KabarBaik.co– Bagi umat Muslim di Indonesia, kepulangan dari Tanah Suci Makkah seringkali diiringi dengan penyematan gelar “Haji” atau “Hajjah” di depan nama. Gelar ini bukan sekadar identitas, melainkan cerminan sejarah panjang yang melibatkan perjuangan, nilai budaya, bahkan intrik kolonial.
Sejarah gelar haji di Nusantara ternyata sudah berlangsung sejak masa silam. Menurut filolog Oman Fathurahman, akrab disapa Kang Oman, perjalanan menuju Tanah Suci di masa lalu adalah sebuah epik perjuangan. Jemaah harus mengarungi lautan, menerjang badai berbulan-bulan, menghindari perompak, dan menjelajahi gurun pasir.
“Seorang yang pada akhirnya berhasil melalui ujian tersebut, lalu berhasil kembali selamat ke Tanah Air, kemudian dianggap berhasil mendapat anugerah dan kehormatan,” jelas Kang Oman seperti dilansir situs Kementerian Agama. Keberhasilan itu semakin diperkuat oleh status Ka’bah dan Makkah sebagai kiblat suci umat Islam sedunia.
Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, memaparkan tiga perspektif mengapa tradisi penyematan gelar haji ini begitu mengakar di Indonesia. Pertama,k eagamaan. Haji adalah penyempurna rukun Islam. Perjalanan yang jauh, biaya yang mahal, dan persyaratan yang tidak mudah menjadikannya ibadah istimewa yang tidak semua orang bisa lakukan. Karena itu, gelar haji disematkan sebagai penanda keberhasilan menunaikan rukun Islam yang agung ini.
Kedua, perspektif kultural. Narasi dan cerita-cerita heroik selama berhaji telah berkembang menjadi kisah populer yang menginspirasi banyak orang untuk menunaikan ibadah haji. Tak heran, banyak tokoh masyarakat juga menyandang gelar haji, membuat ibadah haji semakin penting dan memiliki nilai serta status sosial yang tinggi di Indonesia.
Ketiga, perspektif kolonial. Yang menarik, gelar haji juga memiliki dimensi kolonial. Dulu, banyak perlawanan terhadap penjajahan berasal dari umat Islam. Terutama mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji. Karena itu, gelar haji mulai disematkan secara resmi sejak tahun 1916. Tujuannya, agar lebih mudah mengawasi siapa saja yang berpotensi menjadi pemberontak.
Gelar Haji: Fenomena Global
Meskipun sangat populer di Indonesia, gelar haji atau hajjah tidak hanya ada di Indonesia. Penggunaan gelar ini juga ditemukan di beberapa negara lain. Terutama di rumpun Melayu dan sebagian dunia Islam, meskipun dengan nuansa dan tingkat popularitas yang berbeda.
Di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan, gelar haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan) sangat umum digunakan dan memiliki makna penghormatan yang serupa dengan di Indonesia.
Di Turki, gelar haji pernah digunakan sebelum tahun 1923, bahkan sejak dinasti Seljuk berkuasa. Contohnya adalah Haci Muhettin Piri Reis dan Haci Bektash Veli.
Sebutan haji juga umum di berbagai belahan dunia Islam sejak Abad Pertengahan. Termasuk di India, Balkan, Afrika Utara, Afrika Timur dan Barat, serta Asia Tengah.
Sementara itu, di negara-negara Arab, ḥajj (untuk laki-laki) dan ḥajjah (untuk perempuan) adalah cara umum untuk menyapa orang yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan. Terutama jika mereka telah menunaikan ibadah haji. Namun, ini lebih bersifat panggilan lisan dan bukan gelar formal yang dicantumkan di depan nama seperti di Indonesia atau Malaysia.
Secara etimologi, kata haji berasal dari bahasa Arab ḥājj, yang berarti orang yang telah menunaikan ibadah haji, sementara hajjah adalah bentuk femininnya. Istilah ini telah ada selama berabad-abad dan bahkan muncul dalam Alquran.
Dengan demikian, gelar haji bukan sekadar penanda ibadah yang telah ditunaikan, melainkan sebuah gelar yang kaya akan sejarah, makna keagamaan, nilai kultural, bahkan jejak kolonial yang membentuk identitasnya hingga kini. (“)