Kamar Barokah: Ruang Sunyi di Balik Riuh Berhaji

oleh -766 Dilihat
KAMAR BAROKAH
ILUSTRASI: Sebua kamar hotel di Makkah, tempat tidur para jemaah.. (Foto website Kemenag)

ADA satu waktu yang tak tercatat di jadwal resmi haji. Tak tercetak dalam buku manasik, namun membekas dalam jiwa sebagai salah satu pengalaman paling manusiawi sekaligus spiritual yang saya dengar di Tanah Suci. Kala itu, setelah puncak ritual ibadah haji dilewati dengan peluh, air mata, dan lelah yang meluruhkan keegoan, saya mendengar sebuah istilah yang unik: Kamar barokah.

Tak ada petunjuk resmi soal kamar ini. Ia tidak masuk dalam struktur pemondokan maktab. Tidak tertera dalam brosur travel atau KBIH. Namun, ia hidup dalam bisik-bisik sesama jemaah. Terutama pasangan suami istri (pasutri) yang telah menyelesaikan tahalul kedua, dan yang mungkin untuk kali pertama sejak memasuki ihram, bisa saling merengkuh dalam kehalalan yang penuh berkah.

Tanggal 10 Dzulhijjah. Hari Nahr. Hari penyembelihan. Tapi juga hari kelahiran kembali bagi jiwa yang telah melewati ritual-ritual berat. Wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melontar jumrah di Mina. Sebuah hari yang menjadi batas antara kesucian dan kebebasan, antara kekangan syariat dan kelapangan kasih yang diridhai Allah.

Baca juga: Wukuf Arafah: Di Antara Zikir dan Napas Terakhir

Saya sendiri, sebagai bagian dari Media Center Haji (MCH) tahun 2013, bukan hanya menjadi saksi. Namun, juga saksi rasa dari hiruk-pikuk spiritual ini. Setelah lontar Jumrah Aqabah pagi itu di Mina, lalu kembali ke Makkah untuk melaksanakan Tawaf Ifadhah dan Sa’i, tubuh kami terasa remuk, tapi jiwa kami seakan disiram embun kesegaran.

Saat itulah, para jemaah semua melepas pakaian ihram. Tidak lagi mengenakan dua helai kain putih tak berjahit. Kembali menjadi manusia biasa, mengenakan pakaian berjahit, memakai parfum, dan berjalan bukan sekadar untuk ibadah, tapi juga untuk hidup.

Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah manasik kalian dariku.” (HR. Ahmad, Muslim)

Dan manasik itu telah diambil. Dalam bentuk yang paling tulus, paling manusiawi. Usai tahalul kedua, larangan ihram seluruhnya dicabut. Termasuk larangan untuk menyentuh istri. Dan, di sinilah metafora itu tumbuh. Tentang keintiman yang menjadi sakral, karena dibingkai oleh ibadah yang mendalam.

Kamar barokah. Sebuah ruang di hotel-hotel Makkah, yang untuk sementara disulap menjadi tempat pertemuan suci dua insan yang telah melewati padang pasir spiritual bernama haji. Bukan kamar mewah pengantin. Tak selalu ada aroma mawar atau musik lembut. Tapi, di sanalah, dua tubuh yang menahan rindu di bawah terik Mina dan dinginnya Muzdalifah, akhirnya kembali menyatu dalam pelukan halal.

Kamar barokah bukan ruang permanen, melainkan kesepakatan sunyi yang tumbuh dari kepedulian sesama. Kadang ia hadir dalam bentuk satu kamar yang disediakan secara khusus oleh pengelola hotel dengan catatan: “Untuk pasangan halal.”

Baca juga: Arafah: Cermin Mahsyar di Padang Waktu

Kadang ia tumbuh dari pengertian diam-diam antar jemaah. Saling membagi waktu dan ruang. Memberikan sepotong waktu bagi sepasang pasutri untuk menambal jarak yang terentang oleh batas-batas umum maktab jemaah.

Istilah kamar barokah bukan eufemisme cabul. Ia adalah puisi sunyi dari cinta yang sabar. Ia bukan sekadar tempat tidur, tapi altar cinta halal yang menegaskan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga cinta di antara dua insan.

Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Ayat ini, dalam konteks kamar barokah, menjadi seperti untaian makna yang menemukan peristiwa nyatanya. Setelah ketegangan spiritual yang menuntut pengorbanan lahir dan batin, hubungan suami istri bukan sekadar pemenuhan biologis, tapi justru puncak keharmonisan fitrah manusia.

Kisah kamar barokah bukan kisah yang bisa ditulis dalam laporan jurnalistik biasa. Ia tersembunyi di balik lapisan kelelahan dan kesabaran. Saya menyaksikan pasangan-pasangan yang sejak dari Madinah hingga Arafah, tidur dalam tenda, berjalan terpisah karena adab ihram, memendam rindu dalam takbir dan doa.

