DALAM jagat industri dan korporasi Indonesia, ada nama-nama yang tak sekadar tercatat dalam buku laporan tahunan. Tetapi, terukir dalam narasi perubahan, layaknya seorang pujangga yang mengukir simfoni di atas kanvas raksasa. Salah satu di antaranya adalah Dwi Soetjipto, sosok yang tak hanya mengelola angka dan aset, melainkan juga menjiwai setiap denyut nadi perusahaan dengan visi yang melampaui cakrawala.
Sebelum Dwi Soetjipto, PT Semen Gresik (SG) adalah raksasa yang perkasa. Tetapi, terkesan “tidur” dalam kepompong domestiknya. Bagai gunung kapur yang kokoh dengan potensi melimpah, namun belum sepenuhnya mengeluarkan semburan lahar inovasi dan ekspansi. Begitu Dwi masuk sebagai pucuk pimpinan pada 2005, perubahan progresif terjadi.
Dwi datang bukan sebagai arsitek yang merombak total, melainkan sebagai seorang Ksatria Semen, yang melihat esensi di balik bongkahan-bongkahan abu dan pasir. Ia melihat bukan hanya pabrik, melainkan denyut nadi pembangunan bangsa.
Lama aktif di dunia pencak silat, seperti menuntun Dwi ke filosofi bela diri. Dalam pencak silat, seorang pendekar memahami kekuatan lawan, kelemahan diri, dan memanfaatkan momentum. Dwi lihai membaca peta persaingan industri. Tidak hanya merancang strategi, melainkan melatih para “pasukan” untuk menjadi lincah, adaptif, dan mematikan dalam setiap gerakan pasar.
Dari sanalah, Dwi mulai memoles kekuatan internal. Mengasah setiap “jurus” untuk efisiensi dan inovasi. Di bawah kepemimpinannya, SG mulai membuka lembaran-lembaran baru. Tidak puas hanya sekadar menjadi produsen semen lokal. Visi Dwi melampaui batas-batas geografis Indonesia. Dia mulai “mengendus” peluang-peluang, seperti seorang navigator ulung yang cerdik membaca bintang.
Transformasi besar pun dimulai di masa kepemimpinannya. Puncaknya adalah rebranding PT Semen Gresik menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk pada 2012. Keputusan ini bukan sebatas pergantian nama. Tapi, sebuah deklarasi tegas. Perusahaan telah menaikkan kelas, dan siap bertarung di ring yang lebih besar.
Langkah monumental lainnya adalah akuisisi Thang Long Cement di Vietnam. Ini bagai seorang pendekar yang membuka gerbang baru, memperluas gelanggang pertarungan ke kancah regional. Akuisisi itu bukan hanya menambah volume produksi, melainkan menegaskan posisi Semen Indonesia sebagai BUMN pertama yang berstatus multinasional. Kapasitas produksi melesat hingga 26 juta ton per tahun, melampaui raksasa regional lain seperti Siam Cement.
Dwi telah berhasil menancapkan bendera Indonesia di jantung industri semen Asia Tenggara. Pria yang lahir bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan—10 November itu—telah memerankan diri sebagai sang penjelajah korporasi, yang berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi badai di lautan global.
Dwi bukan hanya seorang ekspansionis. Bak Sang Alkemis Korporasi, ia mampu mengubah ide menjadi emas, dan limbah menjadi energi. Pria asli Surabaya itu tampaknya menyadari betul bahwa di era persaingan ketat, inovasi adalah mata air yang tak boleh kering. Di bawah kepemimpinannya, SG tidak hanya memproduksi semen, tetapi juga memproduksi gagasan.
Begitu banyak ide inovasi. Beberapa di antaranya “Semen Gresik Group Award of Innovation” (SGGAI). Sebuah wadah yang memancing kreativitas pasukannya. Ini seperti seorang pelatih yang menyediakan arena bagi murid-muridnya untuk mengasah jurus baru, untuk menemukan gerakan-gerakan tak terduga yang bisa mengalahkan lawan.
Hasilnya? Luar biasa. Potensi penghematan dari karya inovasi mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahun. Pada 2011, misalnya, angkanya mencapai Rp 593 miliar, dan setahun kemudian melonjak menjadi Rp 639 miliar. Ini menjadi bukti nyata bahwa inovasi bukan hanya slogan, melainkan mesin pengeruk efisiensi dan laba.
Inovasi-inovasi yang digagas itu bukan sekadar perbaikan kecil. Namun, terobosan-terobosan fundamental. Misalnya, penggunaan energi alternatif dari limbah. Sebuah langkah visioner. Tidak hanya menekan biaya operasional, melainkan juga selaras dengan semangat keberlanjutan. Dwi seolah berkata, “Bahkan dari ‘sampah’, kita bisa menciptakan kekuatan.”
