Cabup Mojokerto Gus Barra Komitmen Berantas Jual Beli Jabatan, Terapkan Asas Meritokrasi

oleh -636 Dilihat
5b944b8b 2dfd 447f 9e1d 39d5d6d20411
Gus Barra saat kampanye di Desa Ngembeh, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. (Foto: Alief W)

KabarBaik.co – Berbagai program bertabur keberkahan ditawarkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mojokerto nomor urut 2 Muhammad Albarraa-M. Rizal Octavian. Salah satu yang menonjol sebagai langkah reformasi birokrasi pemerintahan daerah adalah penerapan asas meritokrasi dalam pengisian jabatan.

Meritokrasi adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin atau mendapatkan posisi tertentu berdasarkan prestasi dan kemampuannya. Artinya posisi jabatan apapun harus diisi oleh the right man atau orang yang sesuai. Dan tentunya tanpa mahar.

“Pemerintahan Mubarok kedepan akan bumi hanguskan budaya jabatan atas mahar. Jabatan apapun harus diisi oleh orang yang kompeten di bidangnya tanpa bayar dan mahar,” tegas Gus Barra saat berkampanye di Desa Ngembeh, Kecamatan Dlanggu, Rabu (9/10). Para pejabat harus berprestasi di bidangnya, lanjut Gus Barra, itulah mahar yang sebenarnya.

Sosok Cabup Mojokerto lulusan Al Azhar Kairo, Mesir ini membeberkan kondisi selama ini dalam pengisian jabatan birokrasi sebagian besar mengalami proses komodifikasi. Alih-alih berdasar atas kinerja profesional, siapa yang ditunjuk mengisi jabatan-jabatan di birokrasi umumnya adalah mereka yang bersedia membayar kepada pimpinan. Tawar-menawar.

Acapkali pejabat dalam birokrasi bukanlah orang yang kinerjanya baik, jujur, dan transparan. Justru orang-orang yang mampu menyiasati pengawasan dan mengakali keuangan daerah, merekalah yang biasanya dekat dengan lingkaran kekuasaan. Praktik jual beli jabatan ini biasanya terjadi dari level bawah hingga top level, sehingga kinerja birokrasi pun seringkali tidak optimal.

Pengalaman telah banyak membuktikan, di kalangan aparatur birokrasi mereka biasanya bukan berpikir bagaimana menyusun program pembangunan yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi, yang lebih dikedepankan adalah bagaimana program itu bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi keuangan.

“Bukan pada dampak atau hasil akhirnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat akan tetapi kepada pembangunan fisik yang bisa diakali sebagai profit pribadi,” bebernya.

Gus Barra mengatakan praktik jual beli jabatan niscaya akan mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan. Studi tentang kinerja birokrasi umumnya selalu bernada pesimistis, dan bahkan cenderung menilai keberadaan birokrasi justru kontra-produktif bagi pembangunan kesejahteraan masyarakatnya.

Proses komodifikasi yang terjadi dalam jabatan di jajaran birokrasi seringkali menghambat kinerja birokrasi, dan menyebabkan kinerja birokrasi tak bisa optimal dalam melayani masyarakat.

“Kelemahan yang terjadi dalam tubuh birokrasi adalah praktik korup yang sudah menjadi budaya yang sulit diberantas atau memang sengaja dibiarkan tumbuh subur?,” ungkap Gus Barra.

Mengutip Bodley, Gus Barra menyebut birokrasi seringkali justru menjadi alat atau mesin elit politik tertentu untuk kepentingan pribadi, bahkan sering pula diperlakukan sebagai kendaraan elit politik untuk merebut hegemoni.

Akibat hal tersebut, menurut Gus Barra keberadaan birokrasi bukan menyebabkan proses perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan menjadi lancar dan tepat sasaran untuk meningkatkan daya beli masyarakat, melainkan malah membuat pelaksanaan program pembangunan menjadi rawan bias, berlebihan dan bahkan korup.

“Secara lebih rinci, penyebab utama timbulnya maladministrasi dalam tubuh birokrasi adalah rendahnya profesionalisme berawal dari jabatan yang bisa dibeli dan persoalan like and dislike,” ucap sosok pria bergelar doktor humaniora ini.

Kemudian, Ia melanjutkan kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak ada manajemen partisipatif, berkembang suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik di kalangan penguasa, dan belum ada code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil.

Sebagai sebuah lembaga, kehadiran birokrasi sebetulnya bertujuan untuk menciptakan suasana kerja yang lebih efisien dan terkoordinasi. Menurut Gus Barra, birokrasi modern mengutip Max Weber pada awalnya adalah birokrasi yang serba rasional dan jauh dari sikap korup. Tetapi, yang terjadi kemudian posisi birokrasi sebagai lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya memang dua hal yang berbeda.

Dalam praktik, individu birokrat sering bersikap tidak transparan, korup dan mengembangkan praktik transaksional. Aparat birokrasi yang semestinya bertugas melayani kepentingan masyarakat seringkali mereka terjebak pada kebutuhan pribadinya untuk meniti karier melalui jalan pintas yang dibayar dengan mahar pantas.

Sistem kerja birokrasi yang cenderung ditentukan pimpinan daerah, acapkali membuat gerak langkah birokrasi terhambat. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan aparat birokrasi jika mereka memiliki mental yang lebih condong melayani pimpinan daripada melayani masyarakat?

“Kita bisa melihat sendiri fenomena sikap yang dilakukan aparat birokrasi di tingkat daerah jika dalam pekerjaan sehari-hari mereka lebih banyak memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan pribadi untuk upeti ke atas dibandingkan dengan mendayagunakan wewenangnya yang ada untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Alief W
Editor: Andika DP


No More Posts Available.

No more pages to load.