KabarBaik.co – Di tengah gemuruh sejarah bangsa, Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng di Kecamatan Diwek, Jombang, menjadi saksi perjalanan panjang perjuangan tiga generasi ulama besar yang jejaknya menembus tiga zaman.
Dari pesantren ini, lahir tiga tokoh bangsa yang kini menyandang gelar Pahlawan Nasional yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketiganya bukan sekadar tokoh agama, tapi juga penjaga nilai kebangsaan yang mewarnai fase penting sejarah Indonesia mulai dari revolusi kemerdekaan, pembentukan dasar negara, hingga pembaruan demokrasi pasca reformasi.
KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad yang Menyalakan Api Kemerdekaan
Nama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menjadi awal dari kisah besar ini. Pendiri Pesantren Tebuireng (1899) dan Nahdlatul Ulama (1926) itu mengobarkan semangat kemerdekaan lewat fatwa bersejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
Seruan jihad mempertahankan kemerdekaan menggugah semangat rakyat, terutama di Surabaya, hingga meletus pertempuran 10 November yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Warisan spiritual dan nasionalisme KH Hasyim Asy’ari terangkum dalam satu kalimat yang abadi di dada santri, “Hubbul Wathan Minal Iman”. Cinta tanah air adalah bagian dari iman.
KH Wahid Hasyim, Ulama Perumus Jalan Tengah Pancasila
Tongkat perjuangan diteruskan putranya KH Abdul Wahid Hasyim, sosok muda yang berperan besar dalam pembentukan dasar negara, ia juga ikut menulis arah Indonesia merdeka.
Salah satu langkah bersejarahnya adalah menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi menjaga persatuan bangsa.
Sebagai Menteri Agama pertama RI, Kiai Wahid menanamkan harmoni antara agama dan negara, serta memperkuat pendidikan Islam dan moderasi beragama di Indonesia.
Gus Dur, Sang Cucu yang Menegakkan Demokrasi dan Kemanusiaan
Puncak perjuangan tiga generasi ini hadir pada sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, cucu pendiri Tebuireng. Sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur membawa semangat pesantren ke panggung dunia.
Ia dikenal sebagai pembela demokrasi dan pluralisme. Di masa pemerintahannya, Gus Dur menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, mengakui keberagaman agama, dan menegakkan hak-hak minoritas.
Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah agama tertinggi, dan demokrasi adalah bentuk baru dari keadilan sosial.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur pada 2025 ini melengkapi lingkar sejarah keluarga besar Tebuireng. Sebelumnya, sang kakek KH Hasyim Asy’ari dan ayahnya KH Wahid Hasyim lebih dulu menerima penghargaan serupa pada 1964.
Menurut Gus Variz Muhammad Mirza, kerabat dekat keluarga, penghargaan ini bukan sekadar simbol, tetapi pengakuan atas peran besar Tebuireng dalam sejarah republik.
“Dari sinilah lahir gagasan jihad kebangsaan, moderasi Islam, dan demokrasi yang berakar pada nilai kemanusiaan,” ujar Gus Variz Selasa (11/11).
Gus Variz menambahkan Jombang memiliki warisan sejarah luar biasa, dengan keberadaan KH Wahab Chasbullah di Tambakberas yang juga menyandang gelar Pahlawan Nasional.
“Di Tebuireng sebelumnya sudah ada KH Wahid Hasyim yang juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional,” tambahnya.
Kisah tiga pahlawan dari Tebuireng bukan sekadar sejarah keluarga ulama, melainkan potret kesinambungan perjuangan bangsa.
Dari tangan para kiai inilah Indonesia belajar bahwa cinta tanah air bisa tumbuh dari pesantren, dan semangat kebangsaan bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan.
Tiga nama, tiga zaman, satu pesan, berjuang untuk agama tanpa meninggalkan bangsa, dan mencintai bangsa tanpa meninggalkan kemanusiaan. (*)








