Keajaiban di Tengah Atlantik: Negeri Seluas Kota Pekalongan Itu Lolos Piala Dunia 2026

oleh -119 Dilihat
CABO VERDE
Para skuad Timnas Tanjung Verde meluapkan kegembiraan usai menang dan lolos Piala Dunia 2026. (Foto IG)

KabarBaik.co- Angin Atlantik masih menggigit kulit. Tapi, tak ada yang peduli. Di sebuah kepulauan yang luasnya cuma 4.033 kilometer persegi dan penduduknya hanya 527 ribu jiwa, telah mencatatkan sejarah. Lolos ke Piala Dunia 2026. Tanjung Verde atau Cabo Verde, nama negara itu. Jumlah penduduknya hampir sama dengan jumlah warga Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Tanjung Verde, negara yang baru saja menulis dongeng yang tak pernah berani ditulis siapa pun. Satu dari 32 negara yang per 17 November 2025 sudah memastikan diri lolos ke World Cup 2026  Bendera merah-putih-biru-kuning berkibar liar di atas Estadio Nacional, yang hanya berkapasitas 15 ribu penonton. Namun, malam itu terasa seperti seluruh samudra ikut menjerit.

Bayangkan saja, Anda berdiri di ujung dermaga Mindelo, pulau Sao Vicente. Di depan Anda hanya lautan tak bertepi, di belakang Anda hanya gunung batu dan rumah-rumah berwarna pastel. Di negeri ini, Anda bisa mengendarai mobil dari ujung ke ujung negara hanya dalam waktu kurang dari dua jam jika feri antar-pulau beroperasi tepat waktu.

Jumlah kepala keluarga (KK) cuma 155 ribu. Angka ini mungkin lebih sedikit dari penonton yang pernah memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta dalam satu malam sebuah laga final timnas.

Liga domestik di Tanjung Verde hanya punya 12 klub. Banyak pemainnya pagi hari masih menarik jaring ikan atau menjemur kopra, sore hari baru latihan bola di lapangan berbatu. Tapi, malam itu, negeri seukuran Kota Pekalongan itu mengalahkan Kamerun, menggigit Angola, dan membuat seluruh Afrika terdiam.

Mereka menyebut diri Blue Sharks, hiu biru. Bukan karena ganas. Tapi karena mereka lahir dari laut yang sama, yang pernah menelan kapal-kapal budak berabad lampau. Lebih dari separo skuad tak pernah menginjak tanah Cabo Verde sampai dewasa. Ryan Mendes lahir di Prancis, Garry Rodrigues di Rotterdam, Jamiro Monteiro di Belanda, Roberto “Pico” Lopes di Dublin, beberapa contoh pemain diaspora yang kemudian memilih pulang membela tanah leluhur.

Mereka adalah anak-cucu dari orang-orang yang dulu dipaksa pergi. Kini, pulang membawa paspor Eropa. Sepatu mahal dan mimpi yang terlalu besar untuk pulau sekecil itu. Ketika Ryan Mendes mencetak gol kemenangan tandang ke Angola, dia berlari ke sudut lapangan, mencium lambang burung camar di dada, lalu menunjuk langit. Katanya, untuk neneknya yang tak pernah melihat dia bermain bola di televisi.

Di Praia, ibu kota yang hanya punya satu stadion layak internasional, 15 ribu penonton atau hampir tiga persen dari total penduduk negara, datang dengan perahu, pesawat kecil, bahkan berenang jika perlu. Ketika wasit meniup peluit akhir melawan Eswatini (3-0, gol dicetak Dailon Livramento, Willy Semedo, dan Stopira), layar skor di stadion menunjukkan hasil simultan: Kamerun 0-0 Angola. Lolos. Satu detik hening, lalu seperti gunung meletus.

Presiden Jose Maria Neves turun dari tribun VIP, melepas jas, dan ikut menari morna bersama pemain di tengah lapangan. Dalam kerumunan yang menggelegar itu, banyak yang menyebut malam itu sebagai “semacam kemerdekaan kedua” bagi Cabo Verde.

Di luar stadion, jalanan macet total. Anak kecil naik ke atap mobil, bapak-bapak dan perempuan tua menangis sambil memegang bendera, pemuda menyalakan flare biru di tengah hujan gerimis. Musik morna Cesaria Evora bercampur dentuman hip-hop saudara Dailon Livramento yang mencetak gol pertama malam itu.

Sementara itu, di Indonesia yang punya 278 juta jiwa atau 528 kali lebih banyak dari Cabo Verde,  kita masih menanti tiket pertama ke Piala Dunia. Kita punya 17 ribu pulau, ribuan klub, jutaan anak yang menendang bola di sawah dan pantai. Tapi, malam itu, sebuah kota batik di Pantai Utara Jawa, Pekalongan, tiba-tiba punya kembaran di tengah Atlantik yang akan bermain melawan Brasil, Argentina, Prancis tahun depan.

Tanjung atau Cabo Verde membuktikan bahwa sepak bola bukan soal berapa banyak orang yang merka punya. Tapi, seberapa dalam lautan yang dibawa di dada. Mereka tak punya akademi megah, tak punya liga yang disiarkan televisi nasional tiap pekan, tapi mereka punya hati yang lebih luas dari samudera yang mengelilingi pulau-pulau mereka.

Ketika bola pertama Piala Dunia 2026 digulirkan di Amerika, dunia akan mendengar sorak sorai dari sepuluh pulau kecil yang terpencar di tengah Atlantik. Sorak sorai yang terdengar seperti badai yang lahir dari setetes air, seperti gelombang yang pergi jauh lalu kembali menghantam karang dengan kekuatan yang tak pernah diduga siapa pun.

Blue Sharks datang. Dan, mereka datang bukan untuk numpang lewat. Mereka datang untuk menggigit sejarah, lalu meninggalkan bekas yang tak akan pernah hilang di pantai waktu. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.