Dulu Aku Hanya Anak Madrasah, Kini Aku Berdiri di Hadapan Laut Musa

oleh -342 Dilihat
LAUT MERAH
ILUSTRASI; Kawasan Laut Merah di Jeddah (Foto Kabar Makkah)

OMBAK Laut Merah mengusap-usap bibir pantai Jeddah. Seperti tangan-tangan gaib yang tak pernah letih membelai waktu. Suara deburnya adalah puisi alam. Mendesak jiwa untuk mengingat, merenung, dan tenggelam dalam dimensi yang lebih dalam daripada sekadar wisata pesisir.

Laut Merah menjadi satu di antara tempat favorit jemaah haji dan umrah sebagai pelepas penat. Di situlah aku pernah berdiri. Di tahun 2013 lalu. Saat menjadi bagian dari tim Media Center Haji (MCH), mengemban tugas meliput momen-momen agung dan pelayan jemaah.

Di tengah padatnya kerja-kerja jurnalistik dan semangat spiritual yang membuncah, bersyukur kami mendapati sebuah jeda. Jeda suci di tepi Laut Merah, tempat kenangan dan makna mengendap bersama riak airnya yang kebiruan.

Aku bukan sekadar pelancong di tanah suci. Aku adalah seorang anak kampung. Lulusan madrasah kecil. Biasa duduk di deretan kursi kayu tua. Lalu, guru desa yang penuh keikhlasan itu mengajarkan sejarah. Mendengarkan dengan mata berbinar tentang tongkat Nabi Musa yang memukul laut hingga terbelah. Menciptakan jalan kering bagi kaumnya yang teraniaya.

Baca juga: Kamar Barokah: Ruang Sunyi di Balik Riuh Berhaji

Cerita itu tongkat Musa itu begitu melekat. Seperti selembar materai menempel dan mengikat. Cerita itu bukan hanya dongeng masa silam. Tapi, cahaya yang menyalakan imajinasi spiritual dan mengguratkan jejak dalam jiwa.

Ketika angin Laut Merah menyapu wajahku, kenangan itu menyeruak. Suara sang guru, papan tulis berdebu, kapur putih, dan keheningan kelas yang hening saat dongeng mukjizat itu diulang-ulang dengan suara berat dan mata berbinar. Kini, aku berdiri di hadapan laut itu sendiri. Meski bukan di titik mukjizat itu terjadi, resonansinya terasa. Kata-kata berubah menjadi gema dalam kalbu.

Secara geografis, kelak aku tahu banyak sejarawan menunjuk Teluk Suez sebagai lokasi yang paling mungkin menjadi panggung peristiwa agung itu. Letaknya masih ratusan kilometer dari Jeddah, berada di sisi utara Laut Merah, memisahkan Semenanjung Sinai dan daratan Mesir. Alquran memang tidak menyebutkan titik koordinatnya. Seolah Allah SWT membiarkan misteri itu terbuka, mengundang manusia bukan untuk menggali pasir demi fosil sejarah, melainkan untuk menyelami makna di balik gelombang kisahnya.

Baca juga: Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

Ada pula yang berpendapat, lokasi peristiwa tongkat Musa itu berada di Teluk Aqaba, sisi timur Laut Merah, tempat yang lebih dalam dan sempit. Di titik-titik inilah para ahli geografi dan peneliti menyusuri bukti geologi dan catatan-catatan kuno, berusaha mengaitkan teks kitab suci dengan peta bumi.

Namun, semua itu tak akan pernah final. Sebab, kisah Musa dengan Laut Merah itu lebih dari sekadar titik geografis. Ia adalah titik balik kesadaran manusia.

Apakah jarak geografis membuat laut di Jeddah ini kehilangan sakralitasnya? Tidak. Karena laut adalah satu. Airnya bersambung, dan kisahnya mengalir bagai ruh yang menjelajahi tubuh bumi. Seperti kenangan yang mengalir dalam darah, kisah Musa dan Firaun hidup dalam samudra simbol dan hikmah. Di tepi laut Jeddah, aku menyaksikan bukan hanya gelombang air, melainkan gelombang sejarah, iman, dan pembebasan.

Mukjizat Nabi Musa bukan sekadar keajaiban fisik. Ia adalah simbol bahwa ketika harapan telah tertutup, dan maut mengejar di belakang, maka Allah mampu membuka jalan di tempat yang tak mungkin. Ia mengajarkan bahwa keyakinan yang teguh, digenggam dalam doa dan kesetiaan, dapat membelah laut kegelapan dan ketidakmungkinan.

Baca juga: Wukuf Arafah: Di Antara Zikir dan Napas Terakhir

Ketika Musa berdiri di depan Laut Merah dengan kaum yang kebingungan, dan di belakangnya pasukan Firaun mendekat dengan deru kuda dan dentang senjata, Allah memerintahkan Musa memukulkan tongkatnya. Tidak dengan senjata, tidak dengan siasat, tetapi dengan tongkat. Simbol keyakinan dan kepemimpinan. Dan laut pun terbelah.

Dalam Surah Asy-Syuara ayat 63, disebutkan: “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”

Bayangkan, air laut berdiri seperti gunung. Jalan muncul di antara dua dinding air. Tak ada logika manusia yang sanggup menciptakan itu. Pasti, hanya kuasa Ilahi yang mampu menjadikan yang mustahil menjadi nyata.

