KabarBaik.co- Pada babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, akhirnya AFC telah menetapkan Qatar dan Arab Saudi sebagai tuan rumah. Dalam pembagian pot, meski kepastian masih menunggu Juli nanti, namun besar kemungkinan Indonesia berada satu grup dengan Qatar dan Irak. Sedangkan Arab Saudi akan menghuni grup lain bersama UEA dan Oman.
Ini bukan sekadar pembagian grup, tapi seperti takdir yang mempertemukan asa kecil melawan kemapanan besar.
Di panggung sepak bola dunia, Indonesia adalah puisi yang belum selesai ditulis. Ia bukan sajak megah yang dilagukan di stadion-stadion besar Eropa. Bukan pula simfoni gemuruh seperti Brasil, Spanyol, Perancis, atau Jerman yang lincah dalam nada-nada kemenangan. Indonesia, di mata matematika dan logika sepak bola, adalah tim yang masih tertatih di anak tangga. Mencoba naik ke singgasana langit yang terlalu tinggi.
Jika kita buka lembar logika, Qatar, sang tuan rumah eks juara Asia, bertabur bintang dan didampingi pelatih kelas dunia. Irak, sang penjaga nyala Timur Tengah, dengan tradisi sepak bola kuat dan barisan striker haus gol. Dan, kita, Indonesia? Peringkat 124 FIFA, baru mengenal atmosfer ketatnya babak keempat kualifikasi Piala Dunia, seperti bocah kecil yang baru masuk gelanggang raksasa.
Di atas kertas, Skuad Garuda kalah dalam segala hal. Pengalaman, peringkat, strategi, bahkan statistik tembakan dan penguasaan bola. Di papan catur logika, pion-pion merah putih tampak tersisih oleh benteng dan kuda musuh. Tapi, inilah sepak bola, Ia bukan ilmu pasti. Ia lebih dekat ke filsafat, lebih mirip takdir. Sebab, bola itu bundar, dan seperti kehidupan, sepak bola tidak bisa ditebak awam. Kecuali mungkin oleh para bandar.
Sepak bola telah mencatat beberapa momen suci, saat yang lemah menumbangkan yang perkasa, saat yang tak mungkin menjelma nyata. Sebut saja, Korea Selatan, di Piala Dunia 2002. Siapa sangka tim Asia Timur ini mampu menyingkirkan Italia dan Spanyol hingga mencapai semifinal? Mereka datang bukan sebagai unggulan. Hanya sebagai tuan rumah pelengkap. Tapi semangat mereka membungkam kekuatan sejarah dan statistik.
Lalu, Yunani di Piala Eropa 2004. Tim ini bukan siapa-siapa. Tidak ada bintang dunia. Tidak ada nama besar. Namun di akhir turnamen, merekalah yang mengangkat trofi. Yunani menjadi bukti bahwa kehendak bisa menundukkan kalkulasi. Terbaru, Maroko di Piala Dunia 2022. Negara Afrika pertama yang mencapai semifinal. Mereka menumbangkan Belgia, Spanyol, dan Portugal, para kekuatan raksasa dunia. Semua karena semangat dan kecintaan terhadap lambang di dada mereka.
Satu lagi, Islandia di Piala Eropa 2016. Negara kecil dengan penduduk setara satu distrik Jakarta Selatan. Tapi, mereka menyingkirkan Inggris dan melaju ke perempat final. Mereka menunjukkan bahwa yang kecil tidak selalu kalah.
Maka, jika nanti Indonesia berada satu grup dengan Qatar dan Irak, para analis mungkin sudah melempar dadu: “Peringkat ketiga, paling mentok.”
Tapi sepak bola bukan hanya angka. Ia adalah getaran, keyakinan, dan kejutan.
Mungkin yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya taktik jenius atau fisik prima, tapi sesuatu yang lebih langka. Yakni, karamah sepak bola. Sebuah keberkahan dari semangat yang tak pernah padam.
Mungkin suatu malam nanti, bola liar itu akan memantul tak terduga. Mungkin, Jay Idzes akan memotong umpan dengan presisi surgawi, dan Ole Romeney, Marselino Ferdinand atau Rafael Struick mencetak gol yang menggema di Asia. Mungkin di stadion Lusail atau Doha, para pemain kita akan berubah menjadi pujangga yang menulis sejarah dengan keringat dan air mata.
