KabarBaik.co- Kematian Benny Laos, salah seorang calon gubernur Provinsi Maluku Utara (Malut), Sabtu (12/10), mendapat atensi luas dari beragam kalangan. Bukan hanya trending di media sosial, media-media pers maintream juga terus meng-update kabar duka tersebut. Maklum, sejarah hidup Benny Laos terbilang telah banyak menginsipirasi.
Sejauh ini, belum diketahui penyebab pasti mengapa speedboat (kapal cepat) yang ditumpangi rombongan Benny Laos itu tiba-tiba meledak, kemudian terbakar hebat hingga menewaskan sejumlah orang. Aparat berwenang terus melakukan penyelidikan. Yang jelas, dugaan awal, peristiwa itu terjadi saat dilakukan pengisian bahan bakar minya (BBM) pada speedboat.
Dikutip dari biografi berjudul Jalan Hidup Benny Laos (2017), cagub dengan nomor urut 4 itu terungkap pernah bersekolah di Malang, Jawa Timur. Tepatnya di SMA Cor Jesu Malang. Namun, Benny Laos tidak sampai lulus. Hanya sampai kelas 1 SMA karena keterbatasan ekonomi keluarga.
SMA Katolik Cor Jesu Malang adalah sekolah yang berlokasi di Jalan Jaksa Agung Suprapto 55, Kota Malang. Dulu, lebih dikenal dengan Jalan Celaket. Sekolah ini didirikan para biarawati Ursulin pada 15 Juli 1951. Awalnya, SMAK Cor Jesu hanya menerima siswa putri Bagian A (Bahasa) dan Bagian B (Ilmu Pasti).
Karya suster Ursulin di Malang diawali dengan kehadiran tiga orang suster Ursulin kali pertama di Malang pada 6 Februari 1900. Ketiga orang suster tersebut adalah Sr. Xavier Smets, Sr. Aldegonde Flekcen, Sr. Martha Bierings. Mereka menempati biara yang terletak di Jalan Celaket dan memulai karya dengan membuka TK pada 1 Maret 1900.
Kedatangan ketiga suster tersebut diumpamakan oleh Rm. Jonckbloet SJ seperti pohon kecil yang baru ditanam. Dengan berkat Tuhan maka pohon itu akan bertumbuh menjadi besar dan membawa berkah untuk banyak orang. Karya yang dimulai dengan TK lalu berkembang dengan dibukanya SD dan asrama pada 1 Mei 1900. Lalu, Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ”Santo Agustinus” pada 21 Juli 1903.
Tetapi, ketika Jepang menjajah Indonesia, Suster Ursulin diperintahkan untuk menutup semua sekolah yang mereka kelola. Termasuk Sekolah Pendidikan Guru ”Santo Agustinus”, bahkan beberapa suster harus masuk kamp tawanan. Biara di Celaket dikuasai oleh Jepang. Meski salam keadaan sulit seperti itu, kerasulan tetap dijalankan.
Setelah Jepang berhasil diusir pergi oleh tentara Belanda, sekolah dan asrama mulai dibuka lagi. Tetapi, keadaan tetap sulit pada waktu itu. Apalagi ada perintah untuk membumihanguskan bangunan besar yang mungkin berguna bagi NICA. Para suster dan anak-anak hidup dalam ketegangan dan ketakutan. Ketegangan memuncak pada 30 Juli 1947 ketika sekelompok pemuda menyerbu ke biara dan membakar gedung sekolah serta asrama.
Gedung yang begitu indah dan megah hancur akibat ganasnya si jago merah. Para suster harus berjuang keras untuk memperbaiki gedung yang rusak sebagai akibat dari perang. Pembangunan kembali gedung yang dibakar akhirnya dilakukan pada tahun 1951.
Sebagai pengganti SPG “Santo Agustinus” yang tidak dibuka lagi, maka pada 15 Juli 1951 dibukalah SMAK Cor Jesu, Bagian A (Bahasa) dan Bagian B (Ilmu Pasti) dan hanya menerima siswa putri. Masalah besar yang dihadapi saat itu adalah tidak ada tempat untuk kelas karena pembangunan gedung yang dibakar belum selesai.
Karena itu, tempat sepeda pun sempat dipakai untuk kelas SMA. Karena belum memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan ujian sendiri, maka untuk sementara SMAK Cor Jesu bernaung di bawah SMTK (Sekolah Menengah Tinggi Katolik) St. Albertus sehingga dikenal pula sebagai SMA Puteri St. Albertus. Saat itu, rapor dam ijazah ditanda-tangani oleh Kepala SMTK / SMA St. Albertus yang berdiri pada tahun 1946.
