Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

oleh -576 Dilihat
RAUDHAH2

MALAM sunyi di tahun 2013. Sebuah perjalanan antara dua kota suci di jazirah Arab menjadi saksi bisu dari keajaiban yang tak mudah kami lupakan. Perjalanan ini secara lahiriah tampak sebagai agenda jurnalistik biasa. Meliput kegiatan Menteri Agama saat itu, Surya Dharma Ali (SDA). Namun, justru menjadi medan spiritual yang mempertemukan kami dengan tanda-tanda kebesaran Ilahi. Tersembunyi di balik pasir gurun dan gulita malam.

Saya bersama teman-teman dari Media Center Haji (MCH) melakukan perjalanan dari kota Makkah ke Madinah. Pulang-Pergi. Tujuannya jelas. Wawancara dengan sang Menteri. Namun, tak ada yang menyangka bahwa perjalanan pulang ke Makkah yang kami tempuh setelah ziarah ke makam Rasulullah SAW akan membuka tabir makna yang begitu dalam tentang perlindungan, doa, dan keajaiban.

Baca juga: Panggilan Langit

Malam berganti. Sinar rembulan berangsur pudar. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 waktu setempat, Mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Membelah jalan aspal yang sunyi di antara bentang gurun. Tiba-tiba, daaarrrr! Terdengar dentuman dari belakang. Roda belakang kanan kendaraan kami meletus.

Suara ledakan itu menghentak kesadaran kami yang mulai lelah. Seketika ruangan dalam mobil dipenuhi dengan pekikan istighfar, takbir, dan berbagai seruan yang lahir dari refleks ketakutan. Kami semua spontan berseru: “Astaghfirullah”, “Allahu Akbar”, dan kalimat thayyibah lainnya.

Namun, keajaiban pertama pun terjadi. Kendaraan tidak sampai terguling. Andai saja terguling? Entahlah. Yang pasti, tentu itu bukan sekadar keberuntungan. Kami meyakini ini tentang perlindungan dari Allah. Dalam momen kritis itu, kami diingatkan pada firman-Nya: “Dan jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia; dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17)

Kendaraan pun menepi. Berhenti di bahu jalan. Kami semua turun. Mengecek ban mobil. Roda itu sudah tak bisa digunakan. Dan lebih parahnya, tidak ada ban serep. Kenapa tidak mengecek dulu sebelum berangkat? Padahal, jarak kota Makkah-Madinah jauh. Berjam-jam. Kami terjebak di antara dua kota besar, dengan kanan kiri gurun gersang, dan waktu yang sama sekali tak bersahabat.

Mau cari bantuan ke mana dan ke siapa? Keputusan diambil. Mabil jalan pelan-pelan dengan berharap keberuntungan. Namun, sang sopir kami, seorang pria asal Madura, justru menenangkan kami. “Ayo baca salawat, Bapak-bapak,” katanya lembut.

Baca juga: Ziarah Rindu

Maka, kami mulai bersalawat, dengan penuh harap dan ketulusan. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada yang bisa kami andalkan kecuali Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang memperbanyak membaca salawat kepadaku, niscaya Allah akan menghilangkan kegelisahan dan kesedihannya serta akan mencukupkan segala kebutuhannya.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

Dan Allah pun seakan membuktikan janji-Nya. Tak lebih dari satu kilometer kendaraan berjalan pelan, kami melihat sebuah pemandangan tak masuk akal. Ada tempat tambal ban berdiri di tengah gurun. Di tengah gelap malam, mata kami terpaku pada sebuah bilik. Di sana, seorang pria berjubah khas Arab menyambut kami dengan ramah. Tidak ada lampu sorot, tidak ada papan neon. Namun keberadaannya nyata.

