HeadlinePetani Muda

Pulang Kampung, Lulusan S-2 UGM Ini Buktikan Bertani Bisa Sejahtera

466
×

Pulang Kampung, Lulusan S-2 UGM Ini Buktikan Bertani Bisa Sejahtera

Sebarkan artikel ini
Muammar Leonardo (Publikasi Lampung)

Bertani- Di kaki Gunung Tanggang, Pesawaran, Lampung, suasana pagi terasa tenang. Angin berdesir pelan menerpa daun cengkeh dan pala. Suara siamang terdengar dari kejauhan, disusul kicau burung dan bunyi serangga yang menambah suasana alami. Di tengah lanskap hijau yang luas, seorang pria tampak berjalan menyusuri kebun yang dipenuhi aneka tanaman seperti cengkeh, pala, durian, dan alpukat.

Pria itu bernama Muammar Leonardo. Ia bukan petani biasa. Leonardo adalah lulusan pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), jurusan Teknologi Hasil Perkebunan. Meski berpeluang besar untuk bekerja di kota atau perusahaan besar, Leonardo justru memilih pulang ke kampung halamannya di Dusun Panglon, Desa Batu Raja, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran.

Event Organizer Kabarbaik

Keputusan tersebut diambil karena panggilan hati, untuk mendampingi ibunya yang sudah tua dan memberi teladan kepada anak-anak muda bahwa bertani bukan pekerjaan yang harus ditinggalkan.

Leonardo melihat kenyataan bahwa banyak lahan pertanian di desanya terbengkalai. Tanaman cengkeh yang dulu menjadi andalan warga terserang hama dan gagal panen. Petani beralih ke kopi, namun hasilnya tidak bertahan lama karena tanah kehilangan kesuburannya.

Dari situlah Leonardo mulai mencoba pendekatan baru. Ia mengembangkan kebun milik keluarganya dengan sistem agroforestri, yakni menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan agar lebih seimbang secara ekologi dan menguntungkan secara ekonomi.

Awalnya tidak mudah. Banyak warga ragu dan menganggap pendekatannya terlalu teoritis. Ia juga sempat rugi karena salah pengelolaan dan harga pala yang jatuh. Namun ia tidak menyerah. Leonardo mencatat semua yang terjadi di kebun, belajar dari pengalaman, dan terus memperbaiki metode tanamnya. Ia mulai membuktikan bahwa hasil kebun bisa diandalkan.

Tahun 2023, kelompok tani yang ia pimpin, KTH Tunas Muda, mendapat izin resmi mengelola hutan lewat program Perhutanan Sosial dari pemerintah. Izin ini membuka jalan untuk mendapat bantuan bibit dan pelatihan dari instansi terkait.

Bibit seperti alpukat, durian, kakao, dan cabai mulai ditanam di lahan yang dulunya kosong. Bantuan ini menjadi semangat baru, tidak hanya untuk Leonardo, tapi juga bagi petani muda lainnya. Kini, banyak anak muda yang mulai kembali ke kebun, melihat hasil yang nyata.

Salah satu adik Leonardo ikut pulang kampung untuk membantu mengelola kebun keluarga. Meskipun adik bungsunya tinggal di kota, ia tetap ikut mendukung dari jauh. Hasil dari agroforestri yang diterapkan Leonardo kini bisa mencukupi kebutuhan hidup, bahkan menabung.

Ia menyebutkan, penghasilannya bisa lebih dari Rp 100 juta per tahun jika dikelola dengan baik. Ia juga rajin mencatat semua pengeluaran dan pemasukan, serta memanfaatkan internet untuk belajar dan berbagi ilmu pertanian.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah harga panen yang belum ideal karena masih dijual lewat tengkulak. Selain itu, regenerasi petani juga menjadi masalah karena masih banyak anak muda yang memilih bekerja di kota. Namun Leonardo tetap optimis. Ia percaya bahwa jika makin banyak kisah sukses petani muda yang diangkat, maka semangat untuk kembali bertani juga akan tumbuh.

Bagi Leonardo, bertani bukan pekerjaan terpaksa. Ia meyakini bahwa agroforestri bukan hanya sistem tanam, tapi cara hidup yang menghargai alam dan membangun masa depan bersama. Di kebun kecilnya yang berada di kaki gunung, Leonardo menanam lebih dari sekadar buah. Ia menanam harapan—untuk desa, untuk anak muda, dan untuk bumi yang lebih baik. (*)