OLEH: SUPARDI HARDY*)
KADANG kita cuma bisa berharap. Berangan-angan. Tapi siapa sangka, harapan yang mungkin sederhana itu bisa benar-benar dikabulkan. Bahkan, dengan cara yang sama sekali tak pernah disangka dan bayangkan sebelumnya.
Itulah yang terjadi dalam hidup saya. Di usia yang sudah enam puluh tahun, di tengah antrean haji yang katanya bisa sampai 20–30 tahun, saya akhirnya justru mendapat undangan haji… dari langit.
Bukan karena saya pejabat, Bukan pula karena punya uang berlebih. Saya hanya punya satu hal. Niat baik dan niat kuat, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Beberapa tahun lalu, keinginan saya untuk berhaji mulai tumbuh makin kuat. Tapi, ketika melihat kenyataan, niat itu terasa seperti mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak? Usia saya sudah 60 tahun. Kalau daftar haji reguler sekarang, mungkin baru bisa berangkat saat saya berusia 80-an. Sementara haji khusus biayanya berkali-kali lipat. Dari mana uangnya?
Tapi, pikiran-pikiran logis itu kalah oleh satu hal. Keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah. Saya pun mulai bercerita kepada sahabat dekat saya. Bukan untuk mengeluh. Namun, ibarat perahu, saya butuh kompas. Arahan dan saran. “Mulai aja dulu menabung haji. Sekalian untuk istri dan anak juga. Soal berangkat kapan, serahkan sama Allah. Yang penting ada niat baik,” katanya ketika itu.
Kalimat itu begitu mengena. Saya langsung tergerak. Saya dan keluarga mulai menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk ditabung di rekening haji. Bukan jumlah besar. Tapi, cukup untuk bilang ke Allah. “Ini Gusti, kami sungguh-sungguh.”
Tapi, ikhtiar saya tak cuma urusan tabungan. Saya dan sahabat tadi juga bersepakat. Melakukan sesuatu yang lebih dalam. Ziarah ke para wali dan ulama-ulama. Kami keliling ke makam Wali Songo, tokoh-tokoh besar yang dulu menyebarkan Islam di tanah Jawa. Juga para Habaib. Kadang kami pergi berdua, kadang mengajak serta istri, kadang sendiri.
Ziarah ini jadi semacam terapi batin. Kami duduk tenang di sisi makam, membaca doa, lalu berbicara dalam hati. Bukan minta pada wali itu, tentu tidak. Tapi berharap doa-doa kami disampaikan kepada Allah SWT melalui orang-orang yang dicintai-Nya.
Tak terasa, ritual ini jadi rutinitas. Setiap minggu, setiap saat, saya sempatkan untuk berziarah. Berwasilah. Di situlah saya merasa doa saya makin jernih. Bukan sekadar ingin berhaji, tapi ingin mendekat kepada Allah. Ingin bisa menyapa makam Nabi Muhammad SAW dan menyentuh Kakbah, ingin wukuf dan berzikir di Arafah, walau mungkin hanya sekali seumur hidup.
Saya terus menabung. Terus berdoa. Terus ziarah. Waktu demi waktu lewat, tanpa ada tanda-tanda. Tapi, saya percaya, Allah tidak tidur. Saya percaya dan meyakini, Dia sedang menyiapkan sesuatu. Kalau pun tidak sekarang, mungkin tahun depan. Kalau pun tidak tahun depan, mungkin cukup anak saya yang berangkat.
Tapi dalam hati, saya terus bilang, “Ya Allah, izinkan hamba-Mu ini menutup usia dengan ziarah ke rumah-Mu.”
Dan doa-doa itu terus saya panjatkan. Kadang dalam sujud terakhir salat malam, kadang dalam tangis saat ziarah, kadang hanya lirih di dalam hati.
Tiba-tiba, semesta seperti bergerak. Seorang sahabat baik saya yang lain, juga seorang jurnalis senior, menghubungi saya. Dia meminta paspor saya. Untuk diusulkan dalam program Kerajaan Arab Saudi. Mereka mengundang wartawan-wartawan dari seluruh dunia untuk berhaji sebagai tamu negara. Jumlahnya terbatas. Tapi nama saya diajukan. Soal berhasil atau tidak, katanya, tentu takdir.
Saya sempat bengong. Serius? Saya? Wartawan dari Indonesia yang bukan siapa-siapa ini? Saya tak langsung percaya. Saya bahkan tak berani cerita ke banyak orang. Termasuk ke tetangga rumah. Takut terlalu senang, tapi ternyata gagal. Saya hanya cerita ke istri dan beberapa sahabat dekat. Lalu, saya kembali berdoa. “Kalau ini benar panggilan dari-Mu, Ya Allah, maka mudahkanlah semua urusannya.”
Hari-hari penuh deg-degan pun dimulai. Saya benar-benar pasrah. Tapi ketika tiket dan visa itu benar-benar terbit, saya langsung menangis. Ternyata ini benar-benar nyata. Allah benar-benar panggil saya. Nama saya termasuk dalam 1.537 orang media dari 37 negara.
Saya akhirnya sadar, panggilan haji ini bukan soal daftar cepat atau punya uang banyak. Ini soal siapa yang Allah kehendaki. Kalau Dia sudah bilang “kun fayakun”—jadilah, maka jadilah. Jalan-Nya kadang tidak masuk akal. Tapi hasilnya pasti membuat kita tertegun.
Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya percaya, doa yang tulus, niat yang kuat, dan kesabaran panjang akan membuka pintu yang selama ini kita kira terkunci.
Menjelang keberangkatan, saya lebih sibuk menyiapkan hati. Saya ingin datang ke Tanah Suci bukan cuma membawa raga, tapi juga membawa seluruh pengakuan hidup. Saya ingin berdiri di hadapan Kakbah dan khidmat saat wukuf di Arafah dengan berkata: “Ya Allah, inilah hamba-Mu yang dulu sering ragu, tapi tak pernah berhenti berharap. Inilah hamba-Mu yang penuh dosa, tapi tak pernah berhenti mencintai-Mu.”
Saya ingin menunduk di hadapan makam manusia paling agung dan termulia, Nabi Muhammad SAW dan berbisik: “Ya Rasulullah, akhirnya aku datang. Membawa cinta dari jauh, yang tak pernah putus meski jarak dan waktu begitu panjang.”
Buat saya, haji ini bukan perjalanan ke tanah Arab. Tapi, ini perjalanan pulang, menuju rumah cinta yang sesungguhnya. Dan akhirnya saya bisa bilang: “Alhamdulillah, aku mendapat panggilan langit.”
Jadi, jika engkau yang membaca kisah ini sedang menyimpan keinginan serupa, izinkan aku berbisik: ”Jangan berhenti berharap. Jangan berhenti melangkah. Jangan pernah menertawakan niatmu sendiri hanya karena terlihat mustahil.”
Tuhan tidak melihat mampu atau tidak, muda atau tua, kaya atau miskin. Ia hanya melihat seberapa dalam cintamu kepada-Nya. Ketika langit telah mencatat namamu di antara para tamu-Nya, maka seluruh semesta akan bergerak untuk mewujudkannya. (*)
—
*) SUPARDI HARDY, wartawan KabarBaik.co