Bertani- Di ufuk timur Kabupaten Sumenep, di sebuah titik kecil di gugusan kepulauan Kecamatan Sapeken, semangat baru sedang tumbuh bersama gelombang laut. Namanya Tanjung Kiaok, sebuah desa pesisir yang selama ini lebih sering terlewat dalam peta pembangunan, kini perlahan menapaki jalur kemandirian ekonomi melalui rumput laut.
“Dulu kami hanya melaut, sekarang laut juga memberi kami peluang baru,” kata Mujalli, seorang pembudidaya rumput laut kepada awak media. Ia dengan bangga menunjukkan barisan tali panjang yang mengapung tenang di permukaan laut.
Di situlah harapan digantungkan, bersama benih-benih Kappaphycus alvarezii, rumput laut jenis unggulan penghasil karaginan, zat penting untuk industri makanan, kosmetik, hingga farmasi.
Geliat Hijau di Birunya Laut
Budidaya dilakukan dengan metode longline. Tali sepanjang 25 meter dibentangkan, dan benih-benih kecil diikat satu per satu. Mungkin terdengar sederhana, tetapi metode ini terbukti cocok untuk karakter perairan di Tanjung Kiaok. Dalam satu siklus budidaya yang hanya memakan waktu 30 hari, hasilnya bisa mencapai satu ton rumput laut dari lima tali.
Harga jualnya cukup menjanjikan. Untuk rumput laut basah, para petani bisa mendapat Rp 2.000 per kilogram, sementara yang telah dikeringkan dihargai hingga Rp 15.000. Di desa yang sebelumnya sangat bergantung pada hasil tangkapan, angka ini menjadi nafas segar bagi ekonomi rumah tangga.
Perempuan Pesisir, Penjaga Tali Kehidupan
Di balik kesuksesan budidaya ini, ada tangan-tangan cekatan para perempuan desa. Mereka bukan sekadar membantu, tapi menjadi bagian penting dari proses produksi. “Satu tali, Rp 7.000. Tapi bukan soal upah saja. Ini soal keterlibatan,” ujar Nur Asiah, seorang ibu rumah tangga yang kini mahir mengikat benih rumput laut.
Tugas mereka adalah mengikat bibit ke tali, pekerjaan yang menuntut ketelitian dan kelembutan agar tanaman tak mengalami stres. Di sinilah peran perempuan menjadi penentu kualitas.
Keterlibatan mereka juga telah mengubah dinamika sosial di desa. Kini, para ibu tak hanya menopang rumah, tetapi juga ikut menenun keberlanjutan ekonomi dari laut.
Tantangan: Dari Penyakit hingga Bibit Tua
Namun, tak selamanya laut bersahabat. Ancaman datang dari penyakit ice-ice, momok lama bagi pembudidaya rumput laut. Penyakit ini menyerang jaringan tanaman, membuatnya rusak dan lambat tumbuh.
“Polanya mirip dengan yang kami temukan di Sulawesi,” ujar Dr Samsu Adi Rahman, seorang peneliti kelautan yang aktif mendampingi para petani. “Kuncinya ada pada pemilihan lokasi, dan lebih penting lagi—penggunaan bibit sehat.”
Sayangnya, petani di Tanjung Kiaok masih bergantung pada bibit lama hasil budidaya sebelumnya. Bibit-bibit ini sudah tua, rentan, dan tak lagi tangguh menghadapi perubahan lingkungan.
Mereka kini menanti hadirnya bibit unggul, terutama yang berasal dari kultur jaringan dan bebas patogen. Masyarakat pun mendesak pemerintah agar segera membangun kebun bibit lokal. Sebab tanpa jaminan ketersediaan bibit, keberlanjutan usaha bisa terancam.
Menenun Asa dari Laut
Rumput laut bagi warga Tanjung Kiaok bukan sekadar komoditas. Ia adalah simbol baru dari harapan, kerja keras, dan gotong royong masyarakat pesisir. Di sana, laut tak lagi hanya menjadi medan mencari nafkah bagi kaum lelaki, tapi ruang kolaborasi seluruh anggota keluarga.
Dengan dukungan teknologi, pelatihan yang berkelanjutan, dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat kepulauan, bukan mustahil Tanjung Kiaok menjadi model ekonomi maritim di kawasan timur Jawa.
Laut memang tak selalu tenang, tapi harapan bisa tumbuh bahkan dari gelombang. Dan di Tanjung Kiaok, harapan itu berwarna hijau rumput laut. (*)