Dari tepi sungai yang berbau limbah di Gresik, suara seorang gadis muda mengalir menembus batas benua. Ia bukan hanya berbicara tentang sampah plastik. Ia menggugat ketidakadilan global yang menenggelamkan masa depan anak-anak di bawah tumpukan limbah dunia. Namanya Aeshnina Azzahra Aqilani, 17 tahun. Akrab dipanggil Nina, seorang aktivis lingkungan dari Wringinanom, yang kini berdiri di panggung dunia sebagai salah seorang dari tiga finalis International Children’s Peace Prize 2025, penghargaan bagi anak muda bergengsi di dunia.
Bersama Bana Alabed, 15 tahun, asal Suriah/Turki, dan Divyansh Agrawal, 16 tahun, Amerika Serikat (AS), Nina akan bersaing memperebutkan penghargaan yang pernah dianugerahkan kepada ikon perubahan global seperti Malala Yousafzai dan Greta Thunberg. Tahun ini, perhelatan ke-21 penghargaan tersebut akan digelar di Balai Kota Stockholm, Swedia–kota kelahiran Hadiah Nobel—pada 19 November 2025, bermitra dengan Global Child Forum, lembaga yang didirikan oleh Keluarga Kerajaan Swedia.
Perjalanan Nina dimulai bukan di aula megah, melainkan di tepi sungai keruh yang dipenuhi limbah asing. Saat berusia 12 tahun, Nia menemukan bahwa banyak limbah plastik yang menumpuk di desanya ternyata berasal dari luar negeri. Dikirim dengan label palsu sebagai “kotak kertas daur ulang”. Dari sinilah kemarahan dan kepeduliannya berubah menjadi panggilan hidup.
Dengan pena dan keberanian, Nina menulis surat kepada para pemimpin dunia, termasuk Donald Trump, menuntut mereka menghentikan ekspor limbah plastik ke Indonesia. Surat itu bukan sekadar seruan seorang bocah, melainkan pesan moral yang mengguncang dunia. Suaranya turut menginspirasi lahirnya European Green Deal, yang akan melarang ekspor limbah plastik ke luar Uni Eropa mulai 2027. Sebuah tonggak bersejarah bagi keadilan lingkungan global.
Hentikan Kolonialisme Plastik
Bagi Nina, perjuangan ini bukan sekadar soal kebersihan lingkungan. Nmaun, tentang kolonialisme plastik. Bentuk baru ketimpangan global, di mana negara-negara kaya mengekspor sampahnya ke negara berkembang. Melalui kampanyenya, Nina menantang sistem yang membuat bumi bagian selatan menjadi “tempat pembuangan” bagi dunia utara.
Sejak 2021, Nina berbicara di berbagai forum internasional: Plastic Health Summit, COP26 UNFCCC, hingga perundingan Perjanjian Plastik PBB (UN Plastic Treaty). Ia juga pernah berdialog langsung dengan para pemimpin dunia seperti Angela Merkel dan Scott Morrison, menuntut akuntabilitas atas krisis plastik global.
Di tanah air, Nina tak berhenti di kata-kata. Ia mendirikan River Warriors pada 2022, sebuah gerakan anak muda yang membersihkan sungai, mengedukasi sekolah-sekolah, dan memantau mikroplastik di perairan wilayah Jawa Timur. Ia bahkan membuka museum anak-anak tentang limbah dan mikroplastik pada 2023, tempat belajar interaktif agar anak-anak mencintai bumi sejak dini.
Kisahnya juga diabadikan dalam film dokumenter Girls for Future, yang menginspirasi ribuan anak muda di seluruh dunia untuk berani bersuara demi planet yang lebih bersih dan adil.
Dari Gresik untuk Dunia
Kini, dari Wringinanom yang kecil di peta, nama Nina menggema sejajar dengan penggerak muda global lainnya. Ia adalah simbol harapan dari Selatan Global. Bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari sungai di belakang rumah, dari keberanian seorang remaja yang menolak diam.
Lewat media sosial, kampanye publik, dan advokasi internasional, Nina menegaskan pesan yang kini menjadi semboyan perjuangannya. “Hentikan ekspor limbah plastik ke negara berkembang. Pulihkan sungai kami dan akhiri Era Plastik.”
Jika kelak ia berdiri di panggung Stockholm dan menggenggam Patung Nkosi—simbol perdamaian anak dunia—itu bukan sekadar kemenangan pribadi, melainkan kemenangan bagi sungai-sungai yang pernah ditenggelamkan limbah, dan bagi suara anak muda yang membuktikan: dari tepi sungai pun, dunia bisa berubah. (*)







