. Di antaranya tentang boleh tidaknya membudayakan Hari Raya Idulfitri dengan istilah Hari Raya Ketupatan. Menurut KH Hasyim Asy’ari, hal itu boleh lantaran hanya beda istilah saja.

Pandangan lainnya tentang boleh tidaknya memasang kentongan di masjid. Menurut KH Hasyim Asy’ari, pemasangan kentongan atau beduk itu tidak boleh, sebab kentongan itu menyerupai lonceng gereja. Karena itu, orang Islam tidak boleh memasang dan memukul kentongan di masjid. Di pihak lain, KH Anwar berpandangan bahwa memasang kentongan itu boleh. Alasannya, kentongan dalam tradisi Islam tidak sama dengan lonceng yang dipasang di gereja-gereja orang Kristen.

Kendati demikian, perbedaan pandangan itu tidak lantas membuat hubungan KH Hasyim Asy’ari dan KH Anwar menjadi renggang. Keakraban keduanya tetap terjalin baik. Bahkan, ibaratnya bagai sejoli yang sulit dipisahkan, terutama dalam mengadakan acara-acara yang erat kaitannya dengan perjuangan, baik formal maupun nonformal.

KH Anwar dan KH Hasyim Asy’ari kerap pergi bersama ke Surabaya dalam menghadiri rapat-rapat pembentukan Jam’iyyah NU. KH Anwar pun aktif dalam menghadiri muktamar-muktamar NU, mulai muktamar pertama hingga keempat.

Perjuangan Masa Kolonial Belanda

Di zaman kolonial Belanda, meski tidak tercantum namanya sebagai tokoh maupun anggota organisasi masyarakat, KH Anwar tetap seorang ulama yang banyak berkiprah di tengah medan perjuangan. KH Anwar selalu turun ke lapangan melihat dan memberikan tuntunan kepada masyarakat agar melaksanakan perkara yang haq dan meninggalkan perkara yang batil.

Tuntunan demikian tidak terbatas hanya sebatas hukum yang harus dilaksanakan oleh umat Islam saja, namun juga tentang hukum-hukum dan kewajiban sebagian orang Islam demi keselamatan sesama, termasuk bagaimana hukumnya jihad dalam mengusir penjajah yang hendak merusak Islam dan merongrong negara.

Sikap antipati terhadap pemerintahan kolonial terlihat jelas setiap KH Anwar memberikan pengajian-pengajian, baik ngaji kuping maupun pengajian yang diselenggarakan dengan jadwal harian dan mingguan. Masyarakat sekitar Jombang sudah mengetahui persis bahwa KH Anwar adalah seorang kiai yang dengan tegas menentang kerja sama dengan segala bentuk penjajahan.

Syahdan, banyak organisasi masyarakat yang melakukan aksi pemogokan, sehingga tidak luput KH Anwar bersama KH Hasyim Asy’ari juga kiai lainnya dituduh pemerintah kolonial ikut terlibat melakukannya. Padahal, pada waktu itu aksi-aksi pemogokan yang paling banyak dilakukan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagian kecil dilakukan oleh Sarekat Islam di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, yang memang kebanyakan anggotanya dari para kiai. Namun, karena itu hanya fitnah belaka, maka para kiai akhirnya dibebaskan oleh pihak kolonial.

Pada zaman itu, KH Anwar juga sering menjadi imam salat di Masjid Agung Jombang dan daerah sekitarnya. Dalam menunaikan tugas rutinnya, sering menggunakan sepeda pancal atau dokar sebagai sarana transportasi yang murah dan efektif. Anehnya, jika KH Anwar sedang pergi mengendarai dokar itu, tidak ada kendaraan yang berani mendahuluinya.

Konon, pernah dokar yang dikendarai KH Anwar berpacu dengan kereta api (KA) jurusan Jombang–Pare, sehingga dokar itu terserempet. Namun, apa yang terjadi kemudian? Ternyata, bukan dokarnya yang rusak dan terbalik, melainkan justru tangga tempat naik KA yang rusak berat, bahkan sampai patah berantakan. Adapun KH Anwar beserta dokarnya selamat, tidak mengalami luka-luka serta kerusakan sedikit pun.

