KabarBaik.co- Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Dalam pernyataan di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Gus Mus menegaskan bahwa dirinya sangat tidak setuju jika Soeharto diberikan gelar tersebut. Selama masa pemerintahan Orde Baru, Gus Mus menyebut banyak ulama pesantren dan warga Nahdlatul Ulama yang mengalami perlakuan tidak adil.
“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, bahkan banyak yang dirubuhkan oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ujar Gus Mus dilansir dari NU Online, Rabu (5/11).
Ia juga menceritakan bahwa KH Sahal Mahfudh (mantan Rais Am PBNU, Red) pernah didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat, namun ditolak. “Saya menyaksikan sendiri,” tambahnya.
Menurut Gus Mus, banyak tokoh dan ulama yang memiliki jasa besar bagi bangsa, tetapi keluarga mereka tidak pernah mengajukan gelar pahlawan. Hal ini dilakukan untuk menjaga keikhlasan amal dan menghindari sikap riya.
“Banyak kiai yang berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah,” jelas Rais Am PBNU periode 2014–2015 itu.
Gus Mus menilai, warga NU yang mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap sejarah. “Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kalangan pesantren, kiai, dan warga NU pada masa Orde Baru. Salah satunya peristiwa Losarang di Indramayu saat Pemilu 1971, di mana warga NU mengalami intimidasi dan kekerasan.
Berdasarkan catatan Ensiklopedia NU yang merujuk laporan jurnalis Panda Nababan di Harian Sinar Harapan, masjid dan rumah warga dibakar, sementara masyarakat terpaksa mengungsi. Panda yang hendak melaporkan peristiwa itu akhirnya dihentikan aparat dan diinterogasi oleh intel pertahanan.
Peristiwa serupa juga terjadi pada Pemilu 1977, termasuk pembunuhan terhadap Kiai Hasan Basri di Brebes. Harian Pelita mencatat bahwa rumah beliau digedor dan ia bersama anaknya dipukuli. Laporan itu dimaksudkan untuk menolak klaim pemerintah yang menyebut korban meninggal karena menjatuhkan diri ke sumur. Selain itu, pada 1977 juga terjadi pembakaran sekitar 140 rumah di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, menjelang pemilu.
Gus Mus juga mengingatkan intervensi pemerintah terhadap NU menjelang Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, tahun 1994. Pemerintah disebut berusaha memengaruhi jalannya muktamar melalui dukungan terhadap calon tertentu. Bahkan, pada 1996, Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie pernah meminta Ketua Umum PBNU saat itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), untuk mengundurkan diri “demi kepentingan NU”.
Rangkaian peristiwa tersebut menjadi alasan kuat bagi Gus Mus untuk menolak rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Menurut Gus Mus, keputusan semacam itu dapat mengabaikan sejarah dan melukai perasaan para korban ketidakadilan pada masa Orde Baru. (*)








