KabarBaik.co – Kinerja ekonomi nasional, termasuk Jawa Timur, sejak awal tahun 2025 belum menunjukkan perkembangan signifikan. Momen Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya menjadi penggerak utama ekonomi juga tak membawa dampak positif yang berarti.
Pada Februari 2025, Jawa Timur mencatat deflasi sebesar 0,03 persen (yoy), sementara tingkat deflasi nasional mencapai 0,09 persen (yoy). Angka ini menjadi yang pertama sejak deflasi tahunan terakhir pada Maret 2000.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Bidang Hubungan Antar Lembaga, Fitradjaja Purnama, menilai kondisi ini menunjukkan arah kebijakan ekonomi pemerintah belum jelas, meski telah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada 2045.
“Peta jalan menuju pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen perlu diperjelas, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Pemerintah harus berusaha keras membangun kepercayaan publik dengan memperbaiki situasi politik dan ekonomi,” ujar Fitradjaja di Surabaya, Jumat (7/3).
Menurutnya, membangun kepercayaan masyarakat dan dunia usaha sangat penting. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan yang tegas, termasuk pemberantasan korupsi yang saat ini menjadi sorotan publik, serta solusi konkret untuk mencegah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Transparansi dalam efisiensi anggaran juga diperlukan agar tidak menimbulkan keraguan masyarakat.
Fitradjaja menjelaskan, dampak belanja pemerintah terhadap perputaran ekonomi hanya sekitar 3-5 kali lipat. Ia mencontohkan, jika belanja pemerintah mencapai Rp 3.000 triliun, perputaran maksimal hanya sekitar Rp 15.000 triliun.
“Namun, di luar itu, ada perputaran uang yang lebih besar yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Sektor swasta sebenarnya memiliki daya tahan hingga 20 kali lipat dari belanja pemerintah, tetapi pelaku usaha enggan berinvestasi karena kepercayaan yang hilang,” ungkapnya.
Kadin Jatim terus mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis demi menciptakan lapangan kerja lebih luas. Namun, banyak pelaku usaha yang masih menunggu kejelasan situasi.
“Mereka bilang, ‘Tunggu dulu’. Setelah pemilu, presiden baru sudah dilantik, kabinet terbentuk, tapi tetap saja mereka masih menunggu. Ini karena postur politiknya belum jelas, figur politiknya masih seperti ada tawar-menawar,” kata Fitradjaja.
Ia menekankan bahwa persoalan politik sangat memengaruhi stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, pemimpin nasional harus mampu memberikan keyakinan kepada publik bahwa negara ini memiliki arah yang jelas.
“Presiden harus menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin tertinggi yang bisa dipercaya. Kepercayaan ini penting agar rakyat optimistis dan dunia usaha percaya bahwa negara ini berjalan dengan baik,” tandasnya.
Ketika kepercayaan terbangun, masyarakat yang memiliki modal akan berani menginvestasikan uangnya. Uang yang selama ini hanya disimpan akan kembali berputar sebagai modal usaha, memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.(*)