KabarBaik.co- Sebuah peristiwa langka sekaligus mengharukan terjadi di sekitar Masjidil Haram, Makkah, Jumat (21/6) lalu. Di tengah lautan jemaah yang sedang berhaji. Sekitar pukul 09.21 WAS, seorang jemaah haji asal Indonesia, melahirkan bayi di pelataran tanah suci itu. Momen tak biasa ini dilaporkan media internasional Gulf News.
Kejadian itu, langsung dilaporkan ke tim medis dari Otoritas Bulan Sabit Merah Saudi (Saudi Red Crescent Authority). Panggilan darurat itu direspons cepat. Dengan keterampilan tinggi, mereka melakukan proses persalinan di tempat. Sang ibu dan bayinya pun selamat dan segera dibawa ke rumah sakit (RS) terdekat. Keduanya kini dilaporkan dalam kondisi stabil.
Sayang, tidak ada laporan dari embarkasi mana jemaah bersangkutan. Yang pasti, Otoritas Arab Saudi terus mendorong jemaah agar memanfaatkan sistem darurat seperti aplikasi “Asefne”, fitur darurat di “Tawakkalna”, dan nomor hotline 997 untuk respons cepat jika kondisi gawat terjadi. Dalam kasus ini, sistem itu terbukti menyelamatkan dua nyawa dalam waktu singkat.
Informasinya, saat kejadian banyak jemaah yang berada di sekitar lokasi. Mereka pun sempat ikut panik, sebelum akhirnya menangis haru setelah berhasil tertangani tim media tersebut. Sejumlah jemaah pun turut melantunkan doa-doa.
Kendati demikian, dari peristiwa itu juga menyisakan pertanyaan penting. Sebetulnya, bolehkah jemaah haji dalam kondisi hamil ikut serta dalam ibadah ini? Jawabannya boleh. Tetapi dengan syarat dan ketentuan medis yang sangat ketat. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan pedoman resmi tentang keikutsertaan jemaah wanita hamil dalam ibadah haji.
Aturan tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Menkes Nomor 458 Tahun 2000 yang masih berlaku hingga kini. Dalam beleid itu disebutkan, wanita hamil diperbolehkan berangkat jika usia kehamilan antara 14 hingga 26 minggu (sekitar 3,5 hingga 6,5 bulan), dan tidak termasuk kehamilan dengan risiko tinggi. Trimester kedua kehamilan dinilai sebagai masa paling aman untuk melakukan perjalanan jauh, termasuk ibadah haji.
Selain batas usia kehamilan, sejumlah persyaratan lain juga wajib dipenuhi:
- Calon jemaah hamil wajib menjalani pemeriksaan medis menyeluruh mulai dari tingkat puskesmas, rumah sakit, hingga tahap akhir di embarkasi.
- Harus menandatangani surat pernyataan kesanggupan menanggung segala risiko termasuk biaya persalinan dan tiket pesawat bagi bayi jika melahirkan di tanah suci.
- Wajib mendapatkan vaksinasi meningitis serta pemeriksaan tambahan terkait kondisi kandungan.
- Harus dinyatakan layak secara medis oleh tim kesehatan haji dan tidak mengalami komplikasi yang dapat membahayakan keselamatan ibu maupun janin.
Jika usia kandungan saat keberangkatan kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu, maka jemaah tersebut dianggap tidak memenuhi syarat istitha’ah kesehatan, dan keberangkatannya akan ditunda ke tahun berikutnya.
Kejadian melahirkannya jemaah haji Indonesia di Masjidil Haram menjadi semacam pengingat akan pentingnya pemeriksaan dan edukasi kesehatan sebelum berhaji. Meski peristiwa ini penuh nuansa spiritual dan menyentuh, risiko yang menyertainya tetap nyata. Ibadah haji bukan sekadar ibadah batiniah, melainkan juga fisik yang melelahkan. Terutama di tengah suhu ekstrem dan kerumunan jutaan orang.
Kini, bayi yang lahir di pelataran Baitullah itu tak hanya menjadi bagian dari sejarah keluarga, tapi juga dari sejarah ibadah haji Indonesia di tahun 2025. Di balik kebahagiaan itu, masyarakat diingatkan untuk memahami bahwa keputusan berangkat haji dalam kondisi hamil harus dilandasi pertimbangan medis dan spiritual yang seimbang. Pasalnya, keselamatan ibu dan bayi adalah bagian penting dari kesempurnaan ibadah. (*)