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Di zaman ini, lautan yang biasa membentang di hadapan kita, mungkin bukan lagi lautan air. Namun, lautan masalah, keraguan, dan ketakutan. Firaun masa kini tidak selalu berpakaian emas atau menunggang kuda. Ia hadir dalam bentuk keangkuhan sistem, ketidakadilan, kerakusan kekuasaan, atau bahkan suara-suara dalam diri kita yang melemahkan harapan. Maka, pelajaran Musa adalah pelajaran sepanjang zaman. Bahwa, dengan iman dan keberanian, jalan akan terbuka.

Dalam setiap fase kehidupan, ada momen di mana seseorang berdiri di antara bahaya dan kebuntuan. Mungkin dalam bentuk krisis keuangan, penyakit yang tak kunjung sembuh, hubungan yang retak, atau ketidakadilan sosial. Saat-saat itulah kisah Musa menjadi relevan. Tongkat Musa bukan hanya sebatang kayu. Ia adalah tekad, doa, dan kesetiaan.

Ketika Musa berdiri di hadapan laut, ia tidak tahu pasti bagaimana laut itu akan terbuka. Tapi ia yakin pada Tuhan. Dan itulah iman. Melangkah bahkan ketika kita belum melihat jembatan di depan mata.

Sebagian mufasir menafsirkan tongkat Musa sebagai simbol keajaiban dalam kehidupan seorang pemimpin. Bahwa setiap manusia sejatinya telah diberikan “tongkat’’. Alat untuk mengubah dunianya. Bisa jadi itu akal, ilmu, pengalaman, atau bahkan luka masa lalu. Yang perlu dilakukan hanyalah memukulkannya dengan keyakinan.

Baca juga: Simfoni Sunyi Kepak Merpati di Tanah Suci

Berdiri di tepi Laut Merah, aku tak hanya melihat keindahan. Aku menyaksikan refleksi dari jiwa yang sedang bercermin pada samudra. Air laut memantulkan langit, seolah ingin berkata bahwa bumi dan langit bersatu dalam satu kesadaran ilahiah.

Langit itu luas, seperti kasih Tuhan. Laut itu dalam, seperti rahasia kehidupan. Ombak datang dan pergi, seperti ujian yang tak pernah habis. Tapi, pasir di tepi pantai tetap menerima, menyerap, dan menanti, tak pernah mengeluh. Alam sedang berzikir, dan aku diajak untuk ikut berzikir bersamanya.

Aku berjalan perlahan menyusuri bibir pantai. Setiap jejak kaki seperti menorehkan doa. Tak ada yang kuucap, namun seluruh tubuhku memohon. Tiba-tiba angin menguat, pasir beterbangan, dan ombak menggulung lebih tinggi. Seakan alam sedang ingin menunjukkan bahwa ia pun tahu bahwa di tepi laut ini, ada jiwa yang sedang mencari.

Dari pengalamanku di Laut Merah itu, aku menarik beberapa hikmah. Pertama, mukjizat bukan untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan. Kisah Musa bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagi setiap perjuangan hidup. Ketika dihadapkan pada situasi genting, dengan kejaran beban di belakang dan dinding masalah di depan, di situlah ujian iman terjadi.

Baca juga: Panggilan Langit

Air laut bersifat menerima, tetapi juga bisa menenggelamkan. Musa dan pengikatnya melewati laut dengan selamat karena taat, sedangkan Firaun dan bala tentaranya tenggelam karena kesombongan. Air laut adalah metafora. Hidup akan menyelamatkan mereka yang berserah, dan menenggelamkan mereka yang congkak.

Setiap tempat bisa menjadi tempat tafakur. Meskipun titik peristiwa Musa mungkin bukan di Jeddah, tetapi kehadiran Laut Merah di sana telah cukup membuka ruang permenungan. Tempat bukan hanya soal koordinat, tetapi soal kesiapan hati.

Zaman boleh berubah, tapi nilai tetap sama. Firaun tidak mati. Ia berganti wajah. Dan Musa tidak pergi. Ia hadir dalam semangat setiap insan yang memperjuangkan kebenaran. Nabi Musa diberikan tongkat mukjizat. Kita diberi tongkat keyakinan sebagai anugerah. Setiap manusia punya jalan pembebasannya sendiri. Tidak perlu menunggu mukjizat dari langit, karena mungkin kita sendiri telah membawa mukjizat itu sejak awal.

Di akhir kunjungan itu, aku duduk di pasir hangat Jeddah, memandangi Laut Merah yang tak henti mengirim pesan lewat gelombangnya. Setiap debur ombak adalah huruf, setiap angin adalah kata, dan setiap kilauan cahaya adalah titik-titik tanda baca dalam kitab alam.

Baca juga: Sahabat di Tanah Suci: Seutas Tali Penenun Makna

Laut Merah mengajakku bukan untuk berenang atau berlibur, tapi untuk menyelam ke dalam diriku sendiri. Ia mengajarkan bahwa mukjizat bukan sesuatu yang terjadi “di sana dan dulu”, melainkan sesuatu yang bisa hadir “di sini dan kini”. Bila kita hidup dengan iman, bergerak dengan keberanian, dan berharap dengan sabar.

Di tahun 2013 itu, aku tak hanya menunaikan tugas jurnalistik. Aku telah menjalani pengembaraan. Berziarah batin, Menyentuh nadi sejarah. Berdialog dengan laut. Dan, sejak saat itu, aku tahu bahwa setiap laut yang aku pandangi akan selalu membawa bisikan Musa, dan setiap badai kehidupan akan selalu menyimpan potensi untuk terbelah jika aku memiliki tongkat keyakinan yang kokoh di tangan.

Aku merenung itu lama, sebelum aku bersama teman-teman MCH dan petugas lain masuk ke dalam resto di tepi Laut Merah Jeddah. Menikmati masakan khas Arab Saudi, sambil menghabiskan sepuntung asap berharga. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.