Jejak Kecil dari Langgar Kampung ke Raudhah Cinta

oleh -499 Dilihat
MASJID NABAWI
ILUSTRASI: Masjid Nabawi Madinah (Foto Kemenag)

LANGIT Madinah hari itu berselimut lembut awan putih. Seakan turut bersiap menyambut kedatangan seorang hamba kecil dari pelosok tanah Jawa. Kesempatan istimewa dari sebuah debur tugas Media Center Haji (MCH) tahun 2013.

Dulu, anak kampung itu hanya mengenal nama Rasulullah SAW dari kitab atau buku-buku di madrasah. Juga, majelis-majelis pengajian desa. Kaset-kaset usang. Ia melangkah perlahan menuju jantung kota Nabi. Tak ada peta yang bisa menuntun hati dalam sowan semulia ini. Kecuali, getaran jiwa yang sejak lama merindukan perjumpaan.

Sejak menginjak tanah Jeddah dan langsung ditugaskan ke Makkah, aku telah larut dalam hiruk-pikuk peliputan dan membantu pelayanan jemaah haji. Debu panas, gemuruh jemaah, dan padatnya jadwal tidak menyisakan banyak ruang kontemplasi. Namun, ketika kabar datang bahwa tim kami bisa berangkat ke Madinah, hati langsung bergemuruh. Ini bukan sekadar perjalanan dinas.

Baca juga: Wukuf Arafah: Di Antara Zikir dan Napas Terakhir

Ini adalah takdir sowan, ziarah ruhani menuju keheningan makam kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Ayat ini seperti membisikkan bahwa setiap langkahku menuju makam Rasulullah bukan hanya langkah fisik. Namun, perjalanan ruhani. Menjemput rahmat. Rahmat yang selama ini hanya kukenal lewat teks dan narasi para ustad di kampung. Kini, aku akan menghirupnya langsung dari sumbernya.

Rasa Madinah begitu berbeda. Kota ini tidak bergerak tergesa seperti Makkah. Di sini, waktu seolah melambat. Hati jadi lebih ringan untuk menimbang makna.

Aku mengenakan pakaian yang diamanahkan Moh. Qosim, saat itu sebagai wakil bupati Gresik. Ia sudah seperti orang tua. Sebab, pada 2003, dialah yang ’’menikahkan’’ aku dengan mantan pacar saya asal Surabaya. Satu kampus, Unair. Baju putih dan surban yang ia titipkan bukan hanya kain. Tapi, imbol cinta dan harap agar aku membawa doa-doanya dalam sowan ini.

Aku kenakan pakaian itu dengan takzim. Ia mengikatku dengan akar-akar kampungku, dengan sejarah masa kecilku di bawah langgar kecil, tempat pertama aku mendengar nama Muhammad disebut dalam salawat. Betapa sering aku mengikuti lantunan: “Shollallahu ‘ala Muhammad, shollallahu ‘alaihi wasallam…”

Namun kini, bukan lagi dalam majelis desa aku melantunkannya. Kali ini di depan Raudhah, taman surga yang Nabi sabdakan: “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Air mata pun menetes. Ia mengalir tak diminta. Mewakili berjuta kata. Yang tak sempat kuucapkan. Aku berada di antara sekian banyak umat. Namun, aku merasa seperti sedang berdialog pribadi. Ada ruang batin yang seketika menjadi lapang. Kemudian, mendekap namaku dan nama beliau dalam cinta yang tidak pernah kukenal sebelumnya.

Baca juga: Panggilan Langit

Jika sowan ke manusia biasa adalah bentuk penghormatan, maka sowan ke Rasulullah adalah bentuk penghambaan. Ia bukan kunjungan biasa, tapi semacam kepulangan ruhani. Sebab ruh kita ini sejak azali telah bersaksi: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.'” (QS. Al-A’raf: 172)

Kesaksian itu diikat oleh Nabi. Dialah yang menjadi saksi atas saksi-saksi, pemberi syafaat, dan pembuka jalan di Padang Mahsyar nanti. Maka, berada di hadapannya adalah semacam proses mengingat janji primordial itu.

Selama di Daker Makkah, tugasku adalah mewartakan. Melaporkan pelayanan jemaah haji, menyampaikan berita baik bagi keluarga di tanah air. Tapi di Raudhah, aku menjadi jurnalis tanpa pena. Aku menjadi saksi diam. Yang mencoba menangkap makna dalam sunyi. Sebab, tak ada berita yang lebih agung daripada menyaksikan langsung tempat sujud Rasulullah. Tak ada lead yang lebih dahsyat daripada langkah pertamaku masuk ke Raudhah dengan kaki yang gemetar. Tak ada angle sepenting dan semenarik peristiwa ini.

Dan entah kenapa, saat itu aku merasa seluruh hidupku selama ini adalah perjalanan menuju titik ini. Keputusan menjadi wartawan, kesempatan perjalanan ke banyak negara, bahkan pertemuan dengan Wabup Gresik dan amanah bajunya itu, semua seperti mozaik yang dirangkai satu per satu oleh takdir, untuk menghadirkan aku di sini.

Baca juga: Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

Aku bukan orang baru dalam tradisi ziarah. Sejak dulu, aku suka berziarah ke makam para wali atau ulama-ulama Nusantara. Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Syaikhona Cholil, Habib Abu Bakar Assegaf, Gus Dur, bahkan ke beberapa makam di luar Jawa seperti Tuan Guru Sekumpul di Kalimantan. Tapi, semua itu seperti titik-titik cahaya kecil yang kini menyatu dalam terang agung di makam Rasulullah. Ziarah ke Nabi adalah titik pusatnya. Magnet cinta yang menyedot seluruh arah dan waktu.

