Babak Baru di Tanah Para Pewarta: Ketika Matahari Persatuan Kembali Bersinar

oleh -505 Dilihat
LOGO PWI

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

SETAHUN lamanya, bahtera PWI Pusat oleng. Diterpa badai dualisme kepemimpinan. Dua nakhoda, Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang. Masing-masing memegang kemudi. Menarik biduk ke arah yang berbeda. Angin perpecahan berembus kencang, mencabik layar persatuan, dan membuat para awak kapal di berbagai penjuru negeri, para pengurus daerah yang setia, terombang-ambing dalam kebingungan. Surat keputusan (SK) pemecatan sempat saling berbalas layaknya anak panah yang melesat di kegelapan, menambah luka dan ketidakpastian.

Namun, di tengah kelamnya perseteruan, secercah cahaya mulai tampak. Kabar tentang islah, tentang kesediaan kedua tokoh untuk duduk bersama dan merajut kembali benang persaudaraan, bagaikan embun pagi yang menyegarkan dahaga tanah yang kering. Perdamaian, sebuah kata yang sederhana namun sarat makna, hadir sebagai melodi indah setelah dentuman badai.

Ini bukan tentang menang atau kalah. Bukan tentang siapa yang lebih unggul, melainkan tentang kesadaran yang mendalam akan tujuan yang lebih luhur. Masa depan organisasi profesi wartawan tertua di negeri ini, PWI, yang akarnya menghujam kuat dalam sejarah perjuangan bangsa.

Dalam konteks konflik PWI, kesediaan Bang Hendry untuk meredakan tensi dan membuka diri terhadap dialog adalah manifestasi dari jiwa negarawan. Ia menyadari bahwa ego pribadi, sebesar apapun, tidaklah sebanding dengan kehancuran sebuah organisasi yang memiliki sejarah panjang dalam mengawal republik ini. Keputusannya untuk mengulurkan tangan adalah seperti seorang arsitek ulung yang bersedia merobohkan sekat-sekat pemisah demi membangun jembatan persatuan yang lebih kokoh. Ini adalah pelajaran berharga tentang kepemimpinan yang matang, yang mampu melihat melampaui kepentingan sesaat dan fokus pada warisan yang akan ditinggalkan.

Pun demikian dengan Bang Zulmansyah Sekedang. Salah seorang sosok dengan visi dan dedikasi kuat untuk memajukan dunia pers Indonesia. Sosok yang memiliki semangat tinggi dalam mengembangkan kompetensi wartawan dan memperluas jaringan organisasi. Keputusannya untuk berdamai, untuk mengakhiri polemik yang berkepanjangan, adalah cerminan dari kebijaksanaan seorang nahkoda yang menyadari bahwa badai pasti akan reda dan pelabuhan persaudaraan adalah tempat yang paling aman untuk berlabuh.

Langkah keduanya untuk menurunkan tensi dan mencari solusi bersama adalah tindakan yang patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak hanya terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan posisi, tetapi juga pada kebesaran hatinya untuk mengakui pentingnya persatuan dan kebersamaan. Ini adalah esensi dari kepemimpinan transformatif, yang mampu menginspirasi dan menggerakkan seluruh anggota organisasi menuju tujuan yang lebih mulia.

Perdamaian yang terjalin di tubuh PWI bukanlah sekadar kesepakatan formal di atas kertas. Ia mengandung filosofi yang mendalam tentang hakikat sebuah organisasi, tentang pentingnya mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Perdamaian ini adalah cerminan dari kearifan lokal bangsa, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

Dalam perspektif filosofis, konflik seringkali dipicu oleh ego dan keinginan untuk mendominasi. Namun, kedewasaan terletak pada kemampuan untuk melampaui ego tersebut, untuk melihat bahwa kebenaran tidak selalu tunggal dan bahwa perbedaan adalah kekayaan yang dapat memperkuat, bukan melemahkan. Bang Hendry dan Bang Zulmansyah, melalui kesediaan mereka untuk berdamai, telah mengajarkan sebuah pelajaran berharga tentang kerendahan hati dan visi yang jauh ke depan.

Perdamaian ini juga mengingatkan kita pada konsep “zero-sum game” yang keliru. Dalam konflik, seringkali kita terjebak dalam pemikiran bahwa kemenangan satu pihak harus dibayar dengan kekalahan pihak lain. Namun, perdamaian yang sejati justru menciptakan situasi “win-win solution,” di mana semua pihak mendapatkan manfaat dari harmoni dan kolaborasi. PWI sebagai sebuah organisasi akan jauh lebih kuat dan berwibawa jika seluruh energinya disalurkan untuk memajukan kualitas jurnalisme Indonesia dan memperjuangkan kepentingan pers.

