KabarBaik.co- Mata dunia tengah tertuju pada Iran. Negara di Timur Tengah yang kini berperang melawan Israel. Belakangan, Amerika Serikat (AS) di bawah kendali Presiden Donald Trump membantu negeri zionis itu. Ikut menyerang Teheran. Jutaan penduduk dunia pun ramai-ramai mengecam.
Negara-negara sekutu mereka pun saling ancam-mengancam. Siap saling memberikan bantuan dan dukungan. Apakah ke Iran atau ke Israel. Entah sudah berapa korban meninggal dunia dan terluka dampak peperangan sejak pertengahan Juni lalu itu. Baik warga sipil ataupun militer.
Rudal-rudal merusak dan mematikan dari dua negara terus beterbangan. Terus memakan korban. Nyawa Ayatollah Ali Khomeini, pemimpin tertinggi Iran, pun disebut-sebut dalam ancaman. Selain berdalih ingin menghancurkan program nuklir Iran, Israel juga bernafsu besar menghabisi dan menggulingkan rezim Ali Khomeini. Bahkan, bayang-bayang pembunuhan.
Ayatollah Ali Khameini adalah pemimpin tertinggi Iran sekarang. Ia bukan keturunan Ayatollah Khomeini. Hanya pernah menjadi muridnya. Ali Khomeini menduduki jabatan puncak tersebut sejak 1989. Sebagai pemimpin tertinggi, baik sebagai kepala negara dan panglima tertinggi militer, yang mencakup Korps Garda Revolusi Iran (IRGC). Ia bisa memveto setiap kebijakan publik dan memiliki hak untuk memilih kandidat pejabat publik.
Ali Khameini lahir di Mashhad, kota terbesar kedua di Iran, pada 1939. Dia anak kedua dari delapan bersaudara dalam keluarga religius. Sejak kecil, pendidikannya didominasi oleh kajian Alquran. Bahkan, Ali Khameini disebut telah memenuhi syarat sebagai ulama pada usia 11 tahun. Di masa muda, ia kerap hidup di bawah tanah dan mendekam di penjara. Ditangkap enam kali oleh pemerintahan saat itu, disiksa, dan diasingkan di dalam negeri.
Ali Khameini kemudian terpilih sebagai Presiden Iran pada 1981. Delapan tahun kemudian, ia dipilih para pemuka agama sebagai penerus Ayatollah Khomeini yang meninggal pada usia 86 tahun.
Selama memimpin Iran, Ali Khameini jarang bepergian ke luar negeri. Ia sosok pemimpin yang hidup sederhana bersama istrinya, Mansoureh Khojasteh Baqerzadeh. Keduanya, memiliki enam orang anak, empat putra dan dua putri. Keluarga mereka jarang muncul di depan publik atau di media. Informasi tentang kehidupan pribadi anak-anaknya terbatas.
Jejak Persia Jadi Nama Iran
Di tengah perang yang berkecamuk di Iran, publik dunia pun kembali mengingat nama besar Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin Revolusi Iran. Lahir 24 September 1902 di Khomein, Persia Tengah. Nama lengkapnya, Ruhollah Musavi Khomeini. Akrab juga dengan sebutan Imam Khomeini. Ia putra dari Mostafavi Musavi, seorang penentang Dinasti Qajar yang berkuasa di Persia ketika itu. Saat berumur lima bulan, Khomeini kehilangan ayah. Orang-orang bayaran dari Dinasti Qajar membunuhnya.
Khomeini kecil telah terbiasa hidup keras. Dia terbiasa dengan perang dan mempertahankan wilayahnya dari serangan orang-orang bayaran Dinasti Qajar. “Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan peran. Saat saya masih anak-anak atau kira-kira di masa-masa awal balig, saya mengawasi kantong-kantong perlindungan di kampung kami,” kata Khomeini dilansir dalam buku Imam Khomeini dari Lahir hingga Wafat terbitan Islamic Culture and Relations Organization.
Khomeini remaja kemudian hijrah ke Kota Qom. Mendalami ilmu agama pada 1921. Qom adalah kota intelektual bagi orang-orang Islam di Persia. Di sini para murid juga mempelajari filsafat dan pengetahuan kebatinan tentang Islam. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Khomeini mengajar di Najaf, sekarang menjadi bagian dari Irak.
Selama menjadi pelajar di Qom dan pengajar di Najaf, Khomeini menyaksikan sejumlah perubahan politik dan sosial di negerinya. Kerajaan Rusia runtuh pada 1917 oleh Revolusi Bolshevik. Padahal, kerajaan itu pendukung kuat Dinasti Qajar. Akibatnya, Dinasti Qajar kehilangan sokongan dan jatuh pada 1925.
Akhirnya, Reza Khan tampil menggantikan penguasa sebelumnya. Ia mendirikan dinasti baru bernama Pahlevi dengan sokongan Inggris. Reza Khan memimpin Persia dengan cara-cara tiran. Dia mirip pendahulunya, memberangus lawan-lawan politiknya. Termasuk pula kalangan agamawan.
Protes pun mengemuka di mana-mana. Reza Khan mengeluarkan Revolusi Konstitusional. Membagi kekuasaan menjadi tiga bidang. Yakni, yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Langkah ini dinilai mampu membuat protes mereda. Tapi sebenarnya gerakan oposisi yang digalang kaum agamawan masih bergerak di bawah tanah.
