OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 momentum penting sekaligus bersejarah dalam demokrasi Indonesia. Penting karena melalui pilkada masyarakat menjatuhkan calon pemimpin di daerah masing-masing. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ketepatan dalam memilih pemimpin, berimbas pada harapan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula sebaliknya.
Pilkada 2024 bersejarah karena melibatkan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia. Baru kali pertama sejak Republik ini menggelar pilkada langsung. Bersejarah pula jumlah kebutuhan anggaran untuk menyelenggarakan hajatan tersebut. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), alokasi anggaran pelaksanaan Pilkada 2024 dari APBN mencapai Rp 71,1 triliun. Angka ini belum ditambah dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota.
Karena penting dan bersejarah tersebut, maka Pilkada 2024 mesti mendapat atensi lebih. Salah satunya melakukan antisipasi dini tentang potensi kerawanan atau konflik yang kemungkinan terjadi. Terlebih, sejumlah pihak menyebut potensi kerawanan pilkada lebih tinggi daripada Pileg maupun Pilpres. Sebab, kandidat biasanya dari daerah setempat sehingga memiliki keterlibatan langsung dan kedekatan lebih besar dengan masyarakat setempat. Tarikan dukung-mendukung pun menjadi lebih kuat.
Nah, mitigasi keterbukaan informasi publik (KIP) menjadi salah satu faktor kunci. KIP menjadi krusial untuk membangun kepercayaan publik, meningkatkan tingkat partisipasi, hingga memastikan proses Pilkada itu benar-benar berkualitas dan akuntabel. Meminimalkan risiko terjadinya gesekan-gesekan akibat informasi seputar aturan-aturan terkait semua hal tentang Pilkada tidak benderang.
Dalam praktiknya, sejauh ini masih terdapat beberapa kendala dalam memastikan KIP dalam setiap gelaran pemilu dan pemilihan. Badan publik belum optimal dalam pengejawantahan keterbukaan informasi. Justru, kalah riuh dengan informasi-informasi gelap yang terkadang sengaja bernuansa framing. Hal ini yang kemudian berpotensi dapat menimbulkan kerawanan, keraguan dan spekulasi sehingga berpotensi mengganggu kelancaran dan kredibilitas pemilu dan pemilihan.
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) juga menyoroti tingkat kerawanan yang lebih tinggi pada pilkada serentak 2024 dibandingkan Pemilu 2024. Salah satunya disebut karena persaingan yang intens antarcalon kepala daerah. Dari identifikasi Bawaslu, setidaknya ada 1.952 kerawanan yang mesti diantisipasi. Jumlah tersebut masih berupa perkiraan, yang dapat lebih tinggi lagi potensinya di lapangan.
Diperkirakan masa kampanye Pilkada serentak 2024 merupakan periode yang memiliki kerawanan tinggi berdasarkan data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Terutama dalam konteks sosial politik dan penyelenggaraannya di setiap tahapan. Terhadap potensi banyaknya kerawanan itu, Bawaslu menekankan tentang pentingnya sinergisitas kerja sama para pihak terkait. Tentu, sinergisitas itu termasuk dalam keterbukaan informasi.
Badan Intelejen Strategis (Bais) TNI juga melakukan pemetaan terhadap kerawanan Pilkada Serentak 2024. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengingatkan perlunya antisipasi dan penanganan terhadap potensi kerawanan Pilkada 2024 yang dapat terjadi dalam bentuk kerusuhan antarkelompok pendukung dan konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Bais TNI secara khusus telah membuat indeks kerawanan pada Pilkada Serentak 2024. Terdapat 15 provinsi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Di antaranya, Aceh, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sulawesi Tenggara. Tiap provinsi itu memiliki jenis kerawanan berbeda (Jawa Pos, 22 Maret 2024).
Karena itu, mitigasi KIP oleh para pemangku kebijakan merupakan sebuah keniscayaan. Tujuannya, meminimalkan potensi terjadinya permasalahan sedini mungkin. Mengantisipasi gejolak sosial dalam gelaran Pilkada Serentak 2024 yang penting dan bersejarah tersebut. Identifikasi dan analisis potensi permasalahan serta merumuskan strategi dan langkah-langkah mitigasi yang efektif dan komperehensif, mendesak diimplemenastikan.
Dalam catatan panjang selama pilkada digelar secara langsung, cerita kelam kerusuhan telah beberapa kali terjadi. Mulai aksi pembakaran aset atau gedung-gedung pemerintahan hingga jatuhnya korban meninggal dunia. Termasuk di wilayah Provinsi Jawa Timur. Sebut saja di Kabupaten Tuban (2006) dan Kabupaten Mojokerto (2010). Lalu, kerusuhan di DKI Jakarta pada 2019 serta di beberapa daerah lain.
Karena itu, mitigasi KIP menjadi keniscayaan. Tujuannya, meminimalkan potensi terjadinya permasalahan sedini mungkin. Mengantisipasi terjadinya gejolak sosial dalam gelaran Pilkada Serentak 2024 yang penting dan bersejarah tersebut. Identifikasi dan analisis potensi permasalahan serta merumuskan strategi dan langkah-langkah mitigasi yang efektif dan komperehensif mendesak untuk dilaksanakan.