Kata-kata tak mampu melukiskan suasana hati saat berada di sana. Bahkan diam terasa bising, sebab dalam diam itu hati seperti berdialog intens: “Ya Rasulullah, aku datang membawa rindu dari kampung halaman. Dari musala kecil yang setiap malam melantunkan namamu. Dari lisan-lisan tua yang setia bersalawat. Dari anak-anak yang bertanya siapa engkau, dan kami menjawab dengan cerita dan cinta…”

Baju putih yang aku kenakan bukan hanya amanah fisik. Tapi, jembatan batin. Ia membawa serta doa orang tua, harapan guru, dan cinta seorang sahabat yang menjadi saksi nikahku. Betapa perjalanan ini bukan tentangku seorang. Ia adalah perpanjangan dari banyak nama yang diam-diam turut serta dalam langkahku.

Dalam ziarah itu, aku seolah berkata pada Rasul: “Lihatlah ya Rasul, anak-anak kecil dari pelosok masih menyebut namamu. Kami masih mengajarkan salawat di surau-surau reyot. Kami masih mencintaimu dengan cara-cara sederhana. Maka terimalah kami, meski kami penuh dosa. Jangan sisihkan kami dari syafaatmu.”

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

***

Sowan ke Nabi bukanlah kunjungan biasa. Ia adalah peristiwa ruh yang menembus batas ruang dan waktu. Saat aku bersimpuh, aku tidak sedang berada di tahun 2013, melainkan di hadapan sosok yang hidup dalam setiap detik umatnya. Rasulullah bukan hanya sejarah, tapi napas dalam kehidupan.

Aku bayangkan Madinah sebagai taman yang ditumbuhi doa-doa umatnya. Setiap batu di Masjid Nabawi menyimpan jejak kaki para pecinta. Dan aku, salah satu dari mereka, beruntung bisa menambahkan jejak kecilku.

Saat kembali dari Madinah ke Makkah, rasanya seperti baru dilahirkan. Ada perasaan bersih dan ringan. Seolah-olah, di Raudhah aku meletakkan segala beban, dosa, dan kesedihan. Dan Kanjeng Nabi, dengan cintanya, memeluk semuanya dalam diam.

Sejak itu, setiap langkah hidup tertuntut untuk lebih hati-hati. Lebih ingin meneladani. Lebih merasa diawasi. Sebab, bagaimana mungkin kita sowan ke manusia paling agung, lalu hidup seenaknya seperti tidak pernah berjumpa? Sebagaimana sabda Nabi: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)

Baca juga: Dari Doa di Usia Senja, Sampai Tiba Undangan Langit

Ziarah itu adalah pelajaran untuk berpegang. Agar tidak hanyut dalam arus dunia. Agar setiap langkah selalu teringat bahwa kita pernah sowan. Kita pernah dipanggil untuk mendekat. Maka jangan pernah menjauh.

Ziarah ini menanamkan kesadaran. Kita bukan sekadar makhluk hidup yang mengejar dunia. Kita adalah wakil-wakil kecil dari umat Muhammad yang diberi amanah untuk menjaga cahaya warisannya. Bukan hanya oleh para ulama dan kiai, tetapi juga oleh jurnalis, pedagang, guru, buruh, petani, siapa saja yang mengaku mencintai Nabi.

Aku percaya, sowan itu tak selesai di Madinah. Ia terus berlangsung dalam hidup sehari-hari. Saat kita bersikap jujur di tengah tekanan. Saat kita bersabar di tengah lelah. Saat kita menahan amarah meski punya alasan untuk marah. Semua itu adalah sowan-sowan kecil yang menunjukkan bahwa kita benar-benar pernah berjumpa, meski hanya dengan hati.

Bagi mereka yang belum berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah, jangan merasa jauh. Rasulullah tidak mengukur cinta dari jarak. Ia melihat dari ketulusan. Sebagaimana sabdanya: “Umatku yang paling aku rindukan adalah mereka yang belum pernah melihatku, tapi mencintaiku.” (HR. Ahmad)

Maka cintai Nabi dengan semampu kita. Bersalawatlah. Teladanilah. Sebut namanya dengan lembut setiap saat. Tanamkan kisahnya dalam hati anak-anak kita. Jadikan rumah kita seperti Madinah kecil, tempat di mana sunnah beliau hidup dan berkembang.

Baca juga: Arafah: Cermin Mahsyar di Padang Waktu

Hingga kini, setiap malam ketika sunyi menyelimuti, aku kembali ke Raudhah lewat doa-doa. Di tengah kepenatan, aku memejamkan mata dan membayangkan kembali suasana itu. “Ya Rasulullah, jangan tinggalkan kami dalam gelap. Jangan biarkan kami berjalan sendiri. Bimbing kami dengan cintamu, tuntun kami dengan syafaatmu, agar kelak ketika kami sowan di alam akhir, engkau menyambut kami dengan senyum yang sama seperti saat kami menyebut namamu di dunia.”

Sowan ke Rasulullah adalah berkah yang menyisakan beban. Tapi bukan beban menekan, melainkan amanah yang memuliakan. Amanah untuk hidup lebih baik, lebih bermanfaat, lebih mencerminkan ajarannya. Ia adalah pengingat bahwa setiap kita membawa nama besar: Umat Muhammad.

Dan bila anak-anak kampungku bertanya, “Apa rasanya sowan ke Rasulullah?” Maka akan kujawab: “Rasanya seperti pulang ke rumah yang sangat kau rindukan, namun begitu engkau tiba, engkau disambut bukan dengan pertanyaan, tapi dengan pelukan. Pelukan cinta dari seseorang yang telah lama mengenalmu, bahkan sebelum engkau dilahirkan.” (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.