KabarBaik.co – Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), menyampaikan sejumlah aspirasi penting dari para kepala daerah dalam Rapat Diseminasi Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI.
Dalam pertemuan tersebut, Nur Arifin mengutarakan berbagai permasalahan yang timbul dari penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), terutama terkait desentralisasi fiskal dan ketimpangan ekonomi.
Dalam paparannya, Nur Arifin mendukung penghapusan biaya balik nama kendaraan dan penurunan pajak progresif. Namun, ia menyoroti dampak kebijakan tersebut bagi daerah non-aglomerasi. “Kami mendukung penghapusan biaya balik nama, terutama untuk keakuratan data wajib pajak. Tetapi, perlu diperhatikan agar kebijakan ini tidak hanya menguntungkan daerah kota besar,” ungkapnya.
Bupati yang akrab disapa Mas Ipin ini juga menyinggung soal data kendaraan yang tidak sinkron antara daerah asal dan kota tempat pembelian. “Jika orang Trenggalek beli mobil bekas dari Surabaya, otomatis pajaknya masuk Surabaya. Ini menjadi masalah karena data kendaraan tidak sinkron dengan domisili pemiliknya,” jelasnya.
Mas Ipin juga menekankan perlunya perubahan dalam skema pembagian hasil dengan desa, yang menurutnya memberatkan daerah kabupaten. Ia menawarkan tiga opsi solusi: “Pertama, mengembalikan pembagian hasil seperti sebelumnya, atau opsi kedua tidak membebankan Cost Sharing dan bagi hasil ke desa. Ketiga, memainkan persentase PAD antara provinsi dan kabupaten untuk skema bagi hasilnya,” ujarnya.
Selain itu, Mas Ipin turut menyoroti pentingnya insentif berbasis ekologi bagi daerah yang menjaga hutan. “Daerah yang menjaga hutan harus diberi insentif. Jangan hanya daerah yang mengeksploitasi sumber daya alam saja yang mendapatkan keuntungan. Kita juga butuh skema transfer berbasis ekologi,” tegasnya.
Di akhir paparannya, ia berharap agar belanja untuk PPPK tidak dikategorikan sebagai belanja pegawai, melainkan belanja jasa, agar pemerintah daerah bisa mematuhi batas maksimal belanja pegawai yang tidak boleh melebihi 30 persen dari APBD. (*)