KONTROVERSI kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati adalah potret buram dari sebuah pemerintahan yang gagal berkomunikasi. Ini bukan sekadar urusan angka, melainkan alarm keras bagi seluruh pimpinan daerah. Ketika masyarakat dibuat terkejut dengan lonjakan pajak yang tidak masuk akal, tanpa sosialisasi dan penjelasan yang transparan, yang runtuh adalah fondasi terpenting dalam pemerintahan: Kepercayaan publik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah begitu terang. Regulasi itu bukan sekadar aturan di atas kertas, melainkan panduan etis untuk membangun pemerintahan yang akuntabel. Sayangnya, masih banyak pimpinan daerah yang menganggapnya sebagai formalitas. Mereka lebih suka mengambil keputusan ’’di ruang gelap,” tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Padahal, kebijakan atau keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah diambil di ruang yang terang.
Ruang gelap ini seringkali menjadi jebakan. Para pemimpin merasa aman, jauh dari intervensi publik, dan bisa membuat keputusan tanpa harus mempertanggungjawabkannya secara langsung. Namun, sejarah telah berulangkali membuktikan, memilih jalan gelap hanya akan membawa petaka. Beberapa pimpinan daerah yang mengutamakan jalur ini, pada akhirnya “retreat” bukan untuk introspeksi, melainkan karena tersandung kasus masalah. Ketika keterbukaan tidak diarusutamakan, godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang semakin besar.
Kasus PBB di Pati adalah pengingat yang menyakitkan, Kepercayaan publik itu mahal. Membangunnya butuh waktu, namun menghancurkannya hanya butuh satu kebijakan yang tidak transparan. Maka, para pemimpin di badan publik, pilihlah jalan terang. Bukalah pintu dialog, berikan informasi yang jujur, dan libatkan masyarakat.
Transparansi bukan hanya soal memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga membangun budaya pemerintahan yang sehat. Di era keterbukaan informasi, masyarakat bukan lagi sekadar penerima kebijakan, melainkan mitra yang berhak tahu dan berhak terlibat. Mengabaikan suara publik sama saja menutup mata terhadap potensi solusi yang sebenarnya bisa memperkaya kebijakan. Pemimpin yang bijak akan melihat kritik bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kompas untuk memperbaiki arah.
Lebih dari itu, keterbukaan menjadi benteng moral bagi pejabat publik. Ia memaksa setiap keputusan untuk diuji oleh logika, keadilan, dan akal sehat. Tanpa itu, kebijakan akan rapuh, mudah diguncang oleh isu, bahkan oleh rumor. Pimpinan yang berani mengedepankan transparansi tidak hanya membangun citra positif, tetapi juga warisan kepemimpinan yang bertahan melampaui masa jabatannya.
Pimpinan yang paling sukses bukanlah yang paling banyak membangun infrastruktur, melainkan yang paling berhasil membangun kepercayaan dengan rakyatnya. Jika tidak, yang akan naik bukan hanya PBB, melainkan gelombang protes dan ketidakpercayaan yang akan terus menggerus legitimasi. (*)