Jadi, di atas kertas, Indonesia adalah titik kecil di galaksi sepak bola Asia. Tapi kertas tak bisa menulis takdir. Karena takdir sepak bola, seperti hidup, ditulis oleh yang bersungguh-sungguh. Dan jika ada mukjizat tersisa di langit sepak bola, Indonesia hanya perlu percaya dan berlari.
Karena dalam sepak bola, seperti dalam hidup bahwa yang tak mungkin hari ini bisa jadi kenyataan esok hari. Ketika saat itu tiba, dunia tak hanya akan membaca skor, mereka akan membaca puisi.
Respons Erick Thohir
Seperti dua lentera di padang pasir, Qatar dan Arab Saudi akan menjadi tempat ujian terakhir bagi enam ksatria yang masih bermimpi menuju Amerika Serikat. Tuan rumah Piala Dunia 2026. Dalam bisikan waktu yang penuh harap, Ketua Umum PSSI Erick Thohir pun telah angkat bicara, menanggapi kabar tentang dua negara tuan rumah itu bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah ikrar.
“Kami menghormati dan menyambut baik keputusan AFC yang menunjuk Qatar dan Arab Saudi sebagai tuan rumah,” ujarnya dengan nada diplomatis namun penuh tekad.
Seperti halnya padang pasir yang tenang namun menyimpan badai, dua negara ini memang diakui punya segalanya. Infrastruktur kelas dunia, stadion yang menjulang seperti istana pasir, dan pengalaman menggelar turnamen akbar. Tapi di balik kemegahan itu, ada satu hal yang diminta Garuda. Yakni, sportivitas yang adil dan sejati.
“Memang kedua negara memiliki infrastruktur sepak bola kelas dunia, dan ini tentu akan menghadirkan atmosfer kompetisi yang luar biasa. Atas dasar itu, saya minta AFC dan kedua tuan rumah mampu menjaga semua laga di babak empat itu berjalan fair dan sportif,” kata Erick, seperti mengirim pesan ke angin agar menyampaikannya ke semua penjuru.
Babak keempat bukan sekadar fase teknis. Bagi Indonesia, ini adalah lembar sejarah yang belum ditulis, tempat nasib Garuda dipertaruhkan di udara yang panas dan waktu yang sempit. Ini bukan hanya dua pertandingan. Ini adalah dua langkah menuju keabadian.
“Ini adalah fase yang sangat penting dalam sejarah sepak bola Indonesia. Kami akan berusaha mempersiapkan tim sebaik mungkin, dengan dukungan penuh dari semua pihak,” ujar Erick, menggambarkan tekadnya seperti batu karang di tengah ombak.
AFC sendiri mengumumkan penunjukan Qatar dan Arab Saudi sebagai tuan rumah pada Jumat (13/6), sebagai bagian dari ronde empat yang akan digelar pada 8–14 Oktober 2025. Enam tim tangguh akan dibagi ke dalam dua grup berisi tiga tim. Setiap tim hanya bermain dua kali, dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi kesalahan.
Qatar, Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Oman, dan Indonesia, mereka adalah enam perahu yang berlomba menjemput fajar di samudra kualifikasi. Hanya dua yang akan sampai ke pantai Piala Dunia secara langsung. Dua lainnya berlayar ke playoff, dan dua sisanya karam di kedalaman.
Meski sempat muncul suara-suara gemuruh dari Irak, Oman, dan UEA yang mempertanyakan transparansi proses, dan bahkan mengajukan diri sebagai tuan rumah, keputusan tetap jatuh kepada mereka yang telah mempersiapkan panggungnya sejak lama. Namun, bagi Indonesia, keputusan itu bukan alasan untuk gentar. Justru dari sana, semangat dilipatgandakan.
“Tidak peduli di mana kita bermain, semangat juang Garuda akan selalu dibawa ke lapangan. Kami ingin mengukir sejarah, dan itu dimulai dari kerja keras sejak hari ini,” ujar Erick tegas, menutup dengan nyala api keyakinan.
Kini, langit Timur Tengah menanti. Apakah Garuda akan terbang tinggi atau tertiup badai? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, sayap Indonesia tak pernah dikibarkan hanya untuk menyerah. (*)