KabarBaik.co – Dugaan pemerasan oleh oknum polisi berseragam, Bripka H, terhadap dua warga Sidoarjo terus menuai tanggapan. Tidak hanya dari masyarakat, kalangan akademisi pun angkat bicara. Ahli Hukum Pidana Universitas Merdeka Surabaya, Bastianto Nugroho, menyebut tindakan oknum polisi itu memenuhi banyak unsur kejahatan.
Menurut Bastian, sapaan akrabnya, pemerasan yang dilakukan Bripka Hengki bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan masuk ranah pidana.
“Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan, khususnya terkait pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP,” tegasnya, Rabu (25/6).
Pasal itu menyebutkan bahwa seseorang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman untuk menyerahkan barang, dapat dijerat pidana. Dalam kasus ini, Bripka H diduga menggunakan status dan atributnya sebagai aparat negara untuk menekan korban.
Tak hanya pemerasan, lanjut Bastian, ada unsur penipuan dalam tindakan tersebut. Ia menyebut Pasal 378 KUHP bisa turut dikenakan kepada pelaku karena menggunakan tipu muslihat dan kebohongan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
“Mengaku sedang operasi gabungan dan menuduh korban melakukan perbuatan tak senonoh, padahal itu tidak pernah terjadi. Itu termasuk rangkaian kebohongan yang disengaja,” terangnya.
Lebih dari itu, Bastianto menyoroti aspek penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Bripka Hengki. Ia merujuk pada Pasal 52 KUHP, yang memungkinkan pemberatan hukuman bagi pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan jabatan saat melakukan kejahatan.
“Kalau dilakukan oleh pejabat dan menyalahgunakan fasilitas atau kewenangan jabatannya, hukumannya dapat ditambah sepertiga. Ini jelas terjadi,” katanya.
Bahkan, ia menilai ada unsur gratifikasi ilegal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Tipikor. Hal ini mengindikasikan bahwa Bripka H bisa dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
“Uang yang diminta dengan ancaman bisa dikategorikan gratifikasi yang melanggar hukum, apalagi dilakukan oleh aparat penegak hukum,” ucapnya.
Dari sisi etik, Bastianto mengatakan perbuatan Bripka Hengki melanggar Kode Etik Profesi Polri, khususnya Pasal 13 dan Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa anggota Polri dilarang menyalahgunakan wewenang atau mencemarkan nama baik institusi.
“Kalau sudah ada bukti dan saksi, itu masuk pelanggaran berat. Tinggal menunggu hasil sidang etik untuk putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH),” imbuhnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dua orang mahasiwa bernama KV (23) dan temannya RA (23) dicegat Bripka H dan seorang rekannya saat berhenti di bawah jalan tol Tambak Sumur, Krian, Kamis malam (19/6). Mereka dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh dan dipaksa menyerahkan uang damai.
Kepada keluarga, mahasiswi asal Sidoarjo itu mengaku sempat diajak berputar-putar keliling Surabaya tanpa dibawa ke kantor polisi. Bripka H meminta uang damai sebesar Rp 10 juta. Karena tidak punya uang, korban hanya bisa menyerahkan Rp 650 ribu dan dijanjikan akan melunasi sisanya keesokan hari dengan jaminan kartu ATM yang ditahan oleh Bripka H.
“Dia bahkan menyuruh anak saya cari pinjaman online kalau tidak punya uang. Ini sudah tidak manusiawi,” ujar ayah korban, Djumadi (60).
Beruntung, korban sempat memotret dan merekam aksi pelaku secara diam-diam, lalu mengirimkannya ke keluarganya. Berbekal bukti itu, keluarga melapor ke institusi terkait. Kurang dari 24 jam, pelaku berhasil diidentifikasi sebagai Bripka H, anggota aktif yang bertugas di Surabaya.
Saat ini, proses pemeriksaan internal tengah dilakukan. Namun keluarga korban mendesak agar proses hukum juga dijalankan secara transparan dan tidak hanya berhenti di pelanggaran etik.
“Kalau Polri ingin kembali dipercaya publik, maka pelaku harus dihukum seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku,” pungkas Bastianto yang juga Dekan Fakultas Hukum Unmer Surabaya ini. (*)