Kami semua diam. Saling memandang, lalu saling bertanya dalam hati. Apakah ini benar-benar nyata? Bagaimana mungkin di Arab ada tambal ban? Di hening sunyi dini hari? Seribu tanya bergumuruh yang kemudian luruh. Ataukah ini jawaban dari langit? Pengalaman itu mengingatkan kami pada firman Allah: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2–3)

Di tengah gurun yang sunyi, di jam tak biasa, datang pertolongan yang tak masuk akal logika. Apakah ini bentuk lain dari rezeki? Ataukah ini malaikat yang menyamar menjadi manusia biasa?

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

Sebelum tragedi itu, kami berziarah ke makam Rasulullah SAW. Bukan hanya kunjungan fisik. Ia adalah perjumpaan ruhani. Berada di Raudhah, kami membaca salawat dan menyampaikan salam. Sebanyak-banyaknya di tengah perjumpaan yang tak banyak, meski kami sejatinya sangat merindunya. Siapa sangka, hanya beberapa jam kemudian, salawat itulah yang menjadi tali penyelamat dalam kondisi darurat?
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di bumi menyampaikan salam umatku kepadaku.” (HR. Nasa’i dan Ahmad)

Malam itu, mungkin salam kami telah sampai kepada beliau, dan jawaban atasnya datang dalam bentuk paling sederhana: tambal ban di tengah gurun.

Keberuntungan atau Kehendak Ilahi? Terlalu banyak kebetulan untuk disebut sebagai kebetulan. Meletusnya ban, tidak membawa ban serep, dan kehadiran tukang tambal ban di lokasi yang mustahil… semua itu menyiratkan satu hal. Allah sedang menunjukkan kuasa-Nya dalam bentuk yang lembut, namun nyata.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman: “Aku bersama prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Prasangka baik kami saat itu, keikhlasan dalam membaca salawat, dan ketundukan hati, semua itulah yang membuka jalan pertolongan. Perjalanan dari Madinah ke Makkah adalah perjalanan dari ketenangan ruhani menuju pusat ibadah yang abadi. Ia mencerminkan perjalanan hidup manusia. Penuh rintangan, penuh harap, dan menuntut keimanan.

Baca juga: Menyusuri Jejak Sunyi di Langit Hira

Perjalanan itu mengingatkan kami pada kisah Nabi Musa AS yang berdiri di depan Laut Merah, Saat semua jalan tertutup, Allah membuka jalan di mana tidak ada jalan. “Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)

Malam itu, kami merasakan ayat ini bukan sebagai teks, tapi sebagai kenyataan. Hingga kini, kami tak pernah tahu siapa tukang tambal ban itu. Tapi, kehadirannya menjadi isyarat bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah dan bentuk yang tidak disangka. Bukankah Allah telah berfirman? “Dan Kami jadikan sebagian dari kamu sebagai ujian bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (QS. Al-Furqan: 20)

Kadang, ujian datang dalam bentuk kecil. Seperti ban meletus itu. Tapi, justru dari situ, lahir pelajaran besar. Tentang tawakal, tentang salawat, tentang takdir. Dan barangkali, malam itu, malaikat turun bukan dengan sayap, melainkan dengan dongkrak dan tambal ban. Dan mungkin juga, setiap dari kita, yang ikhlas, yang berserah, dan yang bertawakal, telah menjadi bagian dari malaikat itu.

Setiap perjalanan menyimpan pelajaran. Tapi hanya jiwa yang tenang dan hati yang terbuka yang bisa menangkap hikmahnya. Semoga cerita ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap langkah, Allah tak pernah jauh. Ia dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Yang mengherankan, kenapa dari kami tidak ada yang mengambil gambar malaikat penambal ban itu? Bukankah kami yang awak media ini semuanya tengah membawa perlengkapan ‘’perang’’ seperti kamera dan lainnya? Kenapa tak terpikir mengabadikan momen eksklusif itu? Sungguh makin membuktikan bahwa akal manusia teramat terbatas. Hanya setitik tinta, di balik samudra kebesaran-Nya yang teramat Maha Luas. Allahu Akbar. (*)

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin
Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.