Lukmanul Hakim: Datang Seperti Angin, Pergi Seperti Doa

oleh -263 Dilihat
LUKMAN HAKIM
Lukmanul Hakim Yaqub (dua dari kanan) semasa hidup saat menjadi driver tim MCH Daker Makkah tahun 2013. (Foto IST)

SETIAP musim haji, selalu teringat namanya. Di antara deru waktu dan desir pasir Kota Suci, nama ini kerap mengendap dalam benak. Lukmanul Hakim Yaqub. Lelaki sederhana dari Pulau Madura. Sudah lama menetap di negeri para nabi. Seorang mukimin, yang mungkin bagi dunia hanya dikenal sebagai driver.

Namun, bagi sejumlah angkatan tim Media Center Haji (MCH), dulu Lukman adalah kompas dalam labirin semesta. Termasuk MCH daerah kerja (Daker) Makkah tahun 2013. Ia bukan sekadar pengemudi, tapi sekaligus jembatan kami. Menyeberangi bahasa, adat, dan cuaca batin.

Perjumpaan dengan Lukman seperti segelas teh hangat kala pagi. Sederhana, tapi menghidupkan. Tidak pernah membayangkan bahwa seorang lelaki berkulit sawo matang itu akan menjadi nadi selama di Saudi.

Musim haji terasa keras. Terlebih, bagi seorang anak desa seperti saya. Saat malam dan siang tak jelas bedanya, Lukman hadir. Seolah menjadi pengurai kesemrawutan. Seperti striker yang sukses memecah kebuntuan kala pemain lawan memakai taktik parkir bus.

Wajahnya lugu. Canda tawanya ringan. Langkahnya seperti telah menyatu dengan denyut kota Makkah. Ia tak sekadar mengantar, tapi menemani. Bahkan, mungkin lebih dari itu. Menyelami.

Kami mengenal jalan-jalan di Makkah. Kami tahu di mana kopi legit diseduh, dan di mana rokok murah bisa dibeli. Ia menyebut tempat-tempat itu bukan dengan nama resmi. Namun, dengan istilah khas. ’’Warung rokok jemaah tua”, “kopi Abu Nassar”, “nasi mandi deket tower”, Tak ada dari kami yang benar-benar paham GPS kota itu. Tapi, selama ada Lukman, kami tak pernah tersesat.

Bahasa Arabnya, memang tidak fasih. Maklum, bukan sarjana Al-Azhar, Mesir. Namun, cukup cair untuk menawar harga, menanyakan rute, atau mencari obat wasir di apotek.

Ya, saya masih ingat hari itu. Perut saya memberontak akibat sambal “ngejos” dapur Daker. Saat saya minta diantar ke apotek, Lukman mengangguk cepat, seperti biasa. Namun, sesampai di toko obat, ia terdiam. Kata “wasir” tak masuk dalam kamus instannya. Maka, ia tak kehilangan akal. Menunjuk bokongnya sambil berkata, “Ini… ini… panas.”

Dan, kami tertawa bersama. Tawa yang tak disangka adalah bagian dari kenangan terakhir.

Lukman seperti oase. Tidak mencolok, tapi menyelamatkan. Ia hadir tidak untuk dipuja, tapi untuk memudahkan. Ia bukan tokoh utama dalam sebuah lakon. Tapi, jika hidup adalah film dokumenter, maka Lukman merupakan kameramen tak terlihat. Yang menjadikan segalanya terasa nyata.

Waktu terus bergulir. Musim haji 2013 usai. Kami pulang, membawa oleh-oleh kisah, tayangan, dan sebagian oleh-oleh rohani. Lukman tetap di sana. Di jazirah sunyi itu. Menjalani hari-harinya bersama aroma debu dan panggilan azan. Ia mungkin melanjutkan peran yang sama untuk rombongan lain. Tamu-tamu lain, yang tak akan pernah tahu betapa berharganya ia.

