KabarBaik.co – Siang itu, matahari menyorot tajam, memantulkan cahaya ke dinding-dinding batu kapur yang mengelilingi kompleks Makam Siti Fatimah binti Maimun, Desa Leran, Gresik. Permukaannya tak lagi putih bersih—sebagian telah ditumbuhi lumut, memberi kesan tua sekaligus sakral.
Udara di dalam kompleks terasa lebih teduh dibandingkan bagian luar, seolah ada batas tak kasatmata yang memisahkan dunia luar dengan dimensi keheningan di tempat ini.
Di antara pusara-pusara yang tersusun rapi, dua makam panjang menjadi pusat perhatian. Tak seperti makam pada umumnya, masing-masing membentang hingga tujuh meter. Sebuah ukuran yang cukup untuk menimbulkan tanya.
Apakah jasad yang terbaring di dalamnya benar-benar sebesar itu? Ataukah panjang makam ini menyimpan maksud lain?
Ainur Rofi’ah, sang juru kunci, tersenyum tipis ketika ditanya tentang keberadaan makam tersebut. “Ada dua kisah yang beredar,” ujarnya, suaranya seolah menuntun imajinasi ke masa lalu.
Versi pertama menyebutkan bahwa makam ini adalah milik dua pengawal setia Fatimah binti Maimun. Mereka bukan sekadar penjaga, tapi juga pelindung hingga nafas terakhir.
Keduanya tahu bahwa setelah mereka tiada, musuh akan datang, berusaha merampas jasad mereka. Maka, sebelum ajal menjemput, mereka berpesan agar makamnya dibuat sangat panjang sebuah trik untuk mengelabui mereka yang berniat jahat.
Namun, ada pula versi lain yang lebih filosofis. Panjangnya makam bukan sekadar wujud fisik, melainkan simbol penantian manusia di alam kubur. Sebuah perjalanan panjang sebelum mencapai kehidupan sejati di akhirat. Pesan ini mengingatkan manusia agar tak lalai dalam kehidupan dunia, sebab ada perjalanan yang jauh lebih panjang menanti setelahnya.
Kompleks makam ini bukan sekadar destinasi religi. Banyak peziarah yang datang, dari kaum awam hingga spiritualis. Konon, mereka yang bermeditasi di tempat ini kerap mendapatkan pengalaman spiritual yang mendalam.
Di tengah keheningan, di antara dinding-dinding batu kapur yang menyimpan jejak sejarah, ada yang mengaku melihat kilasan masa lalu, ada pula yang merasakan kedamaian tak terlukiskan.
Namun, di balik segala mitos dan kepercayaan, Ainur Rofi’ah menegaskan satu hal bahwa makam ini adalah saksi bisu sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia bukan sekadar situs ziarah, tetapi juga monumen bagi generasi penerus.
“Sejarah ini harus kita rawat,” katanya. “Agar kita tak hanya mengenang, tetapi juga belajar dari mereka yang telah lebih dulu menjejakkan kaki di bumi ini.”
Matahari beranjak turun, menyisakan kilauan keemasan yang membias di batu kapur yang mulai kehijauan. Di bawah bayangan makam panjang, sejarah dan spiritualitas berpadu, mengundang siapa saja untuk merenung tentang waktu, tentang perjalanan yang telah, sedang, dan akan ditempuh.(*)