Selain itu, pengembangan produk semen khusus. Semen yang tahan korosi seperti dalam proyek Jembatan Suramadu, beton untuk jalan tol yang tahan lama. Ini adalah contoh bagaimana inovasi menjawab kebutuhan spesifik, menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya menjual produk massal, tetapi juga solusi.
Lalu, pemanfaatan material slag dari Krakatau Steel. Sebuah jalinan sinergi antar BUMN yang menghasilkan produk baru dan efisiensi. Ini menunjukkan bahwa Dwi pun seorang perajut sinergi, yang melihat potensi kolaborasi di setiap sudut.D
ari sisi laba korporasi, Dwi adalah Sang Maestro Keuntungan. Di bawah kepemimpinannya, SG menunjukkan grafik pertumbuhan yang impresif. Pada 2007, laba bersih melesat 37,04 persen menjadi Rp 1,8 triliun. Bahkan, saat ada tantangan seperti gempa yang mengganggu produksi, tetap berhasil menjaga pertumbuhan laba melalui efisiensi. Seperti seorang petani ulung yang tahu bagaimana menjaga tanamannya tetap subur, bahkan di musim kemarau.
Dari Arena Pencak Silat ke Panggung Korporasi: Filosofi Sang Pemimpin
Hubungan antara Dwi dan pencak silat bukan sekadar hobi, melainkan filosofi yang meresap ke dalam setiap gaya kepemimpinannya. Seorang pendekar pencak silat diajarkan sejumlah prinsip-prinsip. Di antaranya, fokus dan disiplin. Dalam korporasi, prinsip itu diterjemahkan menjadi eksekusi strategi yang konsisten dan disiplin dalam mencapai target. Kemudian, adaptasi, mampu membaca gerakan lawan dan mengubah jurus sesuai kondisi. Dalam bisnis, hal ini merupakan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar, teknologi, dan persaingan.
Selanjutnya, keberanian dan keteguhan. Tidak gentar menghadapi tantangan, bahkan ketika lawan terlihat lebih besar. Ini tercermin dalam keputusan ekspansi global dan menghadapi oversupply di pasar domestik. Juga, prinsip sinergisitas gerakan. Setiap bagian tubuh bergerak harmonis untuk mencapai tujuan. Nilai ini serupa dengan membangun tim yang solid dan menciptakan sinergi antar unit bisnis.
Dwi adalah pendekar korporasi yang menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Tidak hanya memerintah, melainkan melatih. Tidak hanya melihat angka, tetapi juga semangat. Dia membangun budaya di mana setiap karyawan merasa menjadi bagian dari “tim” yang berjuang untuk tujuan bersama.
Ketika dipanggil untuk mengemban amanah yang lebih besar di PT Pertamina pada akhir 2014, Dwi meninggalkan Semen Indonesia bukan dalam kondisi limbung. Namun, meninggalkan sebuah mesin yang telah terkalibrasi dengan presisi, sebuah organisasi yang telah memiliki “DNA” inovasi dan ekspansi. Dia tak ubahnya Sang Pembentuk Pondasi, yang membangun dasar yang kokoh bagi generasi penerusnya.
Sepeninggalnya, Semen Indonesia memang menghadapi tantangan tidak mudah. Terutama oversupply semen di pasar domestik. Namun, fondasi yang dibangun—semangat inovasi, efisiensi operasional, dan visi global—terus menjadi kompas. Perusahaan terus berupaya meningkatkan kapasitas, mengoptimalkan biaya logistik, dan mengembangkan produk-produk inovatif.
Dari Kursi Dirut ke Penjaga Sumur Nasional
Setelah mengarungi raksasa semen dan memimpin nakhoda energi Pertamina, Dwi dipanggil untuk mengemban amanah lain yang tak kalah strategis. Yakni, menjadi Kepala SKK Migas pada akhir 2018. Ini bukan lagi tentang memproduksi barang atau mengelola rantai pasok energi secara langsung, melainkan tentang menjaga jantung energi bangsa, memastikan setiap tetes minyak dan setiap kubik gas dari perut bumi Indonesia termanfaatkan secara optimal untuk kemakmuran rakyat.
Di SKK Migas, peran Dwi lebih menyerupai seorang “Gembala Migas”, yang bertugas menggembalakan para “pemilik ladang” (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/KKKS) agar terus produktif, efisien, dan patuh pada aturan main negara. Inovasi di sini bukanlah menciptakan produk baru, tapi merajut benang-benang birokrasi, regulasi, dan proses investasi agar lebih efisien dan menarik. Seperti Sang Pelumas Roda Birokrasi, yang berupaya menghilangkan gesekan dan hambatan, yang seringkali menghalangi laju investasi di sektor hulu migas.