Lalu, setahun kemudian, kabar itu datang. Seperti angin panas yang menghantam dari arah tak terduga. Lukmanul Hakim Yaqub, lelaki yang pernah jadi arah di antara kami itu telah berpulang. Ia tidak meninggal di kampung halamannya. Madura. Tidak juga di peraduan yang dipilih. Ia wafat di jalan raya. Tempat yang selama ini ditaklukkannya. Tempat ia banyak menebar jasa, tempat ia mengantar banyak manusia menuju tujuan.

Kecelakaan merenggut nyawanya. Saat ia mengantar tim MCH Madinah tahun 2014. Dalam sebuah perjalanan dari Jeddah ke Madinah. Ceritanya, 12 Oktober 2014, suasana malam di kota suci Madinah masih tenang ketika rombongan jurnalis MCH Madinah bersiap kembali seusai menunaikan umrah. Dini hari itu, mereka melaju dalam satu mobil. Menempuh perjalanan sekitar 25 kilometer lagi sebelum memasuki Kota Nabi.

Kendaraan tiba-tiba oleng ke kiri. Meluncur ke area berpasir di sisi jalan. Upaya mengembalikan kendali ke jalur semula, malah membuat mobil terbalik. Terpelanting, dan akhirnya berhenti. Posisi kepala menghadap ke belakang. Dalam kepanikan, para jurnalis berusaha keluar lewat kaca belakang yang pecah. Nahas, belum semua mengevakuasi diri, sebuah mobil sedan dari arah berlawanan menghantam bagian depan kendaraan itu. Tepat di mana Lukman duduk. Dentuman itu seolah memaku waktu.

Lukman sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bir Ali. Tapi, takdir lebih cepat daripada ambulans. Ia wafat tak lama kemudian. Umurnya pendek. Tapi hidupnya terbilang panjang penuh makna.

Kematian Lukman mengajarkan sesuatu yang tidak kami pelajari di bangku sekolah, buku, atau berita. Bahwa, perpisahan bisa sangat tiba-tiba. Bahwa, hidup bukan soal panjangnya langkah, melainkan dalamnya jejak.

Ia dimakamkan di Makam Baqi, satu dari tempat paling suci yang menjadi rumah abadi para sahabat Nabi. Sungguh, Tuhan tahu di mana meletakkan para pelayan kebaikan. Ia tidak pulang ke Madura. Tapi, pulang ke rahmat Allah.

Kami, yang dulu sekadar penumpang dalam kendaraan yang disopirinya, kini menjadi penumpang dalam kenangannya. Dan, kenangan itu rasanya tidak akan pernah menua. Tiap kali musim haji tiba, tiap kali saya mencium bau sambal yang “ngejos”, atau melihat apotek, saya teringat isyarat lucu bokong itu, logat khas Maduranya, dan tawa lepas yang menyertainya.

Lukman adalah metafora dari kehidupan yang tidak banyak bicara, tapi banyak menebar makna. Ia seperti azan subuh yang tak semua orang dengar. Namun,  menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan. Ia seperti pasir. Tak tampak saat kita sibuk berjalan, tapi selalu ada di telapak kaki, menyertai setiap langkah.

Pertemuan dengan Lukman adalah sepotong takdir. Ia datang seperti angin yang lembut, dan pergi seperti debu yang diam-diam menghilang.

Dalam tradisi Arab, orang yang wafat di Tanah Haram dianggap sahid. Khususnya bila sedang dalam pengabdian tugas. Saya tidak tahu bagaimana nasib akhir Lukman di tangan Tuhan. Namun, saya percaya—sebagaimana kami mempercayakan arah kepadanya waktu itu—bahwa Tuhan tidak lupa pada orang yang mengantar manusia menuju jalan yang benar.

Dari cerita ini, saya pun belajar betul bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat. Dan kadang, mereka hadir bukan di panggung utama. Bisa jadi di balik setir, di antara debu, atau dalam diam. Tuhan tidak menilai sebesar apa peran kita di mata dunia, melainkan seikhlas apa kita menjalaninya.

Semoga kita pun kelak pulang dalam tugas pengabdian, dan diterima sebagai tamu-Nya yang paling layak. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.