19 Tahun Menanti di Tengah Lumpur, Korban Usaha Lapindo Berdoa, Titip Harapan ke Prabowo

oleh -532 Dilihat
IMG 20250531 WA0012
Puluhan pengusaha korban Lumpur lapindo doa bersama di tepi tanggul penahan Lumpur.

KabarBaik.co – Langit mendung menggantung di atas tanggul titik 21, Kelurahan Siring, Porong, Sabtu (31/5) pagi itu. Puluhan orang berdiri diam, menundukkan kepala, mengangkat tangan, dan melantunkan doa dalam keheningan. Mereka bukan warga biasa. Mereka adalah para pengusaha yang 19 tahun lalu kehilangan segalanya, pabrik, toko, kantor, dan harapan, ketika semburan lumpur Lapindo menenggelamkan kawasan industri Porong.

Doa bersama itu bukan sekadar ritual. Bagi Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL), ini adalah seruan lirih yang ditujukan kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, agar keadilan segera datang.

“Kami mengharapkan pada pemerintahan yang baru yaitu Bapak Prabowo, agar apa yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya terhadap warga korban lumpur juga diperhatikan kepada kami para pelaku usaha. Kami juga korban,” ucap Ritongga, Ketua GPKLL, usai doa bersama.

Ritongga menuturkan bahwa selama hampir dua dekade, mereka memperjuangkan hak yang tak kunjung ditunaikan. Dari 32 pengusaha yang tergabung dalam GPKLL, total kerugian ditaksir mencapai Rp800 miliar.

Ia mengaku pernah menerima uang muka Rp5 miliar, namun nilai tersebut jauh dari kerugian yang ditanggung perusahaannya yang mencapai hingga Rp80 miliar.

“Kalau korban warga dibayar, pengusaha juga harus. Kami semua sama-sama korban lumpur Lapindo,” tegasnya.

Harapan mereka bertumpu pada pemerintahan baru. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83 Tahun 2013, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dalam penanganan korban Lapindo. Namun kenyataannya, kata Ritongga, pelaku usaha seperti mereka masih terpinggirkan.

Di antara kerumunan, seorang perempuan paruh baya tampak menyeka air mata. Ia adalah Dwi Cahyani, atau yang lebih dikenal dengan sapaan akrabnya, Ibu Yeyen. Usahanya luluh lantak diterjang lumpur tahun 2006. Nilai kerugiannya? Sekitar Rp17 miliar.

“Sudah 19 tahun kami menunggu. Sudah ke mana-mana, belum ada yang mampu menyelesaikan masalah ini. Kami berharap pemerintahan baru bisa memberikan solusi nyata, bukan hanya janji,” katanya lirih.

Bagi Ibu Yeyen dan ratusan pengusaha lain, perjuangan ini bukan lagi soal uang. Ini soal keadilan. Soal kesempatan untuk bangkit kembali. Soal pengakuan bahwa mereka juga manusia yang kehilangan, bukan sekadar statistik dalam laporan negara.

“Kami tidak cari untung dari ganti rugi. Kami hanya ingin pemerintah hadir dan adil kepada semua korban,” pungkasnya.

Sembilan belas tahun sudah berlalu. Lumpur masih menyembur. Tapi lebih menyakitkan dari semburan itu adalah ketidakpastian yang tak kunjung berhenti.

Kini, mereka menggantungkan harapan pada perubahan kepemimpinan, sembari terus berdoa, agar tahun ke-20 nanti, tak lagi hanya jadi peringatan luka lama. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Yudha
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.