KabarBaik.co – Angka prevalensi stunting di Sidoarjo mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengacu pada hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI).
Dari tahun 2022 hingga 2023, prevalensi stunting di Kabupaten Sidoarjo turun dari 16,1 persen menjadi 8,4 persen. Meski demikian, angka ini masih melebihi target stunting tingkat nasional yang ditetapkan sebesar 2 persen pada tahun 2045. Tapi kabar baiknya, angka ini dibawah target nasional tahun 2024, yakni 14 persen.
Kabid Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sidoarjo, dr. Inensa Khoirul Harahap menjelaskan bahwa metode pengumpulan data stunting di Sidoarjo dilakukan melalui survei SSGI dan SKI yang berbasis sampling.
“Pemerintah Pusat merekrut enumerator yang melakukan random sampling di satu desa, menargetkan lima balita. Jika kelima balita tersebut ditemukan stunting, angka stunting di desa itu bisa mencapai 100 persen. Namun, jika tidak ada satu pun yang stunting, maka angka stuntingnya hanya 5 persen,” jelasnya.
Lebih lanjut dr. Inensa mengatakan bahwa data tersebut hanya untuk sampling kebutuhan nasional, sedangkan untuk Sidoarjo sendiri memiliki sistem Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGM) yang dikelola oleh kader kesehatan.
“Data dari EPPGM menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Sidoarjo stabil di angka 3,0 persen, meskipun dapat fluktuatif setiap bulan tergantung pada intervensi gizi yang dilakukan,” lanjutnya.
“Setiap tahunnya, penurunan stunting secara nasional terus diproyeksikan, namun kita masih perlu kerja keras untuk mencapai target jangka panjang tersebut,” imbuhnya.
Sementara itu, dalam pemetaan wilayah, Puskesmas Waru tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi stunting terendah di Sidoarjo.
Sidoarjo juga telah menetapkan 15 desa sebagai lokus stunting, termasuk Desa Gampang di Kecamatan Prambon, Desa Tambakrejo dan Desa Mojoruntut di Kecamatan Krembung, serta Desa Kedungrejo di Kecamatan Jabon. Pada tahun 2025, setiap kecamatan di Sidoarjo akan memiliki minimal satu desa yang menjadi lokus stunting untuk mempercepat penurunan angka stunting.
Pemilihan lokus ini didasarkan pada risiko stunting, tingkat kehadiran di posyandu, jumlah ibu hamil dan anak balita, serta akses terhadap air bersih dari PDAM.
“Ini adalah upaya terpadu untuk memastikan peningkatan gizi anak dan pencegahan stunting di masa depan,” urai dr. Inensa.
Program penurunan stunting ini, menurut dr. Inensa, merupakan bagian dari tanggung jawab wajib Dinas Kesehatan. Program dimulai sejak remaja putri melalui pemberian suplemen dan tablet tambah darah, dilanjutkan dengan calon pengantin dan ibu hamil. Setelah bayi lahir, pemantauan balita dilakukan secara berkala.
“Kami juga menggandeng DP3AKB Sidoarjo untuk pola asuh orang tua dan Dispendikbud Sidoarjo untuk memberikan stimulus motorik di PAUD, TK, bahkan SD,” pungkasnya. (*)