Pada 1935, Reza Khan mengubah nama Persia menjadi Iran. Menjelang Perang Dunia II, Reza Khan menjalin hubungan dengan Jerman. Kedekatan ini mengganggu hubungan Iran dengan Inggris dan Rusia. Keduanya memiliki sejumlah konsesi minyak di Iran dan berseberangan dengan Jerman. Karena kedekatan tersebut, Inggris dan Rusia bertindak menyingkirkan Reza Khan. Raja itu pun jatuh dan diganti oleh anaknya, Reza Pahlevi.
Reza Pahlevi menginginkan Iran yang maju. Setara dengan negara-negara Barat. Dia sangat dekat dengan AS. Selama memerintah pada 1960-an, Reza Pahlevi mendatangkan 60 ribuan orang AS. Mereka itu terdiri atas ahli dan tenaga kerja asing. Rupanya, kedatangan mereka itu disebut berdampak terjadinya benturan kebudayaan.
Reza Pahlevi juga menempuh cara-cara tiran dalam memerintah. Ia menutup sekolah-sekolah dan universitas di Teheran. Tapi, justru membangun kekuatan teror lewat polisi rahasia untuk menculik, menyiksa, dan membunuh lawan politiknya. Amnesti International mencatat, setidaknya 100 ribu orang menjadi tahanan politik sepanjang pemerintahan Reza Pahlevi.
Ayatullah Khomeini mengamati perubahan itu sejak masih remaja. Dia kerap berdiskusi dengan teman-temannya tentang kerusakan-kerusakan negerinya dan bagaimana memperbaikinya. “Imam Khomeini melihat bahwa satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa diktator dan konspirasi asing, pascakegagalan Revolusi Konstitusional dan berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah (perguruan tinggi, Red.),” ungkap tim Islamic Culture and Relations Organization.
Sejak naiknya Reza Pahlevi sebagai penguasa pada 1940-an, nama Ayatullah Khomeini telah dikenal luas di kalangan kaum agamawan Iran. Ayatullah Khomeini pun membangun jaringan dengan masyarakat luas. Dia percaya sebelum membangkitkan peran ulama, hubungan spiritual ulama dan masyarakat harus kuat.
Selain itu, Khomeini mulai rajin menulis buku dan artikel untuk membangun jiwa masyarakat. Beberapa buku dan artikelnya juga berisi kritik dan tinjauan atas Dinasti Pahlevi. Karena kritiknya, dia ditangkap dan ditahan rezim Reza Pahlevi selama delapan bulan pada 1964. Selepas dari tahanan, kritik Khomeini pada rezim Reza Pahlevi semakin keras. Rezim menangkapnya lagi dan membuangnya ke Turki dan Irak.
Selama masa pembuangan, Ayatullah Khomeini memberikan dukungan berupa uang dan pikirannya untuk orang-orang Palestina. Dari Irak pula, ia tetap mengamati perkembangan di Iran. Rezim Reza Pahlevi makin menindas. Ratusan orang tewas setiap tahun karena menentang rezim Reza Pahlevi.
Kritik-kritik Ayatullah Khomeini terungkap dalam kaset-kaset ceramahnya. Kaset itu tersebar luas di Iran. Mendapat tempat di kelompok opisisi, di luar kalangan Islam seperti anggota partai komunis Iran dan orang-orang nasionalis sekuler. Seluruh kelompok oposisi berbagai aliran berada di belakang Ayatullah Khomeini.
Karena sepak terjangnya, nyawa Ayatullah Khomeini di Irak terancam. Tentara Irak mengepung rumahnya. Tapi, ia berhasil lolos dan tinggal di wilayah pinggiran Paris, Perancis, sejak 14 Mei 1978. Pemerintah Perancis meminta Ayatullah Khomeini menghentikan segala aktivitas politik. Tapi, ia tetap melancarkan ceramah-ceramahnya.
Orang-orang di Iran mulai bergerak. Mereka turun ke jalan dan berteriak, “Hidup Khomeini, Mampuslah Shah.” Kala itu, militer menembaki pemrotes. Banyak orang gugur. Namun, benih-benih perlawanan semakin tumbuh lebih banyak. Buruh, dokter, wartawan, petani, pelajar, dan mahasiswa mogok nasional.
AS mulai mengendurkan dukungannya pada Reza Pahlevi. Menteri-menterinya juga mulai mengundurkan diri. Reza Pahlevi kehilangan dukungan. Akhirnya, pada 16 Januari, Reza Pahlevi pergi dari Iran. Penduduk Iran pun bersuka-cita atas kepergian tersebut. Mereka juga berharap agar Ayatullah Khomeini bisa segera kembali ke Iran.
Pada 1 Februari 1979, Ayatullah Khomeini menjejakkan kakinya kembali di Iran. Dia disambut luas oleh gerakan perlawanan yang digalang sejak lama dan melibatkan berbagai kelompok. Sejak saat itulah Iran di bawah kepemimpinannya, sebelum akhirnya berpindah ke Ali Khomeni sekarang ini.
Kini, gejolak besar kembali terjadi di Bumi Persia. Bagaimana nasibnya ke depan? Entahlah. Yang jelas, seperti kata KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) bahwa kemanusiaan adalah hal paling utama. (*)