Dualisme Pengurus PWI Pusat? Recalling Dahlan Iskan

oleh -537 Dilihat
LOGO PWI

SEJARAH kerap berulang. Dualisme kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Organisasi profesi wartawan paling tua. Pada 9 Februari 2025 sudah berusia ke-79 tahun. Seumuran Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.  Dalam sejarahnya, memang wartawan memiliki andil besar terhadap proses kemerdekaan bangsa.

Pengurus PWI Pusat kembar siam. Satu pihak mendukung kepengurusan Hasil Kongres XXV di Bandung, 23 September 2023. Melalui pemungutan suara, peserta Kongres banyak menjatuhkan pilihan kepada Henry Ch Bangun sebagai ketua umum. Henry tidak lain mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI, yang juga pernah menjadi anggota Dewan Pers.

Di kubu lain, Zulmansyah Sekedang dipilih sebagai ketua umum versi Komgres Luar Biasa (KLB) PWI di Jakarta, Agustus 2024. Sebelumnya, ia merupakan ketua PWI Provinsi Riau. Di Kongres PWI XXV Bandung itu, Zulmansyah juga salah seorang kandidat ketua umum. Satu calon lagi, petahana Atal S  Depari

kabarbaik lebaran

Kedua kubu mengklaim sama-sama sah. Dengan dalih masing-masing  PWI di tingkat provinsi pun terbelah. Ada yang menginduk ke pihak Henry Ch Bangun. Ada juga yang merapat ke kubu Zulmansyah. Di puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 pada 9 Februari lalu, keduanya juga sama-sama menggelar acara besar. Satu berlokasi di Kalimantan Selatan, satunya di Riau.

Lazimnya dualisme di organisasi besar, kondisi itu jelas berdampak serius. Sebetulnya, upaya rekonsiliasi sudah beberapa kali ditempuh. Misalnya oleh Ketua Dewan Pers Nirik Rahayu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, hingga Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria. Toh, belum tercapai perdamian alias gagal.

Karena dualisme itu, Presiden pun memilih tidak hadir di puncak peringatan HPN. Padahal, biasanya Presiden tidak pernah absen di momentum penting itu. Sebab, sudah mashur bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah kekuasan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Karena itu, menjadi aneh kalau sampai tidak hadir.

Dualisme PWI Pusat bukan kali pertama. Pada 1970 silam, pengalaman pahit itu juga pernah terjadi. Tentu beda latar belakang, setting, dan zaman. Melalui Kongres XIV di Palembang, lahir dua kepengurusan PWI Pusat. Yakni, jajaran pengurus dengan Ketua Umum Burhanuddin Muhammad (BM) Diah, lalu kepengurusan di bawah kendali Ketua Umum Rosihan Anwar.

Sejumlah cerita beserta latar di balik konflik pasca Kongres XIV Palembang itu bisa dibaca di sejumlah buku. Tentu dari perspektif masing-masing. Di antaranya, buku karya IN Soebagijo berjudul: Jagat Wartawan Indonesia (1981), buku Rosihan Anwar berjudul:  Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi (1983), dan buku yang ditulis Toeti Kakiailatu berjudul: BM Diah: Wartawan Serba Bisa (1997).

BM Diah dan Rosihan Anwar beserta jajaran pengurusnya masing-masing, sama-sama tokoh hebat. Demikian juga di kepengurusan PWI Pusat saat ini. Praktis mereka merupakan tokoh hebat dan para wartawan senior. Memiliki rekam jejak yang terentang panjang. Baik di perusahaan pers maupun organisasi. Sama-sama luar biasa di zamannya. Seperti hukum alam, setiap orang pasti ada masanya, setiap masa pasti ada orangnya.

Dualisme kepengurusan PWI Pusat antara kubu BM Diah dan Rosihan Anwar berlangsung cukup lama. Tiga tahun. Singkat cerita, konflik itu akhirnya kelar. Dan, Bumi Majapahit, Jawa Timur menjadi saksi sejarah rekonsilisasi perpecahan itu. Membaca sejarahnya. Pada Desember 1973, melalui Kongres XV di Tretes, peserta memilih Harmoko sebagai ketua umum PWI Pusat periode 1973-1978.

Terpilihnya Harmoko yang kelak menjadi Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto itupun mengakhiri konflik panjang antara BM Diah dan Rosihan Anwar. Nah, apakah ending dari dualisme PWI Pusat sekarang ini juga bakal mengulang seperti cerita lampau itu? Mesti menanti sosok ’’Harmoko baru’’? Kalau iya, siapakah orangnya? Atau berakhir dengan sendirinya? Ataukah butuh mediator atau konsiliator baru setelah beberapa kali kandas? Kalau iya, siapakah orangnya?

***

Mohom beribu maaf, penulis tidak bermaksud mengajari. Namun, catatan-catatan ini hanya sebatas teori yang pernah penulis dapat dari sejumlah praktisi. Dan, mungkin semua sudah mengetahui. Bahkan sangat memahami. Bahwa, tidaklah mudah menjadi mediator. Penengah konflik para pihak. Apalagi, konflik itu bukan lagi orang dengan orang. Tapi, sudah melibatkan banyak orang. Meluas.