Tahun 1954, SMAK Cor Jesu mengikuti ujian negeri untuk pertama kali. Dari Bagian A lulus 18 dari 20 siswa dan dari bagian B lulus 22 dari 30 siswa. Pada permulaan tahun pelajaran 1959/1960, SMAK Cor Jesu membuka Bagian C. Dengan demikian, SMA menjadi lengkap, sesuai dengan tuntutan pemerintah. Pada 1 Agustus 1960, SMAK Puteri Cor Jesu diperkenankan oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan untuk berdiri sendiri, terpisah dari SMA St. Albertus.
Tahun Pelajaran 1968/1969, SMAK Cor Jesu mulai menerima siswa putra, Murid putra yang diterima pada waktu itu berjumlah 55 orang. Berkat kerja keras para guru dan keluarga besar SMAK Cor Jesu serta doa dari para suster ursulin, pada tahun 1984 status SMAK Cor Jesu meningkat dari status diakui menjadi status disamakan.
Sebelum sempat mengenyam pendidikan di SMAK Cor Jesu Malang, Benny Laos mulai sekolah di SD Raja Kristus di kampung halamannya, yaitu di Ternate, Maluku Utara. Lulus dari SD Raja Kristus, melanjutkan ke SMP di bawah naungan yayasan sama, SMP Raja Kristus dan lulus pada 1989. Setelah itu, Benny Laos merantau dan bersekolah ke SMAK Cor Jesu tersebut.
Namun, hanya sampai kelas satu. Protol sekolah, dia lantas kembali ke tanah kelahirannya. Bekerja keras mulai tukang kuli panggul, hingga belakangan menjadi seorang pengusaha sukses. Miliarder. Terkaya saat menjadi bupati di Pulau Morotai (2017-2022).
Narasi Kasih dari Istri Benny Laos
Tiga pekan lalu, sebelum tragedi speedboat tersebur, Sherly Tjoanda—istri Benny Laos—mengunggah narasi panjang untuk sang suami. Tulisan itu diungkapkan melalui akun IG pribadinya. Dalam unggahan itu, perempuan cantik itu juga menyebut babakan perjalanan hidup dari Malang.
Berikut narasi lengkapnya:
35 tahun yang lalu, setelah berhenti di SMA kelas 1, kamu pulang ke Ternate dari Malang mungkin dengan perasaan kalah, marah, pasrah, dan bingung, seorang remaja putus sekolah bertanya-tanya apa yang bisa dilakukan.
Dikirim ke Galala, Pulau Mandioli, untuk belajar bekerja menggunakan tenaga fisik—membungkus gula, menimbang, dan memikul cengkeh serta pala, berjalan berkilo-kilo setiap hari tanpa listrik waktu itu. Dari seorang remaja yang bermimpi tinggi sekolah dijawa dalam sekejap berada di sebuah pulau dan bekerja menggunakan fisik di usia yang sangat muda karna keterbatasan ekonomi waktu itu.
Hari ini, bersyukur ama Tuhan dikasih kesempatan bisa nemenin papi kembali berdiri di tempat penuh kenangan ini, kali ini membawa istri dan anak untuk melihat di mana dulu belajar bekerja serta bernostalgia berjumpa kembali bersama keluarga dan sahabat2 di Galala – Pulau Mandioli.
Jujur, medan yang kami hadapi cukup berat—dari ombak di laut hingga ombak di darat, alias jalan yang belum diaspal dan bergelombang. Tidak terbayangkan bagaimana 35 tahun lalu, saat kondisi jalannya masih jauh lebih buruk, belum ada listrik, dan kemana mana jalan kaki berkilo kilo sambil mikul kopra puluhan kg. Sekarang saya mengerti kenapa daya juang dan rasa empati suami sangat tinggi.
Masa lalu yang keras telah membentuk karakter papi menjadi sosok yang tangguh dan berempati. Dari masa lalu yang sulit, kini tantangan itu menjadi motivasi membawa perubahan positif bagi saudara2 dan tanah kelahirannya…
Aku akan selalu berada di sisimu, mendampingi dalam suka dan duka. Ketika banyak yang mulai memfitnah, kita tetap memilih menjaga hati tetap bersih. Apa pun yang terjadi, aku percaya pada komitmen dan dedikasimu. Bersama, kita akan terus melangkah maju, menghadapi semua tantangan dengan doa dan keyakinan bahwa keikhlasan dan pengabdian akan selalu menang… (*)