Metafora Organisasi: Tubuh yang Kembali Sehat

PWI, sebagai organisasi profesi wartawan tertua, dapat diibaratkan sebagai sebuah tubuh. Setahun terakhir, tubuh ini mengalami sakit akibat perpecahan. Dua kepala dengan arah yang berbeda membuat koordinasi menjadi sulit. Energi tubuh terkuras untuk mengatasi peradangan internal. Para anggota di daerah, yang merupakan sel-sel penting dalam tubuh organisasi, merasakan dampaknya secara langsung. Mereka menjadi bingung, kehilangan arah, dan produktivitas organisasi pun terhambat.

Namun, kabar perdamaian ini adalah seperti obat mujarab yang menyembuhkan penyakit. Kedua pemimpin, yang ibaratnya adalah dua organ vital dalam tubuh organisasi, telah sepakat untuk bekerja sama demi kesehatan dan kebaikan seluruh tubuh. Jabat tangan mereka adalah simbol dari pulihnya komunikasi dan koordinasi. Energi yang sebelumnya terkuras untuk konflik kini dapat dialirkan kembali untuk memajukan organisasi, meningkatkan kualitas anggota, dan berkontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara.

Perdamaian ini juga menjadi metafora bagi pentingnya regenerasi dan kesinambungan. PWI adalah organisasi yang dibangun oleh para pejuang pers di masa lalu, dengan tinta sejarah yang turut mewarnai perjuangan kemerdekaan. Para pemimpin saat ini memiliki tanggung jawab untuk menjaga warisan tersebut, untuk memastikan bahwa obor semangat jurnalisme terus menyala dari generasi ke generasi. Konflik yang berkepanjangan hanya akan merusak citra organisasi dan menjauhkan generasi muda wartawan dari PWI. Dengan bersatu, Bang Hendry dan Bang Zulmansyah telah membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah, di mana PWI akan terus menjadi rumah bagi para wartawan Indonesia, tanpa memandang perbedaan pandangan.

Perdamaian di balik konflik PWI Pusat adalah sebuah momentum yang patut kita renungkan bersama. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kedewasaan dalam berorganisasi, tentang keutamaan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perbedaan. Kisah ini adalah pengingat bahwa sebesar apapun ego dan perbedaan pandangan, tujuan yang lebih besar, yaitu kemajuan organisasi dan kepentingan bersama, harus selalu menjadi kompas penuntun.

Sebagai individu, kita juga dapat belajar dari peristiwa ini. Dalam setiap interaksi dan relasi, baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun masyarakat, potensi konflik selalu ada. Namun, kemampuan untuk menurunkan ego, untuk membuka diri terhadap perspektif lain, dan untuk mengedepankan dialog adalah kunci untuk mencapai harmoni dan kemajuan bersama. Perdamaian bukanlah tanda kelemahan, melainkan manifestasi dari kekuatan karakter dan kebijaksanaan.

Kabar baik dari PWI ini bagaikan matahari yang kembali bersinar setelah badai berlalu. Ia membawa harapan baru, semangat baru, dan energi baru bagi insan pers Indonesia. Semoga perdamaian ini bukan hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa mengedepankan persatuan dan kesatuan demi masa depan yang lebih baik. PWI, dengan sejarah panjangnya, kini memiliki kesempatan emas untuk kembali menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Mari kita sambut babak baru ini dengan optimisme dan harapan, karena di balik jabat tangan perdamaian, tersemat kekuatan besar untuk membangun masa depan yang lebih gemilang.

Melampaui Figur, Merajut Sistem: Esensi Abadi dalam Rumah Pewarta

Ketika matahari persatuan telah terbit, menghalau kabut dualisme, fokus kita kini tertuju pada gerbang Kongres Persatuan yang akan datang, sebuah momentum krusial yang diamanatkan paling lambat Agustus 2025. Namun, di tengah hiruk pikuk persiapan dan spekulasi tentang siapa yang akan menduduki tampuk kepemimpinan, sebuah kearifan yang lebih mendasar perlu kita renungkan: figur yang terpilih kelak bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari perjalanan panjang organisasi.

Dalam lanskap yang lebih luas, siapapun yang terpilih untuk mengemban amanah sebagai nahkoda PWI berikutnya, betapapun cakap dan visionernya, hanyalah pelanjut estafet kepemimpinan. Esensi sejati PWI tidak bersemayam pada personifikasi individu, melainkan pada nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi organisasi ini berdiri kokoh. Ibarat sebuah pohon rindang yang telah berusia ratusan tahun, kekuatannya bukan hanya pada cabang dan daun yang terus berganti, melainkan pada akar yang menghujam dalam bumi sejarah, pada batang yang kokoh menopang perjalanan waktu.