Baca juga: Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

Bayangkan dua insan pasutri yang saling mencintai, diuji dengan jarak dan larangan. Bukan karena konflik, tapi karena taat. Dalam setiap mata mereka terlihat cinta yang sabar, yang tahu waktunya belum tiba. Lalu malam itu, ketika semua larangan telah gugur oleh tahalul kedua, mereka masuk ke kamar yang mungkin sempit itu, namun dunia seakan meluas dalam kehangatan halal.

Saya ingat seorang bapak bertanya pelan ketika berbagi rokok pagi di dekat Masjidil Haram. ‘’Apakah Anda berhaji dengan istri atau sendiri?’’ Akupun menjawab sendiri. Lalu, ia pun menimpali. “Saya bersama istri. Saya mencintai istri saya lebih dari sebelumnya setelah haji ini. Karena kami belajar menunda, menahan, dan bersyukur.”

Setiap lemparan batu ke Jumrah Aqabah adalah lambang perlawanan terhadap syahwat yang merusak. Namun, syahwat yang dibingkai syariat tidak pernah haram. Ia hanya ditunda. Dikelola. Diresapi. Dan saat waktunya tiba, ia menjadi ladang pahala.

Baca juga: Dari Doa di Usia Senja, Sampai Tiba Undangan Langit

Kamar barokah menjadi simbol bahwa cinta tak harus selalu ditunjukkan dalam pelukan. Ia bisa disublimasi dalam sabar. Dan saat sabar itu berbuah, maka cinta menjadi suci, tak sekadar nafsu. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Dan dalam hubungan suami istri kalian terdapat sedekah.” (HR. Muslim)

Hadis ini sering kali luput dimaknai secara mendalam. Tapi dalam konteks kamar barokah, hubungan suami istri setelah haji menjadi semacam ekspresi spiritual yang menyatu dengan nilai-nilai Islam: sabar, halal, dan penuh kasih.

Namun, malam tak selalu milik cinta. Setelah pengalaman kamar barokah, jamaah harus kembali ke Mina. Mabit. Melontar lagi. Melanjutkan hari-hari tasyrik pada 11 dan 12 Dzulhijjah.

Inilah simbol bahwa cinta dalam Islam tidak boleh membuat kita lupa pada tugas. Bahwa keintiman itu sah, tapi tidak boleh menunda tanggung jawab. Maka, setelah kamar barokah menyapa dengan hangatnya, jemaah kembali membasuh wajah dengan tekad melontar lagi, bermalam di tenda lagi, merendahkan hati lagi. Inilah keindahan manasik. Ia mendidik tubuh, tapi juga mendidik cinta.

Saya duduk di balik tenda maktab pada malam kedua hari tasyrik, mendengarkan jemaah bercerita tentang pernikahan mereka. Ada yang baru menikah, ada yang sudah tiga puluh tahun. Ada yang sedang berjuang dalam rumah tangga, ada pula yang makin kuat. Mereka rata-rata berkata hal yang sama. Bahwa, haji mengajarkan mereka mencintai dengan cara yang benar.

Baca juga: Keberkahan KabarBaik.co: Amanah Tanah Suci di Usia Belia

Haji membuat cinta menjadi ibadah. Kamar barokah, pada akhirnya, hanyalah simbol. Yang sejati adalah niat dan sabar yang mengalir selama perjalanan panjang itu. Ketika tubuh lelah dan doa dipanjatkan bukan hanya untuk diri, tapi juga untuk pasangan.

Kamar barokah bisa jadi hanya berukuran 3×4 meter. Tapi di dalamnya terkandung ruang spiritual seluas langit, tempat cinta, syariat, dan ibadah bertemu dalam satu titik terang. Kamar barokah adalah perayaan kesucian cinta yang dijaga, disabarkan, dan akhirnya dilepaskan di tempat paling suci.

Dan mungkin, bagi para jemaah yang mengalami malam itu, kamar barokah bukan hanya soal hubungan fisik. Tapi tentang kelegaan setelah perjuangan, tentang halal setelah larangan, dan tentang cinta yang kembali dalam dekapan yang diridhai.

Allah berfirman: “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32).

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Di Tanah Suci, segala hal terasa sakral. Bahkan kamar kecil tempat dua manusia saling mencintai pun bisa menjadi bagian dari ritual jiwa. Karena barokah itu bukan tentang tempat, tapi tentang niat, syariat, dan cinta yang dilandasi taqwa.

Dan pada malam itulah, saya memahami bahwa berhaji bukan sekadar rukun Islam kelima. Tapi jalan pulang bagi cinta yang pernah ditunda, untuk kembali halal, suci, dan bermakna. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.