Dwi meneruskan nyala semangat efisiensi dan percepatan proyek dari pengalaman sebelumnya. Fokusnya, bagaimana mempercepat decision-making dan pelaksanaan proyek-proyek hulu migas yang seringkali terhambat. Inovasinya terangkai dalam lanskap arsitektur tata kelola proyek. Di antaranya, memangkas rantai perizinan yang panjang, seperti seorang pendekar yang memotong simpul-simpul rumit agar gerakan menjadi lebih luwes. Kemudian, bersama pemerintah berupaya merancang “ramuan” insentif yang lebih manis bagi investor di tengah fluktuasi harga minyak global. Dengan begitu, ladang migas Indonesia tetap menjadi magnet bagi modal asing.
Selain itu, percepatan beberapa proyek strategis nasional. Dwi memastikan proyek-proyek jumbo seperti Blok Masela tidak tersangkut di pusaran birokrasi, melainkan bergerak maju sesuai rencana.
Meski SKK Migas bukanlah entitas pencari laba, kontribusinya terhadap negara sangatlah fundamental. Di bawah kepemimpinannya, penerimaan negara dari hulu migas seringkali melampaui target yang ditetapkan. Bahkan, di tengah harga komoditas yang bergejolak. Bukti bahwa “Sang Gembala” berhasil menggembalakan “domba-domba” migas dengan baik, memastikan setiap hasil panen tercurah ke kas negara.
Di bawah sentuhan tangannya, Dwi berhasil mengendalikan cost recovery, memastikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk operasi KKKS tetap efisien, sehingga porsi yang kembali ke negara menjadi lebih besar. Ia seperti Sang Penjaga Pundi-Pundi Negara, yang memastikan bahwa kekayaan alam bumi benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Dwi seolah meneguhkan cerita bahwa setiap ksatria besar memiliki kisah tentang bagaimana pedang dan perisainya ditempa, bagaimana visinya dibentuk. Fondasi kuat tersebut diletakkan di bangku pendidikan. Dwi bukanlah seseorang yang langsung terjun ke medan laga korporasi tanpa bekal. Dwi justru merupakan produk tempaan intelektual yang cermat, sebuah benih yang disemai di ladang ilmu pengetahuan.
Pendidikan tingginya dimulai di salah satu kawah candradimuka terbaik bangsa, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Di sana, ia memilih jalur Teknik Kimia, sebuah disiplin ilmu yang menuntut ketelitian, analisis mendalam, dan pemahaman akan proses transformasi material. Sebuah bekal awal yang kelak sangat relevan dengan industri, yang pada dasarnya adalah tentang transformasi material mentah menjadi produk bernilai. Di ITS, ia tidak hanya menyerap teori, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir sistematis dan pemecahan masalah, seperti seorang seniman yang mempelajari setiap detail pahatan.
Namun, dahaga pengetahuannya tak berhenti di sana. Ia menyadari bahwa memimpin sebuah entitas bisnis besar memerlukan lebih dari sekadar pemahaman teknis. Juga, butuh kemampuan strategi dan manajerial yang komprehensif. Maka, dia pun melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, meraih gelar Doktor (S3) dalam bidang Manajemen Strategi dari Universitas Indonesia (UI).
Pilihan tersebut menunjukkan visi jauh ke depan. Seorang tokoh yang tidak hanya memahami “bagaimana” sesuatu dibuat, melainkan juga “mengapa” dan “ke mana” sebuah organisasi harus bergerak. Gelar doktor ini menjadi mahkota kebijaksanaan, melengkapi keahlian teknisnya dengan kedalaman pemahaman strategi bisnis, laksana seorang jenderal yang tak hanya menguasai taktik perang, tetapi juga seni diplomasi.
Begitulah, Dwi Soetjipto. Kala mendapat amanat, seperti pendekar yang tak puas dengan satu jurus. Tertantang terus bergerak dan berinovasi. Ia termasuk Mahaguru Transformasi, yang jejaknya akan terus menjadi inspirasi. Dari tanah kapur di Gresik hingga pabrik di Hanoi, dari lembar laporan keuangan hingga arena pencak silat, ia telah menuliskan sebuah epos tentang bagaimana kepemimpinan visioner, inovasi berkelanjutan, dan keberanian dapat mengubah sebuah perusahaan domestik menjadi pemain global yang disegani. Jejaknya tak sekadar dikenang, tetapi menjadi peta jalan bagi generasi pemimpin berikutnya. (“)