KabarBaik.co – Harapan petani tembakau di Bojonegoro kembali pupus. Musim kemarau yang seharusnya menjadi waktu emas untuk menanam tembakau justru berubah menjadi kemarau basah.
Kemarau basah membuat hujan turun di tengah musim kering. Kondisi ini membuat kualitas tembakau menurun drastis, bahkan sebagian tanaman mati.
Sholikun, petani tembakau asal Desa Simorejo, Kanor, mengaku resah dengan cuaca yang tidak menentu. Hujan deras yang mengguyur Bojonegoro pada 19–20 Agustus kemarin menyebabkan banyak tanaman rusak, termasuk tembakau rajang kering.
“Petik daun pertama masih laku Rp 40 ribu per kilo, lalu petik kedua dan ketiga sempat naik Rp 45 ribu. Tapi setelah hujan, harganya langsung turun jadi Rp 35 ribu,” keluh Sholikun, Selasa (26/8).
Selain harga yang anjlok, hujan deras juga menyebabkan sekitar 30 persen tanaman tembakau di desanya mati. Genangan air yang bertahan hingga dua hari membuat batang tembakau busuk dan gagal tumbuh.
“Tahun ini memang sulit, sejak awal sering hujan. Jadi sering gagal tumbuh,” tambahnya.
Fenomena kemarau basah membuat kelembapan udara lebih tinggi dari biasanya. Akibatnya, proses pengeringan daun tembakau terganggu. Daun yang seharusnya berwarna cerah berubah kusam, bahkan beberapa pabrik sempat menghentikan pembelian sementara.
Tak hanya petani tembakau, petani padi di bantaran Bengawan Solo juga mulai khawatir. Mereka cemas cuaca ekstrem akan membuat harga gabah basah anjlok saat panen raya bulan depan.
Menurut data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro, hujan yang masih sering turun di tengah musim kemarau menjadi penyebab utama kegagalan panen tembakau. Tanaman yang membutuhkan sinar matahari penuh justru terendam air, sehingga akar membusuk dan pertumbuhan daun tidak maksimal.
“Kami sudah mensosialisasikan potensi kemarau basah di tahun 2025 ini. Musim kemarau saat ini menjadi tantangan bagi petani tembakau yang tanamannya sangat sensitif terhadap air hujan,” ujar Kepala Bidang Sumber Daya Manusia dan Pembiayaan DKPP Bojonegoro,
Zainul Ma’arif. (*)