Jejak Luka dan Cinta di Balik Kabut Thaif

oleh -238 Dilihat
THAIF
Penulis saat berada di area pegunungan Thaif, Makkah, pada 2013 silam.

DI TENGAH riuh tugas dan rutinitas, Tuhan selalu menyisipkan jeda. Seperti angin sejuk di tengah padang tandus, aku dan beberapa sahabat dari Media Center Haji (MCH) 2013 mendapat kesempatan langka. Mengunjungi Thaif. Bukan perjalanan wisata biasa. Ini pun ziarah batin. Menapaktilasi luka dan cinta Rasulullah. Menyusuri lembah dan punggung bukit yang menyimpan tangis sekaligus keindahan.

Makkah dan Madinah ibarat dua kutub spiritual. Makkah dengan gemuruh takbir dan pusaran tawafnya. Madinah dengan sejuknya rindu serta jejak langkah Rasulullah. Tapi, Thaif adalah sajak sunyi yang mungkin terlupakan. Lembar usang dalam kitab kenabian, yang hanya dibaca oleh mereka yang mencari. Bukan hanya keagungan, melainkan juga kehalusan hati.

Dengan driver mukimin asal Madura, Lukmanul Hakim Yaqub (baca tulisan sebelumnya), perjalanan ke Thaif seperti melintasi kesadaran bertingkat. Dari dataran rendah nan gersang, kendaraan menanjak menuju pegunungan. Jalan berkelok-kelok. Menyusup bebatuan cadas yang menjulang. Namun, setiap belokan, membawa kami semakin dekat pada kesuburan yang tak terduga.

Thaif adalah taman yang tumbuh dari luka. Ia menghijau, justru karena deraian air mata. “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’: 30)

Thaif, kota yang menggantung di langit Hijaz, dikenal karena kesuburannya. Di antara keringnya tanah Arab, Thaif adalah anomali. Seperti harapan yang mekar dalam keputusasaan. Pepohonan anggur, delima, dan mawar Damaskus menyambut kami. Aroma tanah basah menguar. Di kejauhan, kabut turun perlahan, menutup puncak-puncak bukit seperti tirai gaib yang menyimpan rahasia masa lalu.

Di sinilah, lebih dari 1.400 tahun silam, Nabi Muhammad SAW berjalan kaki dari kota Makkah, ditemani Zaid bin Haritsah. Di saat Makkah menghardiknya, Thaif menjadi harapan baru. Tapi, takdir belum bersahabat. Yang didapat Rasulullah, bukan sambutan, melainkan lemparan batu. Tubuh Nabi terluka, tapi hatinya lebih berdarah.

Rasulullah SAW tak membalas. Ketika malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menghimpit Thaif dengan bukit, beliau menolak. Beliau hanya berharap bahwa dari keturunan mereka akan lahir generasi yang beriman. Beginilah cinta bekerja. Ia bukan tentang balas dendam, tapi tentang harapan yang tak pernah padam. “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebun-kebun menghampar, terasa damai. Tiba-tiba, aku membayangkan saat Rasulullah bersandar di bawah pohon anggur, saat seorang budak Kristen bernama Addas datang dan memberikan setandan buah. Sebuah pertemuan kecil, tapi sarat makna. Cinta tak selalu datang dari tempat yang sama. Kadang ia mampir dari sudut yang tak disangka.

Sepanjang perjalanan menuju Thaif, kami bukan hanya menempuh jarak puuhan kilometer. Tapi juga menelusuri kedalaman batin. Setiap tanjakan adalah pertanyaan. Setiap belokan adalah jawaban tak terucap. Angin yang berembus membawa aroma mawar dan kenangan. Kabut yang menyelimuti puncak seakan melambangkan betapa masa lalu seringkali tertutup, namun masih bisa dirasakan dengan hati.

Aku teringat sebuah hadis. “Barangsiapa berjalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Bukankah perjalanan ini adalah bentuk pencarian ilmu? Ilmu tentang kasih yang tak bersyarat. Ilmu tentang kesabaran dalam kepedihan. Ilmu tentang ketundukan pada kehendak-Nya, walaupun luka masih menganga.

Thaif menunjukkan, bahkan setandus-tandusnya gurun, kehidupan pun bisa tumbuh. Bahwa kesuburan bukan hanya tentang tanah, melainkan tentang bagaimana hati membuka diri terhadap rahmat. Hati yang luka justru bisa menjadi ladang subur. Tempat tumbuhnya pengertian, kasih sayang, dan pengampunan. “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)

Pepohonan yang tumbuh di Thaif seolah menjadi perlambang dari jiwa-jiwa yang tak menyerah. Mereka tetap berakar, menggali sumber air kehidupan dari kedalaman bumi, bukan dari permukaan. Dan barangkali begitu juga yang dilakukan jiwa Rasulullah kala itu. Tak tampak bahagia di luar, tapi dalam dirinya telah tumbuh taman iman yang luas.

