Ombak kebanggaan kembali menyapu pesisir Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Sebuah mercusuar baru kini berdiri kokoh. Memancarkan cahaya pengetahuan yang kian benderang. Prof Dr dr Sukadiono MM, sang nahkoda yang telah lama mengemudikan bahtera pendidikan, kini resmi menyandang mahkota tertinggi sebagai Guru Besar (Profesor) dalam bidang Fisiologi Olahraga.
Pencapaian ini bukan sekadar penambahan bintang di pundak. Namun, sebuah tonggak monumental yang mengukir sejarah bagi sang pelayar dan institusi yang dicintainya.
Lahir di sebuah desa kecil di Jombang, Jawa Timur, pada 18 Desember 1968, Prof Suko—demikian biasa disapa—adalah benih unggul dari rahim Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menamatkan studi kedokterannya pada tahun 1992.
Berbeda dari kebanyakan tunas kedokteran yang memilih jalur PTT, Prof Suko memilih untuk menjejakkan kakinya di lahan swasta. Ia mengawali episode pengabdiannya di Poliklinik Universitas Putra Bangsa Kebumen, Jawa Tengah, pada akhir 1990-an, seraya merajut asa sebagai manajer Klinik Cita Husada di Surabaya.
Nadi pengabdian Prof Suko berdenyut kuat sejak masa muda. Aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), membentuk alurnya menuju puncak-puncak akademik. Dari 2002 hingga 2005, ia mulai dipercaya memegang kendali Akademi Keperawatan UM Surabaya. Setelah itu, mengemban amanah sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya.
Puncaknya, pada tahun 2012, ia dilantik sebagai Rektor UM Surabaya. Memimpin kampus ini seolah memegang kemudi kapal selama tiga periode berturut-turut, sebuah rekor kepemimpinan terlama yang menandakan kemudi yang stabil di tengah gelombang.
Tak hanya berlayar di samudra kampus, Prof Suko juga menancapkan tiang-tiang pengabdiannya di tanah organisasi keagamaan. Kini, ia menjadi nakhoda utama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 2022–2027, setelah mendapat mandat suara terbanyak dalam Musyawarah Wilayah ke-16 di UM Ponorogo.
Atas dedikasinya yang tak kenal lelah di ladang pendidikan, ia pun pernah dianugerahi penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif kategori Top Leader dalam Manajemen dan Pengembangan Pendidikan.
Gelar Guru Besar ini adalah bukti nyata kepakaran Prof Suko. Sertifikat Uji Kompetensi Jabatan Akademik Dosen bernomor 08911/B4/DT.04.01/2025 menjadi segel resmi yang mengabadikan perjalanan panjangnya di rimba pendidikan tinggi, khususnya dalam pengembangan ilmu fisiologi olahraga yang kini semakin relevan, bagaikan denyut jantung yang esensial di tengah isu kesehatan dan gaya hidup masyarakat modern.
Prof Suko dikenal luas bukan hanya karena kinerja cemerlangnya dalam menggerakkan roda institusi. Namun, juga karena perannya sebagai arsitek yang mendorong inovasi dan keunggulan berkelanjutan. Selama kepemimpinannya di UM Surabaya, kampus itu mekar menjadi “Kampus Sejuta Inovasi”. Salah satu taman pendidikan di Kota Pahlawan dengan reputasi unggul dan berdampak, sebagaimana tercermin dalam berbagai pencapaian di kancah nasional dan internasional.
Penganugerahan jabatan Guru Besar ini diharapkan menjadi percikan inspirasi. Terlebih bagi setiap akademisi di UM Surabaya. Selain itu, makin mengokohkan janji kampus untuk dapat terus melahirkan lulusan yang tak hanya memiliki kedalaman ilmu, melainkan juga menjadi agen perubahan yang membawa dampak luas bagi masyarakat.
Dalam sebuah kutipannya, pesan penting Prof Suko adalah tentang integritas, “Hidup ini yang terpenting adalah bagaimana menjalani kehidupan ini dengan penuh kejujuran dalam segala hal. Jangan sampai melakukan kecurangan baik untuk diri sendiri atau orang lain yang nanti akan berdampak buruk bagi kehidupanmu.”
Kutipan tersebut menyiratkan sebuah prinsip hidup yang berakar pada nilai-nilai etika universal. Kejujuran sebagai landasan utama dalam menjalani eksistensi. Dalam kerangka filosofis, kejujuran bukan sekadar tindakan moral, melainkan sebuah cermin dari kesadaran diri yang autentik. Sebuah laku hidup yang selaras antara pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Ketika seseorang memilih untuk hidup jujur, ia sedang menapaki jalan kebenaran yang mungkin tidak selalu mudah. Namun, membawa ketenangan batin dan keutuhan diri. Kejujuran adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab terhadap keberadaan. Terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan semesta tempat berpijak. Dalam pandangan eksistensial, hidup tanpa kejujuran adalah hidup dalam kepalsuan; sebuah penyangkalan terhadap makna sejati diri manusia sebagai makhluk yang diberi akal dan nurani.
Sebaliknya, kecurangan—baik terhadap orang lain maupun diri sendiri—adalah bentuk pengingkaran terhadap hakikat kebaikan. Curang menciptakan ilusi kebahagiaan yang semu, namun menyisakan jejak luka, baik secara moral maupun spiritual. Seperti api kecil yang dibiarkan menyala, kecurangan lambat laun membakar fondasi kehidupan itu sendiri. Kepercayaan, integritas, dan kedamaian batin.
Kutipan Prof Suko tersebut bukan hanya nasihat praktis, tetapi juga sebuah ajakan kontemplatif untuk senantiasa menghadirkan kejujuran sebagai prinsip ontologis. Cara menjadi manusia yang utuh dalam keberadaannya. Sebab, pada akhirnya, hidup yang dijalani dengan jujur adalah hidup yang tidak hanya layak untuk dijalani, melainkan juga untuk dimaknai. (*)