Syarat nenjadi mediator antara lain netral dan objektif. Mediator harus di tengah, tidak memihak dalam menangani konflik. Mediator harus mampu menjaga kepercayaan dari kedua belah pihak. Lalu, memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Mediator harus mampu mendengarkan secara aktif, memahami perspektif kedua belah pihak, dan menyampaikan pesan dengan jelas serta berkemampuan memfasilitasi dialog yang konstruktif.

Ketiga, memiliki pengetahuan tentang konflik dan resolusi konflik yang terjadi. Mediator perlu memahami dinamika konflik, penyebab konflik, dan metode resolusi yang efektif.  Pengetahuan tentang teori-teori konflik dan negosiasi juga sangat diperlukan. Keempat, mediator harus mampu memfasilitasi proses negosiasi yang adil dan mengarahkan para pihak menuju solusi yang saling menguntungkan (win-win solution).

Selain itu, mediator harus mampu memahami emosi dan kebutuhan kedua belah pihak tanpa terlibat secara emosional. Kesabaran pun diperlukan karena bisa jadi proses mediasi memakan waktu lama. Selanjutnya, mediator juga harus memiliki reputasi yang baik dan dihormati oleh kedua belah pihak. Memiliki integritas dalam menjaga kerahasiaan selama proses mediasi.

Penulis juga pernah membaca buku Getting to Yes: Negotiating Agreement Without Giving In, karya Roger Fisher dan William Ury. Buku ini memperkenalkan pendekatan yang disebut Principled Negotiation atau Negosiasi Prinsip. Ada empat prinsip dasar dalam negosiasi prinsip. Pertama, memisahkan orang dari masalah (separate the people from the problem). Fokus pada masalah, bukan pada orangnya.

Kedua, fokus pada kepentingan, bukan posisi (focus on interests, not positions). Posisi adalah apa yang dikatakan oleh para pihak yang berkonflik, sedangkan kepentingan adalah alasan di balik posisi tersebut. Mediator mesti mencari tahu kepentingan mendasar dari para pihak, seperti kebutuhan, keinginan, dan kekhawatiran.

Ketiga, menghasilkan opsi yang saling menguntungkan (generate options for mutual gain). Mediator mesti berupaya bisa menciptakan berbagai opsi solusi sebelum memutuskan apa yang akan dilakukan. Solusi yang memenuhi kepentingan kedua belah pihak (win-win solution). Keempat, insist on using objective criteria). Menggunakan standar yang adil, independen, dan dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk mengevaluasi solusi.

Dalam buku itu juga dipaparkan bagaiman teknik mediasi. Di antatanya, Best Alternative to a Negotiated Agreement (BATNA). BATNA disebut sebagai alternatif terbaik yang dapat dilakukan. Mediator membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk mengidentifikasi BATNA masing-masing agar mereka dapat mengevaluasi apakah kesepakatan yang ditawarkan lebih baik daripada alternatif terbaik mereka. Misalnya, jika BATNA salah satu pihak adalah melanjutkan konflik, mediator dapat membantu untuk melihat dengan hati jernih bahwa kesepakatan damai lebih menguntungkan.

Selain BATNA, teknik mediasi lainnya adalah membingkai ulang (reframing). Mediator mampu membantu pihak-pihak yang bertikai melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda dengan membingkai ulang pernyataan negatif menjadi pernyataan yang lebih konstruktif.

Sekali lagi, paparan di atas bukan bernat menggurui siapapun. Itu hanya review materi yang pasti diberikan para narusumber setiap kali mengikuti pelatihan mediator atau konsiliator.

Nah, apakah para tokoh yang sudah berupaya mendamaikan itu tidak menggunakan teknik-teknik itu? Kita meyakini pasti sudah. Meski menguasai dan menggunakan teknik media dalam teori-teori tersebut, memang tidak ada jaminan akan membuahkan hasil atau terjadi perdamaian.

Namun, tentu tidak salah perlu sosok-sosok mediator lain, sebagai bagian ikhtiar terus menerus. Bukan “Harmoko baru”.  Dan, salah seorang di antara mediator atau konsiliator baru itu adalah Dahlan Iskan. Anda sudah tahu, rasannya syarat dan teknik-teknik seperti diuraikan dalam buku karya Roger Fisher dan William Ury itu juga ada atau dimililki Dahlan Iskan. Bahkan, seperti sudah banyak di pembeitaan, rasa-rasanya juga sudah masanya beliau untuk mau menjadi ketua Dewan Pers. Melengkapi pilar di masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Kita semua pasti percaya bahwa sejatinya tidak ada konflik atau persoalan apapun yang tidak ada solusinya. Tidak bisa diselesaikan. Persoalannya bukan bisa atau tidak bisa. Tapi, mau ataukah tidak mau. Yakin, sejarah terjadi islah pun berulang. Cepat atau lambat.

Selamat HUT PWI, selamat merayakan HPN 2025 para pengurus PWI di daerah-daerah dengan beragam kegiatan. Terus kita ikut menebar kebermanfaatan. Semoga, di momen peringatan HPN 2026 mendatang, PWI kembali pada khittah perdamaian. Niat baik, pasti ada jalan. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.