KabarBaik.co – Nur Fitriana sudah dua tahun berjualan nasi jagung, nasi campur, hingga rawon di rumahnya di Jalan Harun Tohir nomor 85, Kecamatan Gresik. Namun penghasilan tak menentu, kadang Rp 150 ribu saat ramai, kadang hanya Rp 30 ribu saat sepi, membuat perempuan ini harus memutar otak demi membiayai tiga anaknya.
“Untuk menghidupi anak itu ya saya puter-puter karena gak cukup. Kadang pinjam dari bank titil, namanya juga menyekolahkan anak juga. Jadi untuk renovasi perbaikan rumah ini saya kesulitan. Ijazah anak saya yang pertama saja masih ditahan. Kalau mau ambil harus melunasi dulu,” kata Fitriana, sambil meneteskan air mata, Selasa (26/8).
Anak sulungnya sudah bekerja serabutan, anak kedua duduk di kelas tiga SMK, dan bungsunya kelas dua SMK. Suaminya sekarang hanya kuli panggul, bekerja jika ada panggilan di pelabuhan.
Dalam kondisi ekonomi pas-pasan itu, Fitriana tak mampu memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya yang berdinding kayu dan triplek. Atap genteng bocor di hampir semua bagian, lantai rompal akibat banjir rob, dan sinar matahari masuk dari celah-celah lubang.
“Kalau hujan harus siap tadahan. Kalau panas juga kepanasan, pasti. Sinar matahari masuk karena lobang,” ujarnya.

Meski rumahnya hanya berukuran 5 x 3,5 meter, ia menyekat dengan triplek menjadi tiga kamar agar anak-anaknya yang sudah besar bisa tidur terpisah. Namun rumah sederhana itu belum pernah tersentuh program renovasi bedah rumah.
“Ndak pernah ada. Padahal saya itu sudah bilang pak RT, dan pak RT nya bilang ya nanti kalau ada bedah rumah. Ternyata yang dibedah rumah justru tetangga-tetangga saya. Lalu saya ajukan lagi, padahal rumah saya ada petok D. Rumah saya itu resmi. Bukan PJKA. Bangunan saya juga gak besar kok. Cuma 5 meter x 3 meter setengah,” kata Fitriana.
Tangis IRT Temui Ketua DPRD Gresik, Rumah Tak Layak Belum Tersentuh Program Renovasi
Pengalaman pahit serupa pernah ia alami saat pengajuan pembuatan sapiteng pada 2019. Meski menyerahkan persyaratan ia serahkan pertama kali, justru rumahnya terlewat.
“Saya datang ke pak lurah, saya bilang gimana ini pak saya ini sudah menyerahkan persyaratan pertama kali, kok ternyata rumah saya gak dibangun. Lalu dibangun ala kadarnya sapiteng milik saya. Itu kalau saya gak marah, gak dibangun. Padahal saya itu butuh sekali,” ucapnya sambil menangis.
Frustrasi dengan birokrasi RT hingga kelurahan yang dianggapnya tidak memberi solusi, Fitriana nekat mengadu lebih jauh. Ia pernah memviralkan keluhannya di media sosial, namun diminta lurah untuk menghapus unggahan.
Dari kecamatan, ia diarahkan ke anggota dewan. Berbekal tekad, ia berhasil menemui Ketua DPRD Gresik, M. Syahrul Munir.
Di ruang pertemuan, Fitriana menyampaikan langsung keluhannya. “Saya curhat. Disitu gak ada yang mendampingi saya. Gak ada sama sekali. Karena saya sudah tekat, mangkelnya saya meluap-luap. Disitu pak ketua memberikan respon, dengan dilihat-lihat rumah saya, rumah saya juga resmi, terus katanya pak ketua nanti pasti akan saya realisasikan. Ibu pasti dapat dharma. Ibu tunggu saja. Ibu kan sudah dapat wa saya, ibu langsung saya wa kalau sudah cair bedah rumahnya,” ceritanya.
Bagi Fitriana, pertemuan itu memberi secercah harapan. “Saya senang sekali karena omongan orang kecil ini didengar. Responnya sangat baik kepada saya,” pungkasnya.(*)