PWI bukanlah miniatur partai politik, bukan pula arena pertarungan ideologi kekuasaan. Ia adalah rumah besar bagi para pewarta, sebuah wadah profesi yang dibangun atas dasar idealisme, etika, dan semangat persaudaraan. Nilai-nilai inilah yang menjadi kompas moral dan panduan bertindak bagi setiap anggotanya. Kebebasan pers yang bertanggung jawab, keberimbangan dalam pemberitaan, solidaritas antar sesama jurnalis, dan komitmen terhadap kebenaran adalah jantung dari eksistensi PWI.

Karena itu, fokus utama dalam menyambut kongres mendatang bukanlah semata-mata pada siapa yang akan menduduki kursi ketua umum. Yang jauh lebih esensial adalah bagaimana sistem organisasi diperkuat, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan ditingkatkan, bagaimana kaderisasi kepemimpinan berjalan secara berkelanjutan, dan bagaimana nilai-nilai utama PWI terus diinternalisasi dan diamalkan oleh setiap anggota.

Kita dapat membayangkan PWI sebagai sebuah bangunan bersejarah. Para pendahulu telah meletakkan batu pertama dan membangun pilar-pilar kokoh. Setiap generasi kepemimpinan adalah arsitek yang bertugas untuk merawat, mengembangkan, dan memperindah bangunan ini, sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Namun, keindahan dan kekuatan bangunan tidak hanya ditentukan oleh keahlian arsitek saat ini, melainkan juga oleh kualitas material yang digunakan, kekuatan fondasi, dan tata ruang yang fungsional.

Kongres mendatang adalah kesempatan emas untuk meninjau kembali “blue print” organisasi, untuk memastikan bahwa sistem yang ada mampu mengakomodasi dinamika zaman, melindungi hak-hak anggota, dan mendorong profesionalisme jurnalisme Indonesia. Mekanisme pemilihan pemimpin yang transparan dan akuntabel, program kerja yang visioner dan terukur, serta sistem pengawasan yang efektif adalah elemen-elemen penting dalam membangun arsitektur keabadian PWI.

Ketika terlalu fokus pada figur individual, berisiko terjebak dalam kultus personalitas yang rapuh. Ketika pemimpin berganti, arah organisasi pun bisa ikut berubah secara drastis, bergantung pada visi dan preferensi individu tersebut. Namun, jika kita meletakkan fondasi yang kuat pada sistem yang mapan dan nilai-nilai yang dipegang teguh, maka PWI akan tetap kokoh berdiri, siapapun yang berada di pucuk kepemimpinan.

Nilai-nilai utama PWI adalah jangkar yang menjaga bahtera organisasi tetap stabil di tengah gelombang perubahan zaman. Di era disrupsi informasi dan tantangan terhadap kredibilitas media, komitmen terhadap etika jurnalistik, keakuratan fakta, dan keberimbangan pemberitaan menjadi semakin krusial. Sistem organisasi yang kuat harus mampu menanamkan nilai-nilai ini kepada setiap anggota, sejak mereka pertama kali bergabung hingga mereka menjadi pemimpin di masa depan.

Kongres mendatang harus menjadi momentum untuk meneguhkan kembali nilai-nilai inti PWI, untuk merumuskan mekanisme yang efektif dalam mengawasi implementasinya, dan untuk memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran etika. Dengan demikian, PWI tidak hanya akan menjadi organisasi yang besar secara kuantitas, tetapi juga bermartabat secara kualitas.

Perdamaian yang telah terjalin adalah modal berharga untuk menatap masa depan PWI dengan lebih optimis. Namun, euforia sesaat tidak boleh membuat kita melupakan esensi yang lebih dalam. Kongres Persatuan yang akan datang bukanlah sekadar ajang pemilihan pemimpin, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali jati diri PWI sebagai organisasi profesi yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan sistem yang kuat.

Siapapun yang terpilih kelak, amanah yang diemban adalah untuk melayani organisasi dan seluruh anggotanya, bukan untuk mencari kekuasaan atau popularitas pribadi. Kepemimpinan yang sejati adalah tentang bagaimana seseorang mampu menginspirasi, menggerakkan, dan memberdayakan seluruh anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

Mari kita sambut Kongres Persatuan dengan semangat membangun, dengan fokus pada penguatan sistem dan peneguhan nilai-nilai. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah nama-nama pemimpin silih berganti, melainkan warisan abadi dari sebuah organisasi yang terus berkontribusi bagi kemajuan pers Indonesia dan bangsa. PWI harus terus menjadi rumah yang nyaman dan membanggakan bagi para pewarta, tempat di mana idealisme bertemu dengan profesionalisme, dan di mana semangat persatuan mengalahkan segala perbedaan. (*)

—-

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik, Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.