TEMUAN mengejutkan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini kembali membuka borok lama. Sebanyak 27.932 pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terindikasi menerima bantuan sosial (Bansos). Tidak hanya itu, ada ribuan dokter serta eksekutif dan manajer yang juga tercatat sebagai penerima bansos.
Sungguh ironis! Bantuan yang seharusnya menjadi hak mutlak masyarakat miskin justru mendarat di tangan mereka yang secara finansial lebih dari cukup.
Temuan ini bukan hanya sekadar anomali. Tapi, cerminan nyata dari rapuhnya sistem pendataan. Mengapa hal ini bisa terjadi berulang kali? Bukankah Kementerian Sosial (Kemensos) memiliki sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang memadai untuk melakukan pendataan yang akurat? Demikian juga dan Badan Pusat Statistik (BPS)?
Masalah ini adalah kegagalan sistemik yang terstruktur dan terulang. Data yang seharusnya menjadi fondasi program bansos justru menjadi lubang besar yang menggerogoti efektivitas dan kepercayaan publik.
Selama ini, diakui atau tidak, pendataan yang dilakukan masih terbilang sporadis. Belum bahkan tidak terintegrasi. Data dari BPS, Kemensos, dan berbagai lembaga lainnya tidak sinkron. Alhasil, satu orang bisa terdaftar di berbagai program bansos, sementara yang benar-benar membutuhkan malah kerap luput.
Temuan PPATK, yang menunjukkan ada 56 rekening penerima bansos memiliki saldo di bank lebih dari Rp 50 juta, membuktikan betapa lemahnya proses verifikasi. Verifikasi lapangan yang digembar-gemborkan selama ini, terbukti tidak berjalan optimal. Omon-omon.
Dengan data yang tidak valid, celah untuk penyimpangan dan penyalahgunaan sangat terbuka. Bantuan yang seharusnya sampai ke tangan rakyat miskin bisa dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Jika temuan PPATK ini tidak menjadi momentum untuk perombakan total, maka masalah ini akan terus berulang. Kemensos, BPS atau lembaga terkait lainnya tidak bisa lagi berkelit. Mereka harus bertanggung jawab dan memimpin perubahan mendasar.
Langkah-langkah yang harus diambil, antara lain, Pemerintah harus segera membentuk satu basis data terpadu yang memuat seluruh informasi penerima bansos dari berbagai sumber. Data ini harus diperbarui secara berkala dan bisa diakses oleh seluruh kementerian/lembaga terkait. Lalu, lakukan verifikasi ketat berbasis digital. Proses verifikasi tidak boleh lagi hanya mengandalkan survei lapangan yang rentan.
Verifikasi harus didukung teknologi seperti integrasi dengan data kependudukan (KTP elektronik), data perbankan, dan data ketenagakerjaan untuk memastikan penerima bansos adalah mereka yang berhak.
Kemudian, transparansi dan pengawasan publik. Pemerintah harus membuka data penerima bansos kepada publik, tentu dengan tetap memperhatikan kerahasiaan data pribadi. Masyarakat bisa ikut serta mengawasi dan melaporkan jika ada penerima yang tidak layak.
Siapa sebenarnya yang salah dalam karut marut data itu? Mungkin kita bisa menunjuk jari ke sana kemari, menyalahkan birokrasi yang lamban, anggaran yang tidak tepat sasaran, atau bahkan oknum-oknum yang memanfaatkan celah ini. Namun, pada akhirnya, tanggung jawab terbesar sepertinya berada di pundak Kemensos dan BPS.
Sebagai dua lembaga yang memiliki mandat utama dalam pendataan dan penyaluran bansos, mereka terbukti gagal menjalankan tugasnya. Pertanyaannya sekarang, akankah temuan ini hanya menjadi berita hangat sesaat dan tenggelam di tengah hiruk-pikuk isu lainnya? Atau, akankah pemerintah menjadikan momentum ini untuk berbenah, melakukan perombakan serius, dan mengembalikan hak-hak warga miskin yang selama ini—sedikit atau banyak—telah dicuri secara sistemik? (*)