KabarBaik.co – Kepala SKK Migas 2018–2024, Dr. Ir. Dwi Soetjipto, menegaskan bahwa strategi ketahanan energi menjadi fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Hal itu ia sampaikan dalam Kuliah Tamu Profesional di Gedung Research Center, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sabtu (18/10).
Dalam forum tersebut, Dwi menekankan bahwa investasi di hulu migas Indonesia terus meningkat. Namun, defisit minyak yang telah berlangsung lama.
“Kebutuhan minyak di Indonesia sudah lama defisit dan defisitnya akan semakin besar ketika melihat kebutuhan ke depan. Kalau nanti hilirisasi bisa berkembang, tentu saja kebutuhan bahan baku akan naik,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kinerja sektor migas Indonesia yang cenderung menurun. Menurutnya, akar persoalan bukan semata karena undang-undang migas yang biasa dijadikan kambing hitam, melainkan lambannya eksplorasi.
“Biasanya yang jadi kambing hitam adalah undang-undang migas. Tapi sebenarnya yang paling problem adalah terlambatnya kita memberikan perhatian di eksplorasi. Karena dari eksplorasi sampai ke produksi itu tidak pernah lebih rendah dari 10 tahun,” kata Dwi.
Selain itu, isu-isu politik kerap membuat investor ragu. “Stop ekspor gas misalnya. Kalau Jepang mau investasi di Indonesia, buat apa kalau dia tidak dapat porsi untuk kebutuhan energinya?” tambahnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dominasi penggunaan energi fosil yang masih belum bergeser. Batu bara dan minyak bumi tetap menjadi energi primer utama tanpa tanda-tanda penurunan porsi penggunaannya. Sementara itu, porsi gas belum meningkat signifikan karena terkendala infrastruktur.
“Meskipun minyak dan gas diharapkan berperan, tidak gampang memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu energi baru terbarukan ini harus diseriusi untuk bisa menekan cost biaya lingkungan,” paparnya. Dwi menambahkan, penggunaan energi baru terbarukan juga penting untuk mengurangi beban lingkungan akibat emisi CO₂.
Seusai acara, Dwi merangkum arah besar strategi energi Indonesia: ketahanan energi harus disiapkan untuk mengantisipasi industrialisasi. “Industrialisasi tentu akan jadi ukuran dalam pertumbuhan ekonomi. Karena itu, strategi ketahanan energi itu intinya,” katanya.
Ia menyebut beberapa aspek utama: progresif di hulu migas untuk mengoptimalkan potensi dalam negeri sekaligus mencari sumber dari luar negeri, mendorong pengembangan energi bersih termasuk surya sampai nuklir, serta memperbaiki proses menarik investor eksplorasi migas. “Peluang kita besar karena cadangan energi masih cukup besar. Tugas utama adalah memperbaiki proses dan menarik investor,” tutur Dwi.
Selain Dwi Soetjipto, kuliah tamu ini juga menghadirkan sejumlah narasumber lain, antara lain Ir. Nanang Untung (Komisaris PT Pertamina Hulu Energi), Ir. Triharyo Indrawan Soesilo (Indonesian Carbon Trade Association), Ir. Wiwik Pudjiastuti (Direktur Hulu Migas Kementerian ESDM), Ir. Dwi Sartiyo Annurogo (Direktur Operasi PT Pupuk Indonesia Persero), dan Didik Bahagia (PT Kliring Penjaminan Internasional).
Forum akademik ini menjadi ruang penting untuk mengurai persoalan energi nasional. Melalui podium ITS, Dwi mengingatkan: tanpa strategi ketahanan energi yang jelas, defisit migas dan ketergantungan pada energi fosil bisa menjadi batu sandungan serius menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.(*)