Ketika senja mulai menjelang, matahari merunduk malu di balik bukit. Thaif berubah warna. Dari hijau menjadi jingga, dari terang menjadi temaram. Suasana syahdu membungkus kota ini seperti selimut cinta. Kami terus menyusuri jalan dalam diam, merenung, memikirkan betapa seringkali kita mengutuk luka. Padahal, justru dari situlah keindahan bisa tumbuh.

Dari perjalanan Thaif, saya tersadar bahwa cinta sejati bukanlah yang langsung disambut, tapi yang diuji. Dan, Thaif adalah ujian cinta terbesar Rasulullah kepada umatnya. Dari luka Thaif, lahir pengampunan. Dari penolakan, lahir harapan.

Di deretan penjual buah di Thaif, kami memberhentikan langkah. Suara sunyi para pedagang seolah terus memanggil. Tiba-tiba mataku melirik ke deretan buah ini: Delima. Saya teringat dulu saat kecil di kampung. Ada banyak pohon itu tumbuh. Yang kini praktis tidak lagi mudah dijumpai. Tergerus beton-beton zaman dan keangkuhan.

Delima ini bukan sekadar buah. Ia adalah puisi yang disimpan alam dalam daging. Dongeng dalam tetes sari, dan doa dalam benih-benih mungilnya. Saat jemariku memegangnya, terasa seperti menggenggam bulatan kecil semesta. Bulat, utuh, merah marun bagai darah cinta pertama yang tak pernah pudar.

Aku pun membelinya hanya beberapa buah saja. Tak dengan rencana. Tapi, mungkin semesta sudah menuliskan satu hal. Bahwa, buah ini bukan untukku semata. Ia adalah titipan, pesan yang dititipkan alam dari langit Thaif untuk seseorang di rumah yang jiwanya sedang menunggu pelipur.

Sesampai aku di rumah, wajah istriku menyambut dengan senyum, yang telah melewati banyak musim. Dan, saat buah itu kutaruh di atas meja, matanya berubah mengembang. “Delima dari Thaif?” tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, tiba-tiba, senyum itu mekar penuh, seolah seluruh kebun surga berpindah ke ruang makan kami.

Ia memecah kulitnya dengan hati-hati. Seperti membuka lembaran surat yang lama disimpan. Mutiara merah itu menyemburat dari dalam, berkilau bagai rindu yang selama ini tersembunyi dalam diam. Ia mencicipinya perlahan. Aku tahu, bukan hanya rasa yang direguknya. Tapi, ingatan, cinta, dan sebuah rasa pulang yang tak bisa dijelaskan kata.

Dalam biji-biji kecil itu, aku melihat refleksi rumah tangga kami. Terkadang keras di luar, tapi penuh manis di dalam. Tak mudah dibuka, tapi jika sabar, akan kita temukan kemewahan rasa yang tak bisa dibeli, hanya bisa dihargai.

Delima itu menjadi saksi bahwa cinta tak selalu datang dalam bentuk peluk atau kata manis. Kadang, ia menjelma dalam sesuatu yang sederhana. Buah dari tanah suci, dibawa dengan niat baik, diterima dengan hati yang ikhlas. Seperti hidup, seperti pernikahan, delima ini mengajarkan bahwa keindahan sesungguhnya ada di balik upaya. Di dalam kesungguhan, dan di dasar ketulusan.

Dalam perjalanan kembali ke Makkah, hati kami tak lagi sama. Kami membawa serta serpihan kebun, kabut, dan kesuburan Thaif ke dalam dada. Ia tak tampak, tapi terasa. Ia tak berbentuk, tapi membentuk. Seperti kata Ibn ‘Athaillah dalam Al-Hikam. “Tidaklah Dia membukakan bagimu satu pintu ketaatan melainkan telah Dia bukakan pula untukmu satu pintu kedekatan.”

Kunjungan ke Thaif bukan hanya pelesiran. Ia sebuah perjalanan menuju diri sendiri. Tamasya batin yang mengajarkan bahwa dalam luka, ada rahmat. Dalam kehinaan, ada cinta. Dan dalam debu jalanan yang panas, tersembunyi kesejukan surgawi.

Kini, setiap kali mendengar nama Thaif, bukan hanya keindahan kebun-kebunnya yang terlintas. Tapi wajah Rasulullah SAW yang berdarah, doa beliau yang menggema di langit Thaif, dan harapannya pada  umat yang belum dilahirkan. Sungguh aku bersyukur pernah menjejak tanahnya. Bukan cuma karena keindahan alamnya, melainkan karena aku melihat, meski hanya sejenak, bagaimana cinta Ilahi bekerja dalam bentuk yang paling menyentuh. Kesabaran dan pengampunan.

Maka, jika suatu hari hatimu merasa luka, ingatlah Thaif. Kota yang pernah menolak Nabi, tapi kini dikenang karena keindahan dan pelajaran yang diberikannya. Seperti hatimu, yang suatu hari akan menyubur kembali, jika kau rawat dengan sabar dan cinta. Thaif bukan sekadar lembaran kota. Ia adalah cermin. Tempat kita melihat betapa tetap mulianya luka yang dipersembahkan kepada Tuhan. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.