Setidaknya, terdapat empat isu krusial yang berpotensi memicu masalah dan kerawanan dalam Pilkada 2024. Pertama, money politic (politik uang). Sudah banyak kalangan yang mengemukakan, praktik politik uang belakangan semakin brutal. Nah, implementasi keterbukaan informasi seputar semua regulasi tentang politik uang mesti masif dilaksanakan. Publik mesti tercerahkan dan tersadarkan. Dengan demikian, keterbukaan informasi itu dapat meminamalkan dan mencegah praktik money politic sehingga tidak semakin brutal.
Sejatinya, larangan politik uang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 Ayat (1) huruf j, misalnya, menyebutkan bahwa penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. Begitu juga di pasal lainnya. Termasuk ancaman sanksi pidananya. Namun, informasi seputar politik uang itu terasa masih kurang terpahamkan kepada publik juga pihak terkait.
Lalu, tentang keuangan atau dana kampanye. Sejumlah aturan juga telah ada. Informasinya mesti dapat aksesable. Jika informasi tersedia dan mudah diakses masyarakat, maka diharapkan para kandidat akan lebih berhati-hati dalam menggunakan anggaran. Masyarakat juga dapat lebih mudah memantau dan melaporkan bilamana ada potensi pelanggaran.
Dengan informasi lebih baik, masyarakat pun dapat membuat keputusan lebih informed dalam memilih. Hal ini dapat mengurangi pengaruh politik uang sebagai penentu pilihan. Keterbukaan informasi juga dapat memperkuat langkah-langkah penegakan hukum. Upaya penyelidikan atas kasus money politic, bukti-bukti tentang keuangan yang tersedia dapat membantu membuktikan pelanggaran dan menjerat pelaku. Dengan begitu, integritas pilkada bernar-benar terjaga.
Kedua, isu SARA. Era digital menjadikan informasi apa saja begitu cepat menjadi konsumsi publik. Termasuk informasi adu domba menyangkut SARA. Nah, lembaga atau badan-badan publik mengimbanginya. Informasi-informasi seputar nilai-nilai toleransi dan nilai positif lainnya diharapkan dapat membantu mencegah konflik SARA dampak bias dan disrupsi informasi. Dengan keberimbangan informasi yang lebih baik, masyarakat dapat mempelajari tentang berbagai budaya, agama, dan etnis. Masyarakat menjadi semakin melek informasi, meningkatkan pemahaman dan toleransi. Mereka menjadi tidak mudah terprovokasi.
Keterbukaan informasi dapat membuka ruang-ruang dialog dan komunikasi antarkelompok masyarakat. Ketika masyarakat memiliki pemahaman dan toleransi yang lebih baik, jalinan kerukunan, persatuan dan kesatuan akan semakin kuat. Dengan begitu, keterbukaan informasi dari lembaga dan badan publik terkait akan dapat membantu mencegah dan menyelesaikan konflik bermuatan SARA.
Ketiga, informasi hoaks. Selain potensi isu SARA, di era media sosial seperti sekarang, begitu banyak informasi hoaks. Tidak sesuai fakta, sarat finah, hingga informasi-informasi kebencian. Badan publik terkait mesti dan serta-merta merespons dengan sejumlah upaya keterbukaan informasi. Dengan begitu, masyarakat dapat belajar bagaimana membedakan antara fakta dan hoaks. Publik tidak mudah termakan informasi tidak akurat. Ketika informasi tersedia secara terbuka, masyarakat dapat lebih mudah mengakses sumber-sumber terpercaya. Memastikan kebenaran informasi, dan tidak mudah ikut menyebarkannya jika bukan informasi yang sesuai fakta.
Masyarakat dapat turut melaporkan informasi hoaks kepada pihak yang berwenang. Membantu memerangi penyebaran hoaks dan melindungi masyarakat dari informasi menyesatkan yang berpotensi memicu konflik. Saat ini, sudak banyak situs dan platform tentang cara mengidentifikasi data dan informasi hoaks. Masyarakat dapat melapor. Baik kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) maupun badan publik terkait lainnya.
Keempat, isu yang juga berpotensi menimbulkan kerawanan adalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam beberapa kasus kerusuhan Pilkada sebelum-sebelumnya, keberpihakan ASN menjadi salah satu pemicu. Terlibat dalam dukung-mendukung kandidat di Pilkada. Melalui keterbukaan informasi, setidaknya dapat membantu menjaga agar ASN tetap netral. Misalnya, data dan informasi tentang profesi ASN tersedia dan terbuka untuk publik, maka ASN akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Demikian juga aturan sanksi dan penegakannya.
Masyarakat juga dapat lebih mudah ikut memantau dan melaporkan kalau terjadi pelanggaran asas netralitas. Dengan informasi yang lebih baik tersebut, maka ASN akan lebih sulit untuk menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Karena itu, semua badan publik mesti sungguh-sungguh memahami dan mengimplemtasikan keterbukaan informasi sebagai bagian dari ikhtiar meminimalkan potensi konflik di pilkada. Kendati demikian, tentu saja keterbukaan informasi saja tidak cukup untuk dapat meniadakan potensi kerawanan tersebut. Butuh komitmen, sinersigisitas, dan kolaborasi penthahelix berkelanjutan. Yakni, media, pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat. Terutama penyelenggara. (*)
__
*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kampung Suci, Gresik.