Di tengah rutinitas mendidik santri dan masyarakat, KH Anwar aktif mengikuti muktamar-muktamar NU, begitu juga Muktamar NU keempat yang diselenggarakan di Semarang, Jawa Tengah, pada 17–20 September 1929. Ketika itu, KH Anwar berangkat dengan KH Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai lainnya dari Jombang.

Sepulangnya dari muktamar, KH Anwar jatuh sakit. Walaupun demikian, tetap aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana biasanya. Dalam keadaan sakit itu, ia terus istiqamah mendidik para santrinya. Bahkan, masih menyempatkan diri untuk mengisi pengajian-pengajian di luar desa dengan mengendarai sepeda pancal sendiri.

Beberapa bulan berikutnya, saat mengisi pengajian di masjid, KH Anwar mengakhiri pengajian pukul 09.00 WIB dan berpamitan hendak keluar dari desa. Padahal, jadwal pengajian baru akan selesai pukul 14.00 WIB. Di siang terik matahari itu, KH Anwar pergi ke Nglaban, Mojowarno, jaraknya kurang lebih 15 kilometer dari Cukir, Jombang, tempat tinggalnya, menggunakan sepeda pancal.

Kepergiannya itu untuk melihat genteng yang rencananya akan dipasang di masjid Pesantren Sokopuro (pondok putra yang diasuh menantunya, KH Kholil Abdul Hadi). Setelah selesai melihat genteng tersebut, KH Anwar langsung pergi ke Sokopuro. Setiba di lokasi, KH Anwar melihat kondisi bangunan bagian atas dengan menaiki tangga.

Karena kondisi fisik yang sudah sepuh, ketika itu KH Anwar jatuh dari tangga lalu tidak sadarkan diri. Tak pelak, santri dan orang-orang di sekitarnya pun panik. Mereka lantas berupaya keras untuk memberikan pertolongan. Berbagai macam pertolongan telah dilakukan, namun takdir berkehendak lain. Pada 9 Jumadil Ula, Ahad Wage 1348 H atau 1929 M, KH Anwar berpulang.

Ketika itu, segenap umat Islam, terutama para kiai/ulama, benar-benar amat terpukul serta berduka yang amat dalam. Betapa tidak, di saat bangsa Indonesia masih dikoyak-koyak penjajah, seorang tokoh dan guru yang penuh semangat dan ikhlas tanpa pamrih membina masyarakat telah pergi selamanya. Karena itu, kepergian KH Anwar diiringi kepedihan umat.

Masyarakat berbondong-bondong membawa pulang jenazahnya dari Desa Sukopuro ke rumah duka di Paculgowang. Ribuan orang bertakziah dan bergantian menunaikan salat jenazah sampai beberapa kali. Ketika itu, yang kali pertama menjadi imam adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, sahabat akrabnya semasa masih hidup. Imam salat jenazah kedua, ketiga, dan seterusnya adalah para kiai lainnya.

Muhasabah dan Edukasi

Peristiwa Trans7 ini mesti menjadi cermin bersama bagi seluruh pihak, khususnya dunia media, bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menabrak nilai-nilai etika, adab, dan kehormatan. Dalam masyarakat yang berakar pada budaya hormat dan kearifan, penyampaian informasi bukan sekadar soal data dan fakta, tetapi juga soal hikmah dan kebijaksanaan.

Para ulama bukan sekadar figur keagamaan, melainkan penjaga nurani bangsa. Dari pesantrenlah lahir nilai kesabaran, kejujuran, dan cinta tanah air yang menjadi fondasi kokoh berdirinya Indonesia. Maka, menghormati ulama berarti menjaga keseimbangan moral negeri ini.

Semoga kejadian seperti tayangan Xpose Uncensored tidak terulang di masa mendatang. Jadikan ini pelajaran berharga bahwa setiap kata yang disiarkan publik adalah tanggung jawab besar, yang dapat menyejukkan atau justru menyulut bara.

Dan bagi kita semua, mari menjadikan momentum ini sebagai muhasabah nasional. Agar media lebih beradab, masyarakat lebih bijak, dan bangsa ini senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwariskan para ulama dan santri.

Karena pada akhirnya, peradaban sejati bukan hanya dibangun oleh kecerdasan, tetapi oleh adab dan rasa hormat. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.