Jalan Politik Imam Syaifudin: Dulu Buruh Pabrik, Kini Anggota DPRD Gresik

oleh -908 Dilihat
1c343bc2 fda4 4fe0 8c7a 41ab97859d48
Anggota DPRD Gresik Imam Syaifudin semasa menjadi buruh. (Foto: Ist)

KabarBaik.co – Imam Syaifudin, politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini duduk di Komisi IV DPRD Gresik, bukanlah sosok yang lahir dari elite politik. Ia datang dari jalan panjang perjuangan seorang buruh pabrik.

Selama lebih dari 15 tahun menghabiskan waktunya di lantai produksi pabrik sejak 2005. Dari sanalah perjuangannya bermula.

Imam tidak berhenti hanya sebagai pekerja. Ia aktif dalam organisasi serikat buruh dan sempat dipercaya menjadi Ketua DPC FSP LEM SPSI Gresik.

Dalam perannya, ia bersama rekan-rekan pejuang buruh mencetuskan sebuah langkah strategis mendirikan Rumah Buruh di Kecamatan Bunder, Kabupaten Gresik.

Sebuah ruang kolektif yang bukan hanya menjadi tempat curhat persoalan ketenagakerjaan, tapi juga arena dialektika dan edukasi regulasi perburuhan.

Kendati sudah menduduki kursi wakil rakyat, kini ia juga menjabat sebagai Direktur Rumah Buruh serta Ketua DPC KSPSI Kabupaten Gresik periode 2025–2030.

Menariknya, sepanjang wawancara ini berjalan, Imam sangat jarang menyebut kata “saya.” Ia lebih sering menggunakan kata “kita”, mencerminkan semangat kolektif dan kesadaran bahwa perjuangan ini bukan milik satu orang.

Concern kita tentu terus menyuarakan hak-hak pekerja, karena mayoritas masyarakat kita adalah buruh. Di Gresik, sebagai kota industri, masih banyak hak-hak normatif pekerja yang jauh dari harapan,” tuturnya, Minggu (25/5).

Pengalaman pahit menjadi buruh memperkuat nyalinya. Salah satu yang paling ia ingat adalah bagaimana perusahaan tempatnya dulu bekerja menghindari kewajiban membayar pesangon pekerja pensiun dengan cara-cara tak etis.

Mulai dari menempatkan mereka di posisi yang tidak nyaman agar mengundurkan diri, hingga menawar pesangon di luar ketentuan undang-undang.

“Banyak yang sudah mengabdi puluhan tahun, tapi saat mendekati purna tugas justru diperlakukan tak layak. Mereka adalah aset, seharusnya dilindungi dan dihargai,” ujarnya.

Dari sanalah Imam mulai membangun kekuatan. Bersama rekan-rekan, ia membentuk serikat, mengkonsolidasikan kekuatan, dan mulai merintis pola komunikasi yang bermartabat dengan perusahaan.

“Kami mencoba menjadi mitra. Alhamdulillah hari ini, banyak pekerja telah mendapat hak-hak normatif bahkan di luar itu, seperti tunjangan tambahan dan peningkatan kesejahteraan lewat koperasi,” jelasnya.

Semangat memperjuangkan keadilan ini pula yang mendorongnya melanjutkan studi hukum dan meniti karier sebagai advokat. Tujuannya tetap sama, membela pekerja dan keluarganya.

Langkah Imam melangkah ke kursi legislatif bukanlah karena ambisi pribadi, melainkan sebagai strategi kolektif yang lahir dari keresahan panjang. Ia kini menjadi anggota Komisi IV DPRD Gresik dari dapil II Cerme-Duduksampeyan, mewakili suara kaum buruh yang selama ini kerap tertahan di depan pintu-pintu kekuasaan.

“Misi kami ini sebenarnya sederhana, bagaimana mensinergikan perjuangan kami di serikat pekerja dengan kerja-kerja legislasi,” ungkap Imam.

Imam paham betul peta ketenagakerjaan Gresik. Kota industri ini, menurutnya, punya federasi buruh terbanyak dibanding daerah lain. Namun, ironisnya, menyuarakan aspirasi buruh di Gresik selalu membutuhkan energi dan waktu yang tidak sedikit.

“Setiap kami mau menyampaikan aspirasi, baik lewat forum, diskusi, sampai unjuk rasa, itu rasanya berat. Sulit sekali untuk langsung ditanggapi,” ujarnya di meja kerjanya yang dipenuhi dengan poster-poster perjuangan buruh.

Salah satu perjuangan yang paling melekat di benaknya adalah inisiasi perda ketenagakerjaan baru. Perda tahun 2011, yang kala itu masih berlaku, dinilai tak lagi relevan dengan kondisi Gresik yang terus berkembang.

Maka pada 2016, Imam dan rekan-rekannya mengadakan seminar independen tentang pentingnya perlindungan tenaga kerja lokal.

“Kami undang semua pihak: LSM, organisasi, narasumber. Biayanya dari kami sendiri. Hasil seminar kami notulensikan, lalu kami ajukan ke DPRD dan Pemkab Gresik. Tapi ya begitu, baru tahun 2022 perda itu disahkan,” kenangnya.

Diketahui perda yang akhirnya diterbitkan tersebut adalah perda yang mengatur tentang penyerapan 60 persen tenaga kerja lokal. Salah satu regulasi yang menjadi urat nadi perlindungan tenaga kerja di kabupaten Gresik.

Akhirnya, proses panjang itu membuka mata Imam dan kawan-kawannya. Perjuangan di luar sistem hanya akan sampai di pagar. Maka dibutuhkan satu langkah strategis—masuk ke dalam sistem itu sendiri.

“Kita butuh yang duduk di legislatif, supaya aspirasi buruh tak lagi mampet di meja birokrasi,” tegasnya.

Kini, setelah berhasil masuk ke DPRD, Imam mulai menjalin komunikasi dengan banyak pihak, membangun jembatan antara serikat pekerja, masyarakat, eksekutif, dan legislatif.

“Harapan kami, masyarakat bisa merasakan kesejahteraan dari banyaknya perusahaan yang berdiri di Gresik. Tapi PR kita banyak. Eksekutif saja nggak akan kuat kerja sendiri. Maka dari itu, mari kita bergandengan tangan. Harus ada yang mulai untuk konsolidasi,” ucapnya, menatap jauh ke luar jendela.

Kini, dari kursi dewan, Imam Syaifuddin terus mengangkat suara mereka yang kerap tak terdengar “para buruh”. Dan jejak langkahnya dimulai dari tempat paling sederhana yaitu pabrik, tempat ia dulu berdiri dengan helm dan sepatu safety, menakar masa depan satu shift demi satu shift.(*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Muhammad Wildan Zaky
Editor: Andika DP


No More Posts Available.